Saya ingin mengawali tulisan ini dengan kutipan untuk Arsene Wenger dari Darmanto Simaepa dalam bukunya yang diberi judul Tamasya Bola. Bunyinya begini: “Andai saja Wenger bisa tersenyum lebar dan bahagia setiap pekan!” (Simaepa, 2016: 113).
Memang, kemenangan di laga Jumat dini hari (22/4/16) dari West Bromwich Albion memastikan Arsenal naik keposisi tiga untuk sementara menggeser Manchester City.
Dua gol cantik dari Alexis Sanchez memberi kesegaran di tengah nuansa murung Emirates Stadium. Beberapa tempo terakhir, gejolak kejengkelan fans kepada performa tim, dan juga pelatih, menguar begitu tajam.
Sejak kegagalan membawa pulang tiga poin dari kandang West Ham United, fans begitu gusar lantaran peluang juara Arsenal semakin kabur. Lagi, komentar-komentar Wenger kala konferensi press tidak membantu mencairkan suasana, atau setidaknya menjaga asa. Manajer senior yang mulai beruban tebal tersebut menyajikan, maaf, kebebalan khas orang tua yang metodenya mulai dikikis zaman.
Mulai dari komentarnya kepada West Ham yang lucky mendapatkan hak pakai Olympic Stadium yang menurut saya “menyiratkan” kesombongan. Wenger seperti menepuk dada dan seperti mendaku bahwa ia adalah sosok paling menderita di balik tunggang langgangnya Arsenal membangun Emirates.
Corak kesombongan yang tertanam di balik kalimat-kalimatnya membuat saya tertegun, dan mencoba menepikan amarah ke sisi paling jauh dari hati saya.
Menjelang laga kandang melawan WBA, fans di Inggris menyuarakan untuk mengembalikan tiket terusan. Mereka juga meniatkan diri untuk walk-out dari Emirates di menit ke-75.
Keduanya merupakan bentuk protes kepada rezim Wenger yang mulai lapuk. Ketika melawan skuat asuhan Tony Pulis tersebut pun, stadion berkapasitas 60 ribu tempat duduk terasa lengang, dengan nuansa lengas yang tidak sehat.
Namun ia berdiri di sana, dengan senyum terkulum.
Ia menyaksikan murungnya rumah Arsenal, di mana dirinya memang berjasa dan menyumbangkan kesabaran ekonomis yang sangat tebal. Tipis saja dan cukup jarang senyum Wenger tertangkap kamera.
Kedua telapak tangannya sering ia gosokkan, menandakan ketidaksabaran untuk melihat Arsenal mencetak gol dan sekali lagi menyajikan bahwa WengerBall belum mati.
Ia bersikeras, menyilakan para fans untuk melakukan apa saja yang mereka mau dengan tiket terusannya. Wenger melawan, ia tak ingin dipecundangi fans yang merajuk. Bagi saya ini bentuk public relations yang keliru, namun mau tak mau kita dipaksa memaklumi apabila melihat berbagai kesedihan yang sudah ia tanam untuk The Gunners.
Tak bisa ditepis, Wenger memang merevolusi Arsenal, bahkan memantik perubahan di rona sepak bola Inggris. Wenger membuang wajah kuno Arsenal yang banyak berlari dan sangat British untuk ukuran main fisik. Ia memoles klub asal London Utara tersebut menjadi lebih taktis, efektif, dan modern di zamannya.
“Sang Profesor” pula yang membangun sistem scouting Arsenal yang bermata tajam, jaringannya menjangkau sudut-sudut benua demi menemukan “berlian-berlian kasar berharga murah.” Dan ia sukses.
Kolo Toure an Alex Song adalah salah dua pemain yang mentas dari sekolah sepak bola di Abidjan dan Yonde. Paling sahih adalah mekarnya Alex Iwobi dan pesona Hector Bellerin di skuat utama Arsenal.
Dari bakat-bakat yang Wenger temukan dan poles, Arsenal mendapatkan keuntungan finansial yang pembaca pasti sudah hafal di luar kepala. Kebijakan finansial tersebut menjadi fondasi awal keseimbangan keuangan Arsenal ketika memulai proyek Emirates yang bertumbal tersebut.
Tumbal puasa gelar dan mentas dengan skuat brengsek, yang hebatnya bisa selalu berada di empat besar. Suatu prestasi pada awalnya, yang kini jelas sebuah kemunduran. Arsenal yang sehat, punya sumber daya seharusnya bertarung untuk gelar, begitu teriak die hard fans setiap minggunya.
Melihat segala “pengorbanan” tersebut, maka Wenger melawan. Ia seakan tak peduli dengan niat fans untuk walk-out dan mengembalikan tiket terusan.
Dan hal itu ia tunjukkan ketika menyiapkan skuat dengan baik. Bapak satu orang putri tersebut memutuskan menurunkan Oliver Giroud dan Aaron Ramsey ketimbang Danny Welbeck dan Francis Coquelin. Sebuah keputusan yang pada awalnya membuat saya khawatir, namun terbukti berjalan dengan baik.
