Mencetak lebih dari tiga ratus gol dengan posisi bukan sebagai penyerang (target-man). Bermain selama 23 tahun, padahal dua kali terkena cedera yang bisa membuat jambul khatulistiwa Syahrini turun seketika kalau melihat secara langsung kakinya yang cedera.
Mampu menghentikan sebuah pertandingan dengan satu ucapan singkat, “If we play, they’ll kill us.” Tentu, ia mengucapkan itu dengan bahasa Italia. Karena ia seperti kebanyakan warga Italia lainnya yang kurang begitu fasih berbahasa Inggris.
Ia memenangi Piala Dunia, suatu pencapaian yang belum mampu digapai Lionel Messi, pemain terbaik dunia yang menangis karena gagal di final. Kalian pasti bisa menebak siapa pemain yang saya maksud ini, bukan?
Francesco Totti, adalah pemain yang memenuhi lemarinya dengan berbagai gelar. Pemain yang tetap berlari di umur yang seharusnya ia habiskan untuk duduk manis di depan televisi sambil “menikmati” Ilary Blasi, eh maksudnya, sambil menimang anaknya yang baru lahir, Isabel.
Segala yang saya sebut di atas, apakah cukup untuk pemain sekaliber Totti? Jelas tidak. Ia pantas mendapatkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia pantas memenangi Liga Champions. Ia berhak meraih Ballon d’Or. Ia juga pantas mendapatkan klub yang “lebih baik” dari AS Roma.
Jelas, bagi saya, Totti salah memilih bertahan di Roma.
Totti bisa saja memenangi Liga Champions di tahun 2007. Atau merasakan pahitnya harapan palsu akibat kalah adu penalti di gelaran yang sama, dua tahun sebelumnya. AC Milan pernah meminati Totti kecil. Bakat alamiah Totti bahkan tercium ratusan kilometer dari Kota Roma.
Ibunda Totti, Fiorella Totti pernah menolak perwakilan AC Milan saat mereka ingin membawa Totti ke Milan. Padahal, andaikan Totti pindah ke Milan, selain gelar Serie A dan Liga Champions yang sangat didambakan bisa diraih, ia juga bisa mendapatkan kekayaan yang melimpah.
Sang mama, mengucapkan kalimat sakti kepada Totti saat ia memutuskan menolak Milan, “Your home is the most important thing in life.”
Duh, ternyata bakat “bodoh” Totti adalah hasil turunan dari ibunya. Menolak pindah hanya karena rumah. Andaikan latar waktu penolakan tersebut tak jauh-jauh amat dari masa kini, mungkin sang ibu tidak akan berpikir dua kali untuk menerima tawaran Milan.
Mungkin saaat ini, sang ibu tengah menangis sesenggukan di pojokan kamar sambil meratapi keputusannya menolak Milan.
Kebodohan lain Totti adalah saat menolak pinangan Florentino Perez. Saat kariernya sedang menanjak, Perez datang dengan cek kosong untuk meminang Totti. Perez, dengan segala ambisi gilanya, berusaha untuk membangun Los Galacticos dengan menempatkan Totti sebagai salah satu bagian penting.
David Beckham berhasil didatangkan. Tapi tidak dengan Totti. Totti menolak Real Madrid demi bertahan di klub yang hanya bisa memberikan satu gelar Serie A. Alasanya lagi-lagi karena rumah. Keluarga Totti kembali mengingatkan pentingnya bertahan di rumah. Bodoh sekali, bukan?
Padahal, andaikan ia menuruti keinginan Perez untuk menjadi bagian dalam Los Galacticos, saya berani bertaruh kalau Ballon d’Or adalah gelar individu yang akan diraih Totti. Tapi apa mau dikata, Totti adalah manusia bodoh yang paling bodoh. Tingkatan bodoh paling atas.
Sebenarnya ada satu lagi penolakan yang dilakukan keluarga Totti. Tapi bagi saya, itu bukan sebuah kebodohan dan kesalahan. Itu sebuah keputusan yang tepat, yaitu menolak pinangan Lazio. Sebagai keluarga berdarah Giallorossi (merah dan kuning), pindah ke Lazio adalah hal paling hina di dunia. Good job, Mama.
Lihat bagaimana nasib Totti saat ini. Ia terpuruk dalam kegagalan demi kegagalan. Bertahun-tahun puasa gelar. Bertahun-tahun pula melihat klub-klub lain silih berganti mengangkat trofi. Dan Totti melihat koleganya seperti Gianluigi Buffon, Paolo Maldini, dan Javier Zanetti bergantian mengangkat piala. Miris sekali, bukan?
Lihat bagaimana Zinedine Zidane, Luis Figo, bahkan Cristiano Ronaldo mengangkat trofi Liga Champions. Satu-satunya piala yang sangat diidamkan Totti. Dan Totti melihat nama-nama tersebut dari depan layar televisi. Kasihan sekali, bukan?
Tapi begini saudara sekalian. Ada hal yang tak bisa dibeli oleh gelar dan uang, yakni kebahagiaan. Tak ada yang bisa membeli perasaan yang satu itu. Uang dan gelar mungkin bisa membuat hidupmu setingkat lebih baik. Tapi hal tersebut tak bisa membeli rasa bahagia. Perasaan yang membuat Totti memilih bertahan di Roma.
Merayakan gol di depan Curva Sud adalah keinginannya sejak dulu. Bahkan saat Giuseppe Giannini, idola masa kecilnya melakukan itu di depan matanya. Di depan Curva Sud.
Kesalahan yang dibuat Totti sudah selayaknya kita rayakan. Tanpa kesalahan itu, mungkin saat ini saya tak akan melihat Totti bermain dengan sepenuh hati. Tanpa kesalahan itu, mungkin saya dan juga Anda tidak akan menjadi fans AS Roma.
Akui saja, kebanyakan dari kalian yang mendukung Roma karena Totti. Dan, jangan lupa, untuk berterima kasih kepada mama Totti. Tanpa beliau, kita tak akan menyaksikan “kebodohan-kebodohan” Totti yang menghibur, sekaligus membahagiakan. Perempuan memang tak pernah salah.
Selamat ulang tahun, kapten terbaik, Francesco Totti!