Pacar saya, perempuan, pada suatu masa premenstrual syndrome (PMS) pernah menangis sambil berkata, “cuma Persib yang bisa bikin kamu nangis. Kamu gak pernah peka sama aku!”
Gara-gara seminggu sebelumnya saya menangis saat Persib Bandung menjadi juara di Palembang, tapi kemudian cengengesan saat pacar saya curhat. Wew, bayangkan pacar kamu cemburu sama klub sepak bola! Tapi yah, kalau kalian belum pernah pacaran seumur hidup sih susah membayangkannya.
Mungkin dirinya memang layak untuk cemburu kepada Persib. Sangat jelas perempuan yang telah saya pacari bertahun-tahun ini bersaing memperebutkan sepotong kue cinta saya dengan Persib, kesebelasan yang sudah saya cintai jauh lebih lama dari masa pacaran kami, bahkan jauh sebelum takdir mempertemukan kami menjadi dua sejoli.
Gimana ya, pacar dan Persib sama-sama sering mengecewakan saya, memang banyak juga saat-saat bahagianya, tapi jujur sebenarnya Persib lebih sering mengecewakan saya dibanding kekecewaan karena pacar. Gilanya adalah saya tak pernah sekalipun benci pada Persib.
Tahun 2006 saat stadion sepi (dibilang sepi pun ada sekitar delapan ribuan orang yang datang) karena rentetan hasil buruk Persib. Saya datang ke stadion Siliwangi menonton Persib melawan PSMS Medan.
Walau perasaan sedang sangat sebal kepada Persib saya tetap datang ke stadion. Persib tetap mengkhianati. Dua gol PSMS, salah satunya dari Alejandro Tobar sang mantan perancang serangan Maung Bandung, tak bisa dibalas sebiji gol pun oleh Zaenal Arif atau Redouane Barkoui.
Pertandingan itu jam empat sore dan sejak jam satu siang saya sudah duduk manis berjemur di bawah terik matahari di tribun timur. Kemudian Persib maen butut dan kalah.
Tidak ada permohonan maaf dari pemain untuk kami yang sudah ngabelaan datang ke stadion untuk mendukung langsung. Apa saya marah dan berhenti mendukung Persib? Tidak. Apa saya memaki pemain? Iyah! Juga memaki wasit goblog, karena cuma wasit yang bisa digoblog-goblog walau tidak salah apa-apa.
Saya pernah memutuskan kontak dengan seorang mantan karena marah dan kecewa, tapi dengan Persib saya tidak pernah memutuskan kontak, segimanapun saya dikecewakan.
Ada masa di mana saya harus menguatkan hati dan telinga. Pada tahun 2012 ketika Persib maen hancur-hancuran sedangkan saya bekerja di Jakarta dan setengah dari kawan futsal saya di kantor adalah The Jak garis keras. Habis sudah setiap bermain futsal saya dihina-hina. Apa saya jadi benci pada Persib karena itu? Tidak kisanak! Ini bukan sinetron, yang jahat siapa, yang dibenci siapa.
Pada kesempatan PMS yang lain pacar saya menangis lagi, “nulis artikel Persib rajin banget, cerpen buat aku gak jadi-jadi!”
Well, menulis memang menjadi jalan ngabobotohan yang saya pilih ketika sudah dewasa. Sebenarnya ini semua berawal sejak saya masih bocah.
Sejak usia lima tahun, setiap kali saya berulang tahun, Ayah saya yang seorang sopir selalu memaksakan diri membawa saya ke Gramedia dan membebaskan saya mengambil buku apa pun sebagai hadiah ulang tahun. Pada ulang tahun ke-12 saya tidak memilih buku, tapi tabloid BOLA. Sejak itulah saya mulai akrab dengan pundit-pundit sepak bola.
Meski sudah terbiasa membaca ulasan soal sepak bola dari jaman kanyut can baokan[1] dan mulai menulis sejak zaman SMA, baru pada saat kuliah saya menulis soal sepak bola.
