Meraup gelar juara adalah tujuan dari seluruh tim yang mengikuti sebuah kejuaraan atau kompetisi. Mana mungkin Arsenal tak ingin gelar Liga Champions yang saban musim rajin diikuti? Apa iya Scuderia Ferrari ikhlas dipecundangi para rival di ajang balap prestisius yang mereka ikuti sejak pertama kali eksis pada tahun 1950 bernama Formula 1?
Saya pun meyakini jika dua entitas olahraga di atas telah melakukan beribu macam upaya demi mewujudkan ambisi dan mimpi merengkuh segala kesuksesan. Sudah pasti The Gunners maupun The Prancing Horse mengeluarkan uang dalam jumlah gemuk demi melakukan pembenahan. Khususnya pada faktor-faktor teknis yang ada.
Namun kenyataannya, faktor pendukung kesuksesan sebuah tim dalam memetik keberhasilan bukan cuma hal-hal teknis semata. Ada hal-hal nonteknis yang ikut memengaruhi kesuksesan tersebut.
Perihal nonteknis yang bisa dimasukkan dalam kasus ini antara lain keberpihakan oknum tertentu, kondisi alam (dalam pertandingan atau balapan), keberuntungan, sampai yang paling absurd dan mengerikan, kutukan.
Khusus untuk faktor nonteknis yang terakhir, suka tidak suka, kita harus mengakui jika hal tersebut memang “hidup” di bidang olahraga. Namun jangan buru-buru melabeli saya sebagai musyrik atau kafir lantaran membahas hal ini ya.
Chicago Cubs
Di Amerika Serikat, terdapat empat cabang olahraga yang sangat populer dan digandrungi warganya, yaitu basket, bisbol, hoki es, dan American Football. Kemarin (3/11), liga bisbol Amerika alias Major League Baseball (MLB) baru saja menyelesaikan musim 2016.
Chicago Cubs dan Cleveland Indians jadi dua tim yang mesti baku hantam di final atau lumrah disebut World Series. Dalam final yang menggunakan format The Best of Seven* tersebut, Cubs sukses menggondol Commisioner’s Trophy untuk ketiga kalinya sepanjang sejarah klub.
Namun usaha menggenggam trofi prestisius tersebut tidak didapat dengan gampang. Kedua tim secara bergantian mampu mengalahkan lawannya. Indians memenangi game pertama, ketiga, dan keempat. Sedangkan Cubs berhasil memenangi game kedua, kelima, dan keenam sekaligus menyamakan agregat menjadi 3-3 usai tertinggal 1-3.
Alhasil, game ketujuh mesti diadakan guna mencari pemenang. Sial bagi Cubs, game ketujuh dilangsungkan di markas Indians, Stadion Progressive Field. Bermain di kandang lawan tentu bakal menghadirkan teror dari fans tim tuan rumah.
Hal ini juga yang kemudian dirasakan awak Cubs di sepanjang laga ketujuh. Akan tetapi, hal tersebut tak menciutkan nyali Anthony Rizzo dan para kawannya guna meraup kejayaan.
Lewat pertandingan yang alot, dramatis, dan menguras emosi, anak asuh Joe Maddon berhasil memetik kemenangan via skor akhir 8-7. Hal itu sekaligus mengunci agregat Cubs versus Indians menjadi 4-3.
Ada sebuah cerita unik dibalik keberhasilan Cubs merengkuh Commisioner’s Trophy ketiga mereka kali ini.
Karena selain harus menjalani puasa gelar yang sangat panjang, yakni 108 tahun karena Cubs menjadi kampiun untuk terakhir kalinya pada 1908, ada kutukan yang akhirnya berhasil dipatahkan klub yang bermarkas di Stadion Wrigley Field ini.
Mungkin akan terdengar konyol bagi Anda. Namun, “realita” yang ada memang menunjukkan hal tersebut. Semuanya bermula pada ajang World Series 1945.
