Saya baru saja menyelesaikan urusan rencana perwajahan sebuah majalah sore itu. Sebentar kemudian sudah berjalan di sebuah gang mendekati pangkalan ojek dengan sedikit menyeret kaki yang sakit akibat kecelakaan. Tiba-tiba saya terpaksa harus menghentikan langkah.
Bukan karena merasa nyeri pada bagian kaki, tapi ada keramaian yang menarik perhatian. Saya berhenti tepat di antara Café Dado de Ceker and Wings milik Dedi Kusnandar, gelandang Persib Bandung.
Bangunan sederhana itu terhubung ke pangkalan ojek oleh jalan yang hanya muat satu mobil. Semua orang yang lewat pasti melihat layar putih besar berdiri di dekat pangkalan. Para tukang ojek masih sibuk menyiapkan acara nonton bareng gelaran final Piala Presiden antara Persib kontra Sriwijaya FC. Hajatan yang mendorong saya untuk nimbrung nantinya setelah menyempatkan pulang ke kontrakan.
Ketika selepas senja kembali menyambangi lokasi tersebut, sudah banyak bobotoh menyesaki karpet yang digelar di depan layar, juga kursi plastik yang berjejer. Jalan pun ditutup lantaran penuh dengan bobotoh yang antusias menunggu mulainya pertandingan sembari menyanyikan lagu bertemakan Persib Bandung.
Di tengah kerumunan itu ada sosok Andri Kamnuron, kakak kandung Dedi Kusnandar. “Saya kira gak bakal seramai ini,” kata Andri sembari menjabat tangan saya.
Berbeda dengan Andri, saya tak kaget. Adalah hal wajar di Bandung, ketika layar dibentangkan untuk menyaksikan laga Persib pasti dipenuh orang-orang. Apalagi itu acara nonton bareng (nobar) bersama keluarga Dedi Kusnandar, putra daerah yang bisa menembus skuat utama Persib.
“Kita kan gak bisa ke Jakarta. Jadi, saya minta ke Dede (Andri) supaya mengadakan nobar di sini,” ujar salah seorang tukang ojek yang hadir. “Kita jangan mau kalah semangat sama yang di Jakarta,” tambahnya.
Bobotoh amat antusias mendukung Persib meski tak langsung di stadion. Dukungan dari jauh itu wujud loyalitas pada Maung Bandung.
Seperti apa yang pernah dikumandangkan almarhum Panglima Viking Ayi Beutik, mendukung Persib bagi orang Bandung (bahkan Jawa Barat) tak ubahnya sebuah warisan. Warisan yang membuat saya berdecak kagum meski saya tak mendaku diri sebagai seorang bobotoh.
Saya bukan tidak mau menjadi seorang bobotoh. Menjadi bobotoh rasanya terlalu berat. Saya merasa tidak akan mampu mengemban warisan itu karena tak punya loyalitas tanpa batas seperti bobotoh yang saya kenal.
Pernah pada sore hari Senin, 3 Agustus 2015 saya bertandang ke stadion Persib di jalan Jenderal Ahmad Yani, Bandung. Sore yang cukup mendung itu punya pemandangan yang indah. Pemain, pelatih, dan ofisial Persib kembali rujuk setelah membubarkan diri pada akhir Juni 2015 lantaran kisruh sepak bola nasional.
Lebih indah lagi karena ada banyak bobotoh yang datang dari berbagai daerah untuk menyaksikan latihan perdana.
“Saya datang jauh-jauh dari Bekasi,” ujar seorang pemuda yang berada di dekat saya. “Saya dari Subang,” ujar pemuda lainnya. “Pulang sekolah langsung ke sini,” tambahnya.
Pada lain kesempatan, saya melawat ke stadion Si Jalak Harupat, Soreang, kabupaten Bandung. Sekitaran stadion penuh sesak oleh orang-orang berkaus biru yang tampak seperti lautan biru. Bendera berkibar dan teriakan terdengar di berbagai penjuru. Waktu itu sedang ada pertandingan antara Persib kontra Bonek FC (red: Surabaya United).
Malam itu stadion penuh sekali, seperti yang bisa saya lihat dari celah di luar stadion. Belum lagi bobotoh di luar masih banyak bertebaran. Mereka yang tidak kebagian tiket masuk seperti saya menyebar ke warung-warung kopi yang memiliki televisi. Meski hanya dari televisi, bobotoh tetap antusias menyuarakan dukungan.
Bobotoh pula yang menjadi alasan bagi Ilija Spasojevic untuk tetap tinggal di Bandung meski kondisi sepak bola nasional tak menentu. Spaso ingin menjaga kebugaran di Bandung agar tetap berpeluang membela Persib jika ada kompetisi yang digulirkan.
Animo bobotoh dalam mendukung Persib-lah yang membuatnya ingin terus membela Maung Bandung. Begitu alasannya seperti yang dikutip oleh beberapa media di Bandung.
Saya tak pernah mengkonfirmasi informasi tersebut langsung pada Spasojevic. Tapi, ketika punya kesempatan berbincang dengan Dedi Kusnandar, sang gelandang menyampaikan bahwa keputusan Spaso bisa jadi memang dipengaruhi oleh semangat bobotoh. Hal tersebut pula yang dirasakan oleh diri Dedi.
Dedi tidak menyangkal bahwa setelah Persib dibubarkan usai ada keputusan bahwa Indonesia Super League (ISL) 2015 dihentikan dan tersisih dari AFC Cup, ada beberapa tawaran bergabung ke tim lain. Tawaran itu bahkan datang dari negara yang sama dengan tempat Irfan Bachdim bermain sekarang, Jepang. Publik tahu, Jepang punya liga yang dikelola jauh lebih baik ketimbang Indonesia.
Hanya saja, prioritas utama Dado—sapaan akrab Dedi Kusnandar—adalah Persib. Ia masih berharap bermain bersama Persib. Apalagi Persib adalah impiannya sejak dulu. “Bobotoh itu luar biasa,” ujar Dado sambil tersenyum.
Selain Dado, Tony Sucipto juga mengatakan hal serupa. Suatu kali kami bertemu di tempat cukur bernama Holako di Jalan Embong, Sumur Bandung, kota Bandung. Kami duduk di sebuah sofa yang cukup empuk selama hampir satu jam. Saya cukup menikmati obrolan dengan Tony.
Meski kontraknya diputus dan tak ada kejelasan, ia memutuskan akan berada di Persib sampai ada kejelasan. Memang ada tawaran main dari klub lain, tapi Persib lagi-lagi menjadi prioritasnya. Animo dukungan bobotoh yang luar biasa itu membuatnya tidak bisa begitu saja meninggalkan Persib. Keputusan Dado dan Spaso menjadi mafhum.
Loyalitas dan semangat bobotoh pada dasarnya patut dihadiahi sesuatu yang lebih dari sekadar tepuk tangan. Maka, semakin jelaslah kalau saya kesulitan untuk mengaku sebagai seorang bobotoh.
Saya tak memiliki loyalitas sehebat bobotoh. Saya hanya punya cerita tentang mereka—bobotoh yang saya kagumi.