Tulisan mengenai Persib sendiri baru muncul pada tahun 2012, artikel soal Persib go public saya dimuat di arena bobotoh simamaung.com, sejak tulisan itu hingga sekarang sudah seratusan tulisan Persib yang saya tulis, dan hanya dua cerpen untuk pacar saya. Melihat statistiknya, pantas saja pacar saya cemburu lagi kepada Persib.
Menulis dan statistik
Bersama beberapa kawan saya merintis blog yang membahas Persib pada tahun 2012. Saya suka menulis, excelent menggunakan microsoft excel, dan hamdalah bisa statistik walau nilai kuliah statistik 1 dan statistik 2 saya C dan C. Pun urusan statistik sepak bola sudah saya akrabi sejak bermain Championship Manager 5 bertahun-tahun sebelumnya. Dengan modal itu saya mantap memilih jalan menulis sebagai bentuk mendukung Persib.
Untungnya kami memulai proyek menulis blog ini di masa renaissance Persib. Setelah masa-masa kegelapan tahun 2010-2012, mulai tahun 2013 lebih banyak kemenangan yang Persib raih dibanding kekalahan. Karena musuh terbesar yang kami hadapi adalah gairah menulis yang hilang jika Persib bermain butut. Gimana mau merawat blog kalau menulis saja segan.
Ada sedikit perubahan dalam hubungan saya dengan Persib sejak angka-angka mulai mencampuri hubungan kami. Sejak mendisiplinkan diri untuk konsisten menulis di blog, mau tak mau saya blusukan mencari data, bergelut dengan angka-angka. Di situ saya menemukan fakta-fakta baru, angka tidak pernah berbohong.
Saya jadi lebih rasional dalam mendukung Persib. Dalam artian tidak lagi fanatik buta terhadap pemain, pelatih bahkan Persib itu sendiri. Ada kalanya ketika Persib bermain butut, beberapa bobotoh tetap kekeuh Persib tidak butut dan mencari kambing hitam yang lain. Mereka juga suka menyerang yang mengkritik Persib butut dengan mencap tidak bisa mendukung saat Persib kalah.
Saya sudah melewati masa-masa itu. Menulis menuntut saya lebih objektif dalam menilai Persib. Cinta murni tidak pernah berbohong, kalau bagus ya bilang bagus, kalau butut ya bilang butut, tak perlu dibela berlebihan.
Menulis juga membuat saya lebih fokus mendukung Persib dan hampir lupa untuk bertengkar dengan pendukung rival. Dulu kalau ke stadion Siliwangi, hampir setengah waktu bisa saya habiskan nge-chant pendukung kesebelasan tetangga itu anj*ng. Sejak menulis saya datang ke stadion duduk manis fokus memperhatikan setiap pemain sampai hal kecil yang mereka lakukan.
Kini hubungan saya dan Persib akan memasuki masa-masa penuh cobaan. Setelah masa gemilang bersama Djajang Nurjaman dan Class of 2014, Persib kembali memasuki periode reset. Trauma masa lalu ketika dengan mudah manajemen Persib melakukan perombakan tiap musim datang menghantui.
Pada masa lalu Persib pernah sangat terpuruk dan saya, bersama jutaan bobotoh lain, bisa melewatinya. Kini zaman telah berubah, tekanan terhadap bobotoh untuk menanggung malu jika persib maen super butut lebih berat.
Well, bodo amat! Saya optimis bisa melalui periode ini dengan tetap setia mempertahankan cinta kepada Persib. Juga konsisten mengarsipkan Persib dengan menulis.
Banyak pertengkaran sudah saya lalui dengan pacar saya, tapi kami masih tetap bersama hingga hari ini. Kalau dengan pacar saja saya tahan, cobaan kekalahan Persib tidak ada artinya.
Jika di suatu hari nanti pacar saya berkata, “Pilih aku atau Persib!?” (amit-amit) tanpa keraguan akan saya jawab PERSIB![2]
[1] Kemaluan belum berbulu.
[2] Saya yakin masih ada bobotoh mojang yang mau sama saya nantinya. Hahaha.