Di game keempat, Cubs menjamu sang lawan, Detroit Tigers di Stadion Wrigley Field. Ketika itu, pemilik Billy Goat Tavern, semacam restoran mini, yang bernama William Sianis datang ke stadion beserta kambing peliharaannya (sekaligus maskot restoran mininya), bernama Murphy.
Kehadiran lelaki imigran asal Yunani dan kambingnya itu ke tribun penonton rupanya dianggap mengganggu oleh fans yang ada di sekitarnya. Cacian pun meluncur dari mulut fans, khususnya terhadap si kambing.
Anda tentu bisa membayangkan bukan, bagaimana sedapnya aroma kambing? Alhasil, William dan Murphy diminta untuk angkat kaki dari stadion. Marah karena hal tersebut, William pun mengeluarkan sumpah serapah.
“Cubs takkan pernah memenangkannya lagi!”
Kalimat tersebut memang terkesan bias sebab William tak merujuk pada gelar World Series. Hingga akhirnya pemilik Cubs saat itu, Phillip K. Wrigley, menerima sebuah telegram yang diklaim oleh keluarga Sianis sebagai kiriman dari William. Isi telegram tersebut kurang lebih berbunyi :
“Kalian akan tumbang pada World Series kali ini (1945). Dan kalian takkan pernah memenangi World Series lagi. Hal itu disebabkan kalian telah menghina kambing milikku!”
Percaya atau tidak, Cubs pada akhirnya memang takluk dari Tigers pada World Series 1945 dengan agregat 4-3. Kutukan itu sendiri kemudian beken dengan nama The Curse of Billy Goat. Dan sejak saat itu, Cubs tak jua berhasil menapakkan kaki mereka di babak World Series.
Usaha yang dilakukan pihak Cubs untuk “mengusir” kutukan itu sendiri telah dilakukan dengan beraneka cara. Mulai dari menyiramkan air suci di seluruh bagian Stadion Wrigley Field hingga membawa seekor kambing ke lapangan.
Setelah William mangkat dan kambing bernama Murphy itu mati, restoran mini Billy Goat Tavern dikelola oleh Sam Sianis, keponakan William. Sebagai pengganti Murphy, Sam menjadikan seekor kambing bernama Socrates sebagai peliharaan sekaligus maskot baru restoran mininya. Kabarnya kambing ini merupakan keturunan dari Murphy.
Pihak Cubs pun mengundang Sam dan Socrates di beberapa kesempatan untuk hadir langsung di Stadion Wrigley Field, yakni pada tahun 1973 dan 1984. Alasannya apalagi kalau bukan untuk mengangkat kutukan itu.
Hebatnya lagi, Socrates diperlakukan bak tamu agung lantaran dibawa ke stadion menggunakan mobil limousine dan disambut dengan karpet merah.
Di dua kesempatan itu, Sam dan kambingnya diminta untuk berkeliling stadion, utamanya di lapangan. Sial buat Cubs, hal tersebut nirhasil sebab tim berlogo anak beruang ini tetap saja gagal melaju ke babak World Series (hingga akhirnya terpatahkan tahun ini sekaligus keluar sebagai juara).
SL Benfica
Beralih ke Portugal, tepatnya ke Lisbon, ada kisah serupa Cubs yang dialami oleh salah satu klub sepak bola terpopuler dan terbesar di sana, yaitu SL Benfica. Kesebelasan berjuluk As Aguias atau Si Elang ini mendapat kutukan dari bekas pelatih mereka di era 50-an dan 60-an asal Hungaria, Bela Guttmann.
Tangan dingin Guttmann memberi sejumlah trofi bagi klub yang pernah diperkuat legenda sepak bola Portugal, Eusebio, tersebut. Dua gelar juara Liga Portugal, satu Piala Portugal, dan sepasang Piala Champions jadi catatan emas Guttmann selama melatih As Aguias.
