Masyarakat Inggris tengah bereuforia. Pasalnya, tim nasional mereka baru saja memastikan lolos ke perempat final Piala Eropa 2020 setelah menaklukkan salah satu musuh bebuyutannya, Jerman, di babak 16 besar dengan skor 2-0.
Raheem Sterling dan Harry Kane menjadi pahlawan The Three Lions karena merekalah yang mencetak gol-gol kemenangan.
Khusus untuk nama pertama, golnya ke gawang Manuel Neuer bikin koleksinya sepanjang gelaran Piala Eropa 2020 sudah mencapai tiga buah alias yang terbanyak.
Pemain berkulit legam ini pun melesat sebagai pencetak gol terbanyak Inggris di Piala Eropa 2020.
Untuk sementara, nama Sterling sejajar dengan Robert Lewandowski (Polandia), Romelu Lukaku (Belgia), Haris Seferovic (Swiss), dan Georginio Wijnaldum (Belanda).
Praktis, penggawa Manchester City tersebut cuma kalah dari Karim Benzema (Prancis), Emil Forsberg (Swedia), dan Patrik Schick (Republik Ceko) yang sama-sama mengemas empat gol serta Cristiano Ronaldo (Portugal) dengan gelontoran lima gol.
Siapa yang menduga bahwa Sterling lebih mengilap dibanding Kane yang selama ini difavoritkan jadi mesin gol utama The Three Lions pada Piala Eropa 2020.
Melesatnya pemain berumur 26 tahun ini sendiri dapat menampar masyarakat Inggris di manapun berada.
Walau terkenal sebagai negara maju, tindak rasisme di Negeri Ratu Elizabeth sangatlah masif. Sterling pun acap menjadi korban rasisme dari lapangan sepakbola.
Rasisme seolah tak pernah bisa lepas dari arena sepakbola. Meski induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) telah menggaungkan semangat anti-rasisme di setiap pertandingan resminya, tetapi masih ada celah di mana para penonton maupun sesama pemain yang melakukan aksi buruk ini.
Lantas, kapan rasisme pertama kali mulai muncul dalam sepakbola?
Pertanyaan ini memang cukup menarik untuk ditelusuri. Sebab dalam sejarah perhelatan sepakbola, kecil kemungkinan untuk terlepas dari pandangan yang dianggap merendahkan suku, agama, dan ras tertentu.
Penyebabnya beragam, mulai sentimen dalam kehidupan sehari-hari, faktor historis, hingga faktor kebijakan politis yang dianggap kurang adil.
Alhasil, mereka yang menjadi korban melampiaskannya lewat berbagai kegiatan dalam menyerang kelompok yang dianggap lebih rendah atau lebih tinggi dan berlagak sok berkuasa.
Bibit Rasisme Sepakbola Muncul di Inggris
Sejarah rasisme sepakbola muncul di Inggris pada awal tahun 1900-an. Ironis memang, sebab Inggris juga dikenal sebagai negara pencetus aturan resmi perihal anti-rasisme.
Pada 26 Oktober 1863 di sebuah pub bernama Freemason Tavern, Great Queen Street, London, aturan itu tercetus.
Sayangnya, dalam aturan tersebut hanya dibahas mengenai teknis dalam pertandingan saja. Urusan lain tidak dibahas, termasuk aturan dan sanksi mengenai rasisme.
Hal itu sebagaimana dikutip dari buku ‘Por Que Juegan Once Contra Once’ karya Luciano Wernicke (diterbitkan dalam edisi Bahasa Indonesia oleh penerbit Marjin Kiri dengan judul ‘Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? Dan Serba-Serbi Sejarah Sepakbola Lainnya’). Tindakan rasisme pertama dalam sepakbola itu menimpa Walter Tull.
Pada saat Perang Dunia I, dirinya sedang bertugas pada unit kemiliteran Inggris. Karier militernya bisa dibilang cukup moncer karena keberanian dan ketangkasannya dalam bertempur.
Dia anak dari seorang tukang kayu keturunan Afrika, dan ibunya adalah wanita kulit putih yang tinggal di Kent, Inggris.
Tull dianugerahi Military Cross oleh pihak militer Inggris atas dedikasinya, namun dirinya meninggal beberapa jam setelah menerima penghargaan sekaligus penghormatan tersebut pada 25 Maret 1918 di Pas de-Calais, Prancis.
Sebelum memasuki dunia militer, Tull memiliki cita-cita untuk menjadi pemain sepakbola. Sebagai anak yatim piatu di usia belia, dirinya diadopsi keluarga asal Skotlandia.
