Sekitar 15 menit menjelang final Piala AFF 2016 antara Thailand melawan Indonesia selesai, di tengah situasi harap-harap cemas, pikiran saya mulai mempersiapkan diri menyambut keriuhan di linimasa jika skor 2-0 untuk keunggulan si Raja ASEAN tak kunjung berubah.
Isinya dari waktu ke waktu sebenarnya sama saja: ada yang marah-marah, ada yang sibuk mencari kambing hitam, ada pula yang tak jemu-jemu memberi nasihat kepada PSSI. Salah satu nasihat yang selalu nongol adalah agar klub dan PSSI membangun, serta memperkuat akademi sepak bola.
Sebenarnya, pengembangan akademi sebagai fondasi kesuksesan sebuah tim nasional bukan sebuah rahasia. Semua federasi sepak bola di seluruh dunia tahu. Jerman menjadi salah satu negara yang menuai sukses berkat perjalanan panjang pengembangan akademi sepak bola. Seberapa panjang?
Banyak orang yang mengira bahwa akademi sepak bola Jerman mulai dirintis sebagai buah dari hancur-leburnya perjalanan timnas mereka di ajang Piala Eropa 2000.
Sebuah laporan resmi yang dikeluarkan DFL tahun 2011 memberikan pernyataan yang bunyinya sebagai berikut:
“Kekalahan pahit di Euro 2000 adalah sebuah momen kunci: pada pergantian milenium sepak bola Jerman mengawalinya dengan sebuah bencana – kita benar-benar kekurangan fondasi profesional. Tindak lanjutnya adalah sebuah revolusi dalam pengembangan para pemain muda.”
Euro 2000 menjadi titik balik, tapi bukan titik awal.
Dietrich Weise bisa dikatakan sebagai pelopor upaya pengembangan talenta-talenta muda Jerman Barat sesaat setelah ditunjuk menjadi pelatih youth oleh federasi sepak bola Jerman Barat pada tahun 1978.
Ia berkeliling ke wilayah-wilayah yang sebelumnya jarang dipedulikan para pemandu bakat dan menghadiri ratusan pertandingan tim-tim junior di seantero negeri. Mantan pesepak bola yang lahir pada 21 November 1934 ini merekrut sejumlah orang untuk membantunya memetakan pemain-pemain muda potensial. Weise memiliki catatan tertulis yang lengkap untuk setiap pemain yang sedang dipantau.
Buah dari kerja kerasnya berhasil dinikmati pada tahun 1981. Untuk kali pertama, Jerman Barat berhasil meraih gelar juara di kompetisi junior, yaitu pada ajang Euro U18. Saat laga semifinal, mereka berhasil mengalahkan Prancis yang pengembangan pemain mudanya dianggap lebih maju.
Pada tahun yang sama pula, Jerma Barat menjuarai Piala Dunia U20 di Australia. Namun, keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak disambut terlalu antusias oleh para petinggi sepak bola Jerman Barat ketika itu.
Weise pun meninggalkan posnya sebagai pelatih tim junior dan menjadi memilih menerima tawaran melatih Kaiserslautern. Setelah itu, Jerman kesulitan berprestasi di ajang kompetisi junior. Sebelum kebangkitan akademi di era 2000-an, Jerman hanya mampu meraih dua kali gelar juara Euro U16, yaitu pada tahun 1984 dan 1992.
Baru di tahun 1996, pelatih timnas Berti Vogts mendorong presiden DFB Egidius Braun untuk memerhatikan pengembangan sepak bola junior. Braun lalu mengontak Weise yang ketika itu tengah melatih timnas Liechtenstein dan memintanya membuat blueprint akademi sepak bola di Jerman guna mempersiapkan diri menjelang Piala Dunia 2006.
Pada tahun pertama penugasannya, Weise dan asistennya, Ulf Schott, tidak hanya berkeliling mencari talenta muda. Mereka juga memetakan permasalahan-permasalahan yang ada di seputar sepak bola level junior.
Dalam proposalnya, mereka mengusulkan skema pengembangan dan pemetaan talenta muda yang komprehensif yang didukung oleh 115 pusat regional. Mereka membutuhkan uang sebesar 2,5 juta Jerman Marks untuk mewujudnyatakan konsep tersebut.
Proposal mereka ditolak mentah-mentah oleh federasi sepak bola Jerman. Braun berkata, “Darimana kita dapatkan uang sebanyak itu? Tunggu saja dulu hasil Piala Dunia 1998.”
Jerman tidak memenuhi ekspektasi pada gelaran Piala Dunia di Prancis tersebut. Mereka tersingkir oleh Kroasia di babak perempat final. Tuan rumah menjadi juara sebagai buah pengembangan talenta muda yang sudah berjalan baik.
Empat minggu setelah kekalahan itu, federasi sepak bola Jerman menyetujui konsep yang diajukan Weise. Mereka menyediakan dana sebesar 3,2 juta Jerman Marks untuk membangun 121 pusat pengembangan regional yang diharapkan mampu memberikan pelatihan selama dua jam setiap minggunya kepada 4.000 anak usia 13 hingga 17 tahun.
Pengembangan akademi semakin intensif selepas performa buruk di Euro 2000. DFB mewajibkan semua tim Bundesliga (Bundesliga dan Bundesliga 2) untuk membangun pusat pengembangan pemain muda.
Sejak tahun 2003, mereka juga memperkenalkan lisensi khusus untuk para pelatih tim junior guna memastikan keseragaman kompetensi. Lalu pada tahun 2004, Bundesliga U19 yang tersebar di tiga wilayah geografis juga dimulai. Sedangkan kompetisi nasional U17 digelar sejak 2007.
Pada tahun 2007 pula mulai dilakukan sertifikasi terhadap seluruh akademi. Ada 8 kategori yang dilihat dalam proses tersebut, yaitu strategi dan keuangan, organisasi dan prosedur, pendidikan sepak bola dan evaluasi, dukungan dan training, sumber daya manusia, komunikasi, infrastruktur dan fasilitas, serta efektivitas.
Dari sisi ketersediaan pelatih, setidaknya hingga musim 2010/11, sudah melebihi target yang diharapkan. Jumlah pelatih dengan lisensi pro yang dibutuhkan hanya 54 orang, faktanya yang tersedia mencapai 61 pelatih. Sedangkan dari 36 orang kebutuhan pelatih A license dapat dipenuhi sebanyak 196 orang.
Sepuluh tahun setelah seluruh tim Bundesliga diwajibkan membangun akademi, perubahan positif mulai terlihat. Sekitar 52% pemain yang merumput di Bundesliga merupakan jebolan akademi. Rata-rata, ada 15 pemain jebolan akademi yang menghuni skuat tim-tim Bundesliga.
Mereka menjadi fondasi timnas, baik junior maupun senior. Puncak keberhasilan sejauh ini adalah raihan Piala Dunia 2014 di Brasil. Namun terlepas dari gelar tersebut, timnas Jerman sepertinya juga tidak akan kekurangan pasokan pemain-pemain berkualitas di berbagai posisi.
Jadi, bagaimana Indonesia? Kapan mau mulai memperbaiki akademi sepak bola dan kompetisi junior? Atau untuk sementara kita masih mau fokus mengembangkan akademi dangdut dulu?