Aya Naon Kitu, Persib?

Saya samar-samar mengingat kenapa suka Persib Bandung. Karena jelas secara identitas kedaerahan dan dari keluarga besar pun tidak ada yang murni berdarah Sunda atau berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat.

Ibu saya murni seorang Jawa tulen, Jawa Timur tepatnya. Walau bapak kemudian lahir dan besar di Jakarta, saya harusnya suka Persija, bukan Persib. Tapi pesona Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan ternyata kurang kuat untuk menarik minat saya menyukai Persija.

Sedikit saya ingat, pertama menyukai Persib, saya baru lulus SMP. Di Persib pun masih bercokol nama-nama seperti Salim Alaydrus, Eka Ramdani, Zaenal Arif, hingga penyerang favorit saya, Gendut Donny.

Kenapa favorit? Ya karena namanya itu. Gendut Donny. Kan asyik. Seru dan membekas di ingatan. Tapi serius, duet Zaenal Arif dan Gendut Donny dulu begitu membekas di memori saya, kendati Persib tak kunjung juara saat itu.

Ketika akhirnya bermain Football Manager 2007 yang begitu tidak diminati anak-anak seusia saya saat itu, saya memilih melatih Maung Bandung. Tapi gagal.

Justru saya pernah melatih sebuah tim kabupaten Bandung, Persikab Bandung, yang dikapteni Ahmad Syafei, pemain yang bahkan saya tidak tahu wajahnya. Di Persikab pula masih bercokol Tantan, yang sekarang sudah bermain membela Persib.

Di Persikab, yang seharusnya pemilik resmi Si Jalak Harupat karena memang letaknya di kabupaten dan Persib saat itu bermarkas di Siliwangi, saya main sampai 13 musim dan menembus final Piala Dunia Antarklub. Tidak hanya menembus final, saya pun berhasil juara dengan mengalahkan Liverpool saat itu.

Tim asal Bandung jadi juara dunia. Kurang surealis bagaimana lagi hal itu? Ya walau sebatas hanya di game virtual, tetap saja sensasinya begitu membekas.

Bandung juara dunia!
Bandung juara dunia!

Saya silih berganti memainkan Persikab dan Persib secara sporadis di Football Manager 2007 saat itu. Saya tidak punya alasan khusus, saya hanya menyukai Bandung.

Bandung secara kota, bahasa dan budayanya. Saya menyukai semuanya, dan kalau diperlukan alasan pun, rasa-rasanya saya tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan, lagipula, yang namanya suka, kenapa harus disertai alasan?

***

Sejak euforia kemenangan adu penalti di stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, tahun lalu atas Persipura, saya punya optimisme tinggi setidaknya bisa secara konstan merayakan bagaimana rasanya menjadi suporter yang timnya bisa juara seperti Persib.

Jangan salah, seperti laiknya anak muda lain kebanyakan, saya pun mempunyai tim luar negeri yang menjadi favorit, sayang sejak 2003/2004, tim itu jarang juara, jadi selain menyukai tim itu, saya menyukai Persib saja.

Tapi memang apes, Persib pun sudah lama tak juara, terakhir malah tahun 1994, saat saya masih balita dan bahkan saat sudah kuliah, baru Persib juara lagi. Hebat betul Persib ini. Puasa gelarnya sampai menemani fase pertumbuhan seorang anak dari bayi beranjak menjadi dewasa dan kuliah.

Ketika Liga berhenti karena berbagai persoalan antara federasi dan pemerintah, muncul beberapa turnamen yang diadakan untuk mengisi kekosongan kompetisi di Indonesia. Salah satunya Piala Presiden yang kemudian berhasil dijuarai Persib setelah mengalahkan Sriwijaya di final yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta..

BACA JUGA:  Pelajaran Bagi Suporter Indonesia di Tengah Pandemi Corona

Tentu bahagia betul saya. Dari awal saya memang percaya fondasi yang dibangun Djajang Nurdjaman bakal memberi kenyamanan bagi permainan Persib di lapangan. Materi pemain dan iklim di dalam tim yang kondusif menjadi kunci kenapa Persib dominan sejak menjuarai Liga tahun lalu.

Selain itu, manajemen dan urusan gaji juga berjalan lancar. Hubungan dengan Bobotoh pun cukup erat dan mesra. Persib, sekali lagi, menunjukkan citra klub yang profesional dan dikelola dengan baik di iklim pengurusan klub di Indonesia yang rentan dengan ketidakbecusan dan permasalahan gaji pemain.

Tapi entah kenapa, di pagelaran Piala Jenderal Sudirman (PJS) ini, rasa-rasanya Persib tidak akan menjadi tim yang sekompak dan semenarik dulu saat Liga tahun lalu dan Piala Presiden bulan lalu. Memang, kembalinya Vladimir Vujovic ke negaranya dan cederanya Zulham Zamrun memberi dampak yang besar.

David Pagbe yang direkrut pun mungkin ibarat pohon tua yang lapuk. Dan yang paling menyakitkan, kosongnya ruang yang ditinggalkan Zulham hampir tidak diantisipasi dengan baik oleh manajemen dan tim pelatih.

Memaksimalkan Febri Hariyadi dan Gian Zola tentu baik, sayangnya itu tampaknya belum cukup. Masalah makin pelik ketika M. Ridwan ternyata tak juga pulih untuk mengisi kekosongan karena cederanya Zulham.

