Celana Bersih Paolo Maldini

Sebelumnya, izinkan saya untuk mengajak Anda mengenang kembali permainan bola kala kanak. Tumpukan sandal, azan magrib, dan hujan deras. Mana di antara ketiga hal itu yang paling ingin diulang karena keseruannya?

Jika Bambang Pamungkas atau Kurnia Meiga akan mengeluhkan hujan yang membuat lapangan jadi Laut Kaspia, maka tidak dengan kita kala kanak.

Hujan justru bikin permainan jadi makin seru, makin dramatis, makin ingin diulang untuk nostalgia. Malah kalau perlu, kita akan membuat perjanjian dengan Tuhan agar hujan bisa semakin deras dan awet.

Dan di situasi itulah, tanah yang mulai becek atau genangan air mendadak akan jadi spot favorit. Jadi panggung teater kesohor di Manhattan. Sebab di sanalah kita bisa melakukan apa yang mustahil dilakukan saat lapangan kering. Yaitu sliding tackle.

Mata kita melirik ke sana-kemari mencari genangan air, dihafal posisinya, lalu saat ada bola yang jatuh di sana, kita—dengan hormon adrenalin yang sudah begitu banyak diproduksi tubuh—akan dengan gembira meluncur di atasnya. Seolah genangan itu adalah wahana water boom kelas dunia dan kita bahagia bukan kepalang karena bisa masuk ke sana dengan gratis tanpa tiket.

Kita akan merasa sebagai seorang Tony Adams, John Terry, atau Nemanja Vidic dengan kaki-kaki betonnya. Namun jika Anda merasa bahwa dengan begitu Anda adalah seorang Paolo Maldini, maka siap-siap saja sang legenda akan memarahimu habis-habisan.

Melakukan sliding tackle memang keren. Apalagi jika dilakukan di atas lapangan yang basah dan berhasil menghambat laju progresi lawan.

Lebih keren lagi jika dilakukan di atas garis gawang, membuat diri Anda sebagai seorang penyelamat tim dari kebobolan. Dan tentu saja membuat Anda merasa disorot oleh seluruh kamera yang ada di muka bumi.

Jika Anda satu tim dengan Maldini, mungkin Anda akan diapresiasi atas aksi spektakuler barusan, tapi di tahap berikutnya, Anda bakal kena damprat apabila keseringan melakukannya hanya untuk menghentikan penyerang lawan.

Paling tidak tanyakan itu kepada “Bill Shankly”-nya Manchester United. Manajer tersukses kota Manchester yang diam-diam hadir di tribune VIP Allianz Arena kala AC Milan harus berhadapan dengan FC Bayern Munchen.

BACA JUGA:  Dari Highland ke Karibia

Pertandingan perempat final Liga Champions yang begitu berat bagi Carlo Ancelotti. Bukan hanya karena bertanding di kandang lawan, namun karena pada pertandingan pertama di San Siro, Dida harus memungut bola dua kali oleh aksi heroik Van Buyten.

Anda juga tahu, kebobolan dua gol di kandang adalah beban berat yang harus dipikul kala harus bertamu ke rumah “Si Nyonya Tua”-nya Bundesliga, sekalipun Andrea Pirlo dan Ricardo Kaka sukses menyelamatkan kehormatan Anda dengan membuat kedudukan sama kuat.

Tentu saja Sir Alex Ferguson hadir bukan sebagai tamu undangan, apalagi sebagai salah satu suporter dari kedua tim. Ia hadir karena United baru saja memastikan langkah ke semifinal setelah mencukur habis bulu kehormatan Serigala AS Roma 7-1 di Old Trafford. Fergie hadir karena ingin memastikan dengan mata kepala sendiri, siapa yang akan ia hadapi di semifinal nanti.

Menghilang karena harus

Rio Ferdinand muda berlatih di London dengan seragam akademi. Di sana ada satu pesan salah satu pelatih yang tidak mungkin dilupakannya, “Jika celana pendekmu tidak kotor pada akhir pertandingan, maka kamu sedang tidak bermain dengan baik.”