Bergantian dengan Mohamed Elneny, Ramsey menyediakan satu orang kreatif lagi di sepertiga akhir lapangan. Sesuatu yang gagal disediakan Coquelin atau Elneny ketika keduanya berduet.
Sahih, Ramsey membuat 1 asis untuk gol pertama Alexis dan pelanggaran kepada dirinya di depan kotak penalti berbuah gol. Gelandang klimis asal Wales tersebut juga bermain stabil dan tenang.
Tak sering ia menunjukkan raut muka gugup ketika menerima bola di daerahnya sendiri. Setelah tak bermain di beberapa laga, ia nampak lebih kalem.
Giroud? Ia tak mencetak gol dan beberapa kali membuat fans mengeluh dengan sentuhan-sentuhannya yang kadang terlihat seperti Niklas Bendtner yang mengalami bad day, yang mana cukup sering. Namun Giroud juga “berjasa” ketika set-up tendangan bebas Alexis yang menjadi gol kedua.
Coba pembaca putar ulang rekaman gol kedua dan perhatikan bagaimana striker bak model dari Prancis tersebut saling bertukar pandangan penuh makna dengan Per Mertesacker. Keduanya menjadi “tembok ilusi” yang mengacaukan tembok pemain-pemain WBA.
Mertesacker memastikan posisinya dengan Giroud sudah tepat dengan menengok satu kali ke arah Scot Carson. Ketika bola dilepas oleh Alexis, keduanya serempak menghindar, menyediakan jalur untuk bola menuju jala gawang WBA. Selain itu, Giroud juga kokoh sebagai pemantul bola, terutama di babak kedua.
Jangan lupakan juga keputusan Wenger memasang Mertesacker menggantikan Gabriel Paulista yang di dua pertandingan terakhir terlihat brangasan dan tidak bermain dengan ketenangan seorang bek.
Mertesacker unggul dalam pengambilan posisi ketika berduel dengan striker lawan, sesuatu yang masih menjadi kelemahan Gabriel. Bek jangkung dari Jerman tersebut juga ball-playing defender yang lebih bagus ketimbang Gabriel. Progresi vertikal yang ia lakukan selalu bersih dan memudahkan Elneny atau Ramsey untuk menerima dan mendistribusikan bola.
Gol pertama diciptakan Alexis dengan cantik. Setelah menerima bola dari Ramsey, ia mengontrolnya dan dengan cepat membalikkan badan, meninggalkan Sandro yang mengejar angin.
Jalur tembakannya terbuka lebar setelah berputar dan memperdaya marker-nya. Bola ia dorong dengan punggung kaki. Sepakannya keras, menyusur tanah, menghindari pemain WBA yang mencoba menghalau, dan gol.
Lalu kamera bergerak cepat menyorot ke bench. Para pemain cadangan sumringah, para staf tertawa senang, sedangkan Wenger kalem saja.
Ia berdiri ketika gol terjadi dan bertepuk tangan ringan saja seperti takut setelan mahalnya menjadi kusut apabila mencoba melakukan selebrasi sliding seperti penganggur dari Portugal lakukan di Old Trafford.
Wenger melemparkan senyum tipisnya ketika Alexis berlari ke sudut lapangan untuk merayakan gol bersama fans. Meski tipis, namun senyum dingin tersebut justru bermakna dalam dan ada sedikit rasa cemas yang terbayang.
Senyum tipis dan kecemasan ini menjadi bukti bahwa sebenarnya Wenger memikirkan nuansa muram di Emirates. Meski tinggi hati dan terkesan tak peduli dengan sikap nakal fans, namun Wenger mungkin menjadi person yang paling peduli. Gejolak cemas terbaca dari senyum tipis tersebut.
Lalu gol kedua terjadi di penghujung babak pertama. Kali ini ada sedikit selebrasi. Namun sedikit saja, masih dengan senyum tipis dan rasa cemas yang belum tersapu sepenuhnya. Di balik keriput wajahnya, Wenger mencoba mengubur egonya dengan susah payah. Ia gagal bagi saya, kecemasan tetap mengejar dirinya.
Wenger memang harus cemas. Meski mendapat jaminan dan dukungan ekonomis dari manajemen, rasa tak puas dan pemberontakan dari fans bukan citra yang baik.
Apabila terus bergolak, maka tak usah heran apabila ada gerakan lebih galak dari fans. Emirates yang megah elegan pun akan tampak ompong tanpa fans yang bergemuruh.
Di balik tinggi hati dan kesan aristokrat, mungkin tengah terjadi badai di relung hati Wenger. Terjadi badai dahsyat yang mengayunkan perasaan ke segala arah.
Meski ucapan ditebar dengan keyakinan, namun rona wajah berbicara lebih lantang. Di balik senyum tipisnya, Wenger menyimpan rasa takutnya, sebuah kecemasan akan situasi berbeda yang mungkin belum pernah ia hadapi selama mengasuh Arsenal.
Maka menjadi sebuah angan yang semoga bisa segera kita jumpai, ketika Wenger tersenyum lepas, bahagia setiap pekan, dan berbagi komentar-komentar nakal nan menyenangkan khas dirinya.
Namun saat ini, di balik senyum tipis, tersimpan gejolak perasaan yang begitu tebal.
#COYG