Kita sering memaklumi jika ada orang bermulut besar yang memang benar-benar hebat. Jose Mourinho adalah contoh kekinian, untuk kategori seorang pemain, Cristiano Ronaldo mungkin sosok lain yang bisa jadi contoh. Tapi sadarkah Anda bahwa pernah ada pemain bermulut besar yang punya prestasi mentereng di era 1990-an? Yak, kita sambut beliau; Romario de Souza Faria.
Sejatinya Romario adalah pria tenang, hanya dengan ambisi yang cukup besar. Lebih besar dari tubuhnya yang mungil. Rentetan kehebatan Romario dibuktikan dengan fakta bahwa ia adalah pemain Brasil pertama selain Pele yang bisa mencetak 1.000 gol sepanjang 23 tahun karirnya. Ia masih sanggup bermain di level tertinggi sampai usia 41 tahun. Dan memenangkan gelar juara dunia pertama setelah Brasil kehilangan sosok Pele.
Bakat Romario sudah menonjol sejak bermain untuk Olaria, sebuah klub kecil dari pinggiran Rio de Janeiro. Dianggap potensial, Vasco Da Gama tertarik mengontraknya. Bermain fantastis selama tiga musim, PSV Eindhoven tertarik memboyongnya ke Belanda pada usia 22 tahun.
Di Belanda, Romario berkembang menjadi striker mengerikan—sekaligus egois. Tandem Romario di PSV punya kesan itu. “Sebelum kick off ia selalu berkata kepada saya; Beri aku bola, aku akan menggiringnya melewati 5 pemain dan akan kubiarkan kamu yang mencetak gol. Dia mencobanya sepanjang waktu. Hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana. Bagian dia menggiring bola itu bukan masalahnya. Begitu di depan gawang, dia tak pernah mau mengoper bolanya,” ujar Wim Kieft, striker asal Belanda, “Sementara jika saya berada dalam posisi sulit, saya akan mengoper bola kepadanya. Dia akan berkata; Terima kasih, berikutnya kamu akan mendapatkan assist dari saya. Tapi ketika “waktu berikutnya” tiba, dia hanya akan menendang (ke gawang).”
Lima musim dihabiskan di klub tersebut, menyumbang 98 gol untuk 109 pertandingan, dan membawa PSV menjuarai Liga Belanda tiga kali. Prestasi yang membuat raksasa Spanyol; FC Barcelona kepincut meminangnya.
Meskipun hebat. Romario adalah tipe pemain yang tidak begitu antusias ketika berlatih. Maksudnya, ia tidaklah disiplin-disiplin amat. Yah, tipikal orang Brasil yang menganggap sepak bola adalah permainan; bukan sesuatu yang patut diseriusi terlalu berlebihan.
Nah, itulah kenapa ia menilai bahwa Johan Cruyff adalah; “Pelatih terbaik yang pernah kumiliki sejauh ini,” katanya. Kenapa? Sederhana saja. Ketika sesi pertama latihan bersama Cruyff di Barcelona, diadakan latih tanding. Tim Romario kehilangan bola, dan Romario hendak membantu timnya bertahan, tiba-tiba Cruyff berteriak, “Romario, jangan! Romario, tetap di sana! Jangan lari ke belakang! Kamu akan butuh semua energimu untuk serangan berikutnya.” Ya. Untuk kali pertama Romario dianggap dan diperlakukan sebagai pemain yang istimewa.
Nama Romario semakin dikenal luas ketika juara Piala Dunia 1994 Amerika Serikat. Namun, cerita heroiknya ternyata sudah muncul sejak kualifikasi berlangsung. Brasil sempat beberapa laga tanpa Romario hingga begitu menderita karena peluang mereka lolos ke putaran final begitu riskan. Di laga penentuan, Brasil harus mengalahkan Uruguay di Maracana untuk mendapatkan tiket lolos. Ini terasa deja vu. Bagaimana jika kemudian Brasil kalah seperti di Piala Dunia 