Segelimang prestasi itu juga yang memicu Guttmann untuk menghadap pihak manajemen selepas menjuarai Piala Champions 1962. Dengan prestasi yang berhasil disumbangkannya, Guttmann berharap jika manajemen klub mau menaikkan gajinya. Nahasnya, pihak klub justru menolak hal tersebut.
Tersinggung pada perlakuan manajemen Benfica, Guttmann pun mengeluarkan sumpah serapah.
“Seratus tahun dari sekarang, Benfica takkan pernah lagi menjadi jawara Eropa!”
Ucapan tersebut diikuti dengan cabutnya sang arsitek dari Portugal guna kembali ke Amerika Selatan. Pada 1953, Guttmann sempat membesut tim asal Argentina, Quilmes. Tapi tujuan Guttmann kali ini bukan Argentina, melainkan Uruguay. Adalah klub raksasa Penarol yang meminangnya sebagai pelatih anyar.
Sejak sumpah serapah itu diucapkan, hingga kini, Benfica telah menembus delapan final kejuaraan antarklub Eropa, yakni lima final Piala Champions (1963, 1965, 1968, 1988, dan 1990) serta tiga final Piala UEFA/Liga Europa (1983, 2013, dan 2014).
Tragisnya, tak satu kali pun Benfica sukses menggondol trofi juara di delapan kesempatan tersebut. Catatan ini merupakan sebuah rekor tersendiri lantaran Benfica didaulat sebagai klub yang paling sering gagal mencomot trofi di babak puncak kompetisi antarklub Eropa.
Hal ini juga yang membuat Benfica kerap dijadikan bahan tertawaan kesebelasan rival, terutama oleh pendukung FC Porto yang juga punya prestasi mentereng di kancah sepak bola Eropa.
Kubu As Aguias sendiri telah melakukan banyak hal demi menghapus kutukan Guttmann. Salah satu cara yang ditempuh adalah ziarah ke makam Guttmann.
Hal itu dilakukan oleh Eusebio dan beberapa orang dari pihak manajemen pada tahun 1990 kala Benfica akan bertempur di final Piala Champions. Kala itu, sang legenda berdoa agar “arwah” Guttmann mengangkat kutukan yang ditujukan kepada As Aguias.
Sayangnya, upaya tersebut tak membuahkan hasil karena Benfica tetap tumbang dari raksasa Italia, AC Milan, via gol semata wayang Frank Rijkaard.
Kekecewaan sosok yang dikenal karismatik, vokal, eksentrik, berego tinggi, dan jenius ini memang teramat dalam. Sialnya, Benfica mesti “menanggung” hal tersebut sampai saat ini.
Dan jika kutukan seratus tahun Guttmann benar-benar terbukti, maka Benfica baru akan meraih trofi Eropa lagi pada 2062 mendatang atau sekitar 49 tahun lagi. Akankah hal itu menjadi kenyataan atau lebih dahulu dapat dipatahkan?
Apa yang terjadi kepada Chicago Cubs dan Benfica adalah sedikit contoh dari kutukan-kutukan yang pernah dan masih eksis di jagat olahraga dunia. Saya pribadi tak meminta Anda untuk meyakini apa yang terjadi pada Cubs dan Benfica murni diakibatkan oleh kutukan.
Tapi, satu yang pasti, faktor-faktor nonteknis, apa pun bentuknya, bisa ikut menentukan apakah tim kesayangan Anda sanggup meraih kesuksesan atau tidak.
NB:
* Laga final berformat The Best of Seven adalah pertandingan-pertandingan final yang dilakukan secara home-away oleh dua tim yang berjumpa di final suatu kompetisi, khususnya di Amerika Serikat. The Best of Seven sendiri memiliki format tertentu seperti 2-3-2 (digunakan di MLB) atau 2-2-1-1-1 (digunakan di NBA) dengan tim yang memiliki statistik selama babak reguler lebih baik, biasanya mendapat jatah berlaga di kandang lebih banyak.