Dari sinilah dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengasah bakat sepakbolanya dalam uji coba yang diselenggarakan oleh Clapton, klub sepakbola kecil di luar kota London.
Di klub pertamanya itu, dia memiliki prestasi gemilang dan menarik perhatian Tottenham Hotspur pada tahun 1909.
Sebagai catatan, Spurs di tahun tersebut mulai melejit berkat prestasinya menjuarai Piala FA tahun 1901. The Lilywhites pun mulai promosi ke First Division.
Setelah bergabung ke Spurs pada usia 21 tahun, harapan Tull mulai meninggi. Nahas, impian dan harapannya perlahan terganggu dengan tindakan rasisme.
Akibatnya, hal itu memengaruhi penampilannya saat beraksi di lapangan hijau. Ini bisa dilihat dari prestasinya yang terus menurun. Misalnya saja dalam sepuluh laga Spurs, dia hanya mampu mencetak dua gol saja.
Dalam beberapa laga, dirinya menjadi bulan-bulanan dari lawannya dan juga rekan setim. Tull merupakan pemain non-kulit putih di Liga Inggris setelah Arthur Wharton yang keturunan Ghana (dulu menjadi koloni Inggris dengan nama Gold Coast). Namun nasib Wharton tak sekelam Tull.
Hampir di setiap kesempatan Tull bertanding untuk Spurs, lawannya selalu memperlakukannya secara kasar dan menjadi sasaran empuk rasisme.
Dia ditendang, disikut, bahkan yang paling buruk adalah dipukul. Tak cukup sampai di situ, perlakuan buruk juga dialami Tull dari suporter lawan.
Ini terjadi ketika Spurs bertandang ke markas Bristol City pada tanggal 10 September 1910. Selama 90 menit penuh, Tull mendapat hinaan dari suporter tuan rumah hanya karena dia memiliki kulit berwarna. Keadaan pun semakin menjadi-jadi pada laga-laga berikutnya.
Penghormatan Kepada Walter Tull
Tekanan demi tekanan yang dialami Tull selama di Spurs membuatnya semakin muak. Akhirnya, dia memantapkan diri untuk hijrah ke Northampton Town.
Bersama klub barunya ini dia mengikuti liga regional dan mulai mendapatkan ketenangan sebab tindakan rasis sangat jarang diterima.
Mulai merasa nyaman dengan suasana baru, Tull bersemangat memulai kiprahnya kembali di lapangan hingga kondisi dunia berubah pada pertengahan 1914 saat meletus Perang Dunia I.
Menariknya, Tull mendaftarkan dirinya ke unit militer dan menjadi tentara untuk membela orang-orang Inggris yang pernah mendiskriminasinya.
Dia pun diterjunkan ke medan perang dan tak pernah kembali lagi ke Inggris karena pada Maret 1918 dirinya gugur dalam First Battle of Bapaume di Prancis.
Menjelang milenium baru, pada tahun 1999, Northampton Town memberikan penghargaan tertinggi bagi sosok Tull dengan mendirikan sebuah monumen di area pinggir Stadion Sixfields.
Monumen ini dibuat untuk mengenang salah satu sejarah kelam dalam sepakbola Inggris (walau mungkin tak terlalu diakui).
Dan dalam sebuah epitaf monumen itu, Phil Vasili, seorang mantan pesepakbola yang juga penulis, menuliskan sebuah kesan terhadap Tull.
“Melalui aksi-aksinya, Tull menertawakan kedunguan orang yang berusaha menafikan kesetaraan antara kulit berwarna dengan orang kulit putih pada zaman itu. Hidupnya merupakan kesaksian dari sebuah tekad untuk menghadapi orang-orang dan rintangan yang berusaha mengecilkan dirinya dan juga dunia sebagai tempatnya hidup. Seorang pria yang tutup usia di masa gemilang, namun hatinya yang kuat akan terus berdegup kencang”.
Melihat perjuangan Tull yang sudah muncul sejak 1900-an, rasanya miris melihat tindak rasisme terus saja terjadi Inggris.
Terlebih, negara yang satu ini kondang sebagai negara maju dan modern, tetapi pikiran kolot mengenai rasisme masih tumbuh subur.
Melihat kisah Tull dan apa yang dilakukan Sterling saat ini, rasanya cukup menggelitik. Bila supremasi kulit putih tetap ditinggikan di Negeri Ratu Elizabeth sana, bagaimana perasaan orang-orang itu andai lelaki berkulit legam seperti Sterling yang menjadi pahlawan Inggris merebut gelar Piala Eropa 2020?
Bisakah itu menampar keras wajah mereka dan membuat perubahan nyata dengan lenyapnya rasisme di Inggris?