Pesan yang awalnya cukup masuk akal bagi seorang Ferdinand. Sebagai seorang pemain bertahan, sliding tackle adalah hal yang lumrah dan bakal sering dilakukan.

Ini semacam citra yang tak bisa dipisahkan. Macam seberapa sering seorang kiper melakukan diving save menawan atau seorang penyerang melakukan tendangan voli maupun salto.

Namun, Ferdinand menyadari satu hal. Bahwa pemain bertahan yang baik bukanlah dinilai dari seberapa sering ia melakukan sliding tackle, namun justru yang paling jarang melakukannya namun gawangnya tetap bersih. Sebersih celana si pemain. Dan bagi sosok yang membuatnya datang ke Old Trafford, hal semacam ini adalah cara bertahan kelas wahid.

Di rumah baru FC Bayern itulah Fergie bahkan tidak mengomentari gol Clerence Seedorf yang mengolong Van Buyten atau gol Filippo Inzaghi yang di tayangan ulang terlihat betul posisi offside-nya. Semua lenyap dalam pandangan Fergie. Ia malah terkagum-kagum dengan cara bertahan Paolo Maldini.

“Maldini bertahan melalui 90 menit tanpa pernah melakukan sliding tackle. Itu adalah seni (bertahan) dan ia masternya,” jelas Fergie kemudian.

BACA JUGA:  Gianluigi Buffon Menuju 40 Tahun

Pertandingan malam itu, Maldini adalah sosok yang benar-benar hilang. Perannya sangat samar, tidak terlihat mencolok, dan dalam pandangan awam sama sekali tidak layak untuk jadi pemain terbaik.

Layaknya kapal induk Avengers, tidak terlihat karena memang ingin tidak terlihat, tidak sama dengan tidak terlihat karena memang tidak mampu untuk terlihat. Maldini tidak terlihat, tapi di hampir semua proses bertahan Milan ia terlibat.

Maldini mengomando Alessandro Nesta, meneriaki Massimo Oddo, mewanti-wanti Marek Jankulovski, memberi apresiasi atas penampilan gemilang Dida. Sampai-sampai, Lucas Podolski dan Marco Van Bommel tidak tahu apa yang membuat mereka tidak bisa membobol gawang Milan.

“Kami 15 tahun menjadi rekan tim, saling memahami; bergerak seolah kami satu individu. Dia mampu menjalani semua peran di lini pertahanan. Suatu kepuasan dan kehormatan bermain bersamanya,” adalah ucapan seorang Franco Baresi yang lahir bukan dari kesimpulan sembarangan.

Maldini dibesarkan oleh kekalahan saat menyaksikan Diego Maradona seorang diri membawa Scudetto ke kota Naples, menghadapi kedahsyatan kaki-kaki Gabriel Batistuta, menempel ketat priyayi Roma Fransesco Totti, dan—tentu saja—menghadapi “The Beast” Ronaldo Nazario Da Lima, the only one Ronaldo, di Derby Della Madonnina.

“Ia akan ditulis sejarah sebagai bek terbaik yang pernah ada,” kata Brian Laudrup.

Kehebatan ini tidak lahir begitu saja. Segala pengalaman yang membentuk Maldini pada satu pendekatan, bahwa celana yang kotor malah menunjukkan bahwa seorang pemain bertahan telah out of position ketika menghadapi penyerang lawan.

Sehingga membuat si pemain melakukan effort lebih untuk mengantisipasi. Dan di Serie A, Maldini ditempa dengan gladiator-gladiator ganas untuk tidak sembarang melakukan sliding tackle. Tidak boleh sembarangan mengotori celana pendeknya.

Pemain yang memiliki gelar Liga Champions sama banyaknya dengan klub tempat Lionel Messi bermain ini menunjukkan hal besar dengan sentuhan kecil. Sentuhan yang—mungkin—tidak akan dikenang oleh kita, namun akan diingat terus oleh Fergie.

Sebab di semifinal, Fegie harus mengubur mimpinya untuk berlaga di final. Tempat di mana Miracle of Istanbul ciptaan Steven Gerrard tersembuhkan oleh Revenge of Athena ciptaan Inzaghi.

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab