Tentu terdengar menyenangkan saat anda memiliki hobi yang sekaligus merupakan profesi sehari-hari plus menghasilkan uang. Katakanlah anda memiliki hobi menulis dan bekerja sebagai jurnalis. Profesi tersebut tentu terasa menyenangkan karena anda menyukai apa yang anda kerjakan. Atau anda memiliki hobi menggambar dan bekerja menjadi desainer grafis sebuah korporat di kota besar. Atau Anda senang memasak dan berprofesi menjadi koki di sebuah restoran. Pekerjaan atau profesi yang anda lakukan sehari-hari tersebut seharusnya menyenangkan karena itu pula hobi Anda.
Tapi, tunggu dulu. Dalam buku Ignore Everybody (2014), Hugh MacLeod menyampaikan perlunya waspada jika Anda mengubah pekerjaan menjadi hobi. Dalam satu bab di buku tersebut, Hugh menuturkan kisah seorang kawannya yang bernama Andrew. Andrew adalah pria yang memiliki hobi terhadap barang-barang antik. Pada suatu hari dalam hidupnya, ia memutuskan berhenti bekerja sebagai akuntan karena merasa tidak benar-benar menyukai profesi itu. Andrew kemudian mendapat pekerjaan di balai lelang bergengsi untuk menilai barang-barang antik. Pekerjaan yang sesuai hobinya.
Beberapa tahun kemudian, Hugh bertemu kembali dengan Andrew. Kali ini dalam keadaan yang muram. Andrew sudah kehilangan pekerjaan, memiliki banyak masalah, dan terlalu banyak minum. Seorang kawan lain yang lebih bijak mengatakan kepada Hugh, “Dulu, Andrew memiliki pekerjaan dan hobi. Lalu ia tiba-tiba hanya memiliki pekerjaan dan tidak memiliki hobi. Kalian harus paham bahwa kita membutuhkan keduanya.”
Selesai membawa kisah tersebut, saya teringat satu nama pesepak bola Inggris yang pensiun pada usia 29. Pesepak bola tersebut bernama David Bentley. Pemain yang pernah dibanding-bandingkan dengan David Beckham ini dulu bermain di berbagai klub seperti Arsenal, Tottenhan Hotspurs, dan Blackburn Rovers. Pada era sepak bola modern saat ini, keputusan Bentley berhenti menjadi pesepak bola profesional pada usia produktif menjadi pertanyaan besar. Dalam berbagai pernyataan di media massa, Bentley mengungkapkan bahwa ia tidak lagi menikmati sepak bola profesional. Ia kehilangan cintanya pada sepak bola. Bagaimana hal ini terjadi? Kisah mengenai Andrew di atas mungkin bisa memberi sedikit penjelasan.
Hampir semua pesepak bola profesional memulai bermain bola sebagai sebuah hobi. Tidak lebih. Sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang dan tanpa tuntutan apapun kecuali keinginan untuk bergembira bersama kawan-kawan. Pada usia tertentu, hobi tersebut berubah menjadi pekerjaan. Mengubah hobi menjadi pekerjaan tentu memiliki risiko tertentu. Para pesepak bola profesional tidak bisa lagi seenaknya bermain sepak bola. Mereka harus mengikuti jadwal kompetisi yang padat, makan untuk memenuhi asupan energi sebagai pesepak bola, melayani penggemar dengan senyum ala karyawati bank, mengikuti instruksi pelatih seperti murid yang patuh, dan seabreg kegiatan lain yang berpotensi membuat kegiatan bersepak bola menjadi rutinitas membosankan.
Hal yang demikian mungkin yang dirasakan David Bentley hingga memutuskan pensiun seperti ia nyatakan dalam salah satu wawancaranya. “Sepak bola olahraga yang saya cintai. Saya bermain untuk bersenang-senang. Anda bisa mengekspresikan diri. Ketika sudah ada di level atas, kesenangan itu menjadi pekerjaan.”
Kisah David Bentley tersebut tentu menjadi satu pengingat bahwa hidup di masyarakat modern mutlak membutuhkan keseimbangan. Tidak selalu berakhir menyenangkan jika anda mengubah hobi menjadi pekerjaan. Ada tuntutan, target dan tekanan tertentu saat anda bekerja. Hobi membuat anda keluar dari tekanan pekerjaan. Saya pikir cara pandang seperti itulah yang dibutuhkan dalam menikmati sepak bola, sebagai sebuah hobi yang menghasilkan kegembiraan. Bukan perseteruan apalagi kekerasan.