Praktis, berangkatlah Persib ke PJS ini dengan skuat yang boleh dibilang hanya 70-80% saja kehebatannya. Tapi, entah kenapa, saya tetap optimis. Siapa tahu, skuat seadanya ini bisa bersaing, toh, mental juara kan memang ada di Persib.

***

Dua kali tertinggal dari Persela Lamongan di laga awal tentu memberi kekhawatiran yang masif. Bagaimana mungkin Persela, yang walaupun sebuah tim kuda hitam, bisa sampai merepotkan Persib hingga hampir 80 menit.

Dan lagi-lagi, peran protagonis harus dimainkan secara maksimal oleh Makan Konate dengan dua golnya untuk comeback Persib dan berhasil meraih kemenangan. Tapi, ketergantungan akan Konate ini menyedihkan, karena selepas penyisihan grup, dia akan pindah bermain di Malaysia. Ini yang mengkhawatirkan.

Terbukti, ketika Konate (dan Firman Utina) tidak ada di lapangan, kreativitas makin miskin dan lini serang tidak ada kreasi yang memadai untuk mengancam pertahanan lawan atau bahkan mencetak gol.

Laga melawan Surabaya United jadi bukti kenapa ketika Konate dimatikan, dan Firman kehilangan kreativitas, tidak ada pemain lain yang mampu mengambil peran penting dalam serangan.

Atep minim tusukan. Tantan kurang optimal. Dua pemain muda yang tampil pun, Gian Zola dan Febri, walau mejanjikan, kerapkali hanya dimainkan di 30 menit awal atau hingga akhir babak pertama saja. Mendadak, Persib menjadi impoten. Mandul dan basi. Kekalahan 1-0 pun hadir saat itu (25/11).

***

Saya tidak terlalu antusias menyambut laga melawan Pusamania Borneo (27/11). Bukan karena tidak ada Iwan Setiawan dan psywar bombastisnya itu, tapi memang karena Persib yang terlalu mudah ditebak ketergantungannya terhadap Konate dan Firman, akan sangat gampang untuk diredam dan dimatikan.

BACA JUGA:  Mencintai Persib Tak Harus Menjadi Bandung

Jalannya pertandingan sudah ditebak ketika trio Ponaryo Astaman, Terens Puhiri dan Sultan Samma bisa leluasa menguasai lini tengah saat Hariono harus kelimpungan menutup ruang yang ditinggalkan Firman Utina untuk naik. Bukan Hariono bermain buruk, sering gagalnya Firman merangkai serangan yang baik, kerapkali saat bola hilang dan Pusamania melakukan serangan balik, Hariono ibarat anak ayam yang kehilangan induk.

Ada Sultan Samma dan Terens Puhiri yang naik untuk menyerang, sedangkan wilayah yang harus dijaga begitu luas karena Firman terlambat turun usai maju ke depan. Dan mudah saja gol pertama tercipta ketika Sultan Samma sukses melewati Supardi setelah berlari dari kanan dan menusuk ke dalam sebelum melepaskan tendangan melengkung ke gawang Made Wirawan.

Bayangan pertandingan melawan Surabaya United mengusik saya.

Masuknya Atep dan Tantan, walau sedikit membantu memberi variasi dan kecepatan di sisi sayap, tetap tidak mampu membantu duo Firman dan Konate dalam memberi suplai untuk Spasojevic di depan.

Membayangkan Spaso harus sering berduel dengan Hamka Hamzah dan Goran Gancev sendirian, saya jadi ingat Edin Dzeko yang tersesat kehilangan arah dan tenggelam dalam lautan luka dalam saat Roma melawan Barcelona tengah pekan lalu di Liga Champions.

Keroposnya lini tengah mungkin tidak disadari betul oleh Djanur, atau entahlah, hingga mudah saja bagi Ponaryo untuk menyodorkan bola bagi Terens Puhiri dan dilanjutkan dengan tendangan dahsyat dari luar kotak untuk menaklukan I Made Wirawan. Saya tahu Persib habis sejak gol itu. Maka seketika streaming saya hentikan, dan saya mulai menulis esai ini.

***

Dengan komposisi skuat yang sebenarnya masih mumpuni walau tak komplit benar, gagal di penyisihan grup tentu aneh bagi Persib. Sama anehnya dengan Spanyol di Piala Dunia 2014 dan Prancis di Piala Dunia 2002.

Saya yakin, Zinedine Zidane mungkin masih bertanya-tanya kenapa bisa kalah dengan pemain seperti El Hadji Diouf yang gemar meludah daripada cetak banyak gol itu.

Ketergantungan akan Konate dan Firman tentu dimaklumi, toh sosok kedua pemain itu begitu sentral. Namun tidak nampaknya peran pemain lain dalam membantu meningkatkan performa Persib jelas menjadi pertanyaan besar. Ada apa sebenarnya?

Apa memang sosok Zulham Zamrun dan selebrasi ala Cristiano Ronaldo-nya itu sebegitu dirindukan sampai-sampai serangan Persib tumpul? Atau kokohnya tembok Slavic ala Vujovic juga tak mampu dilapis dengan baik oleh Abdul Rahman dan Ahmad Jufriyanto?

Walau hanya sebatas turnamen biasa dan (mungkin) tidak terlalu bergengsi, kegagalan tetap harus diratapi dan dipelajari. Saya heran saja, seharusnya Persib bisa lebih dari ini. Tim seminim persiapan macam PS TNI saja bisa bermain stabil, atraktif dan kompak, kenapa Persib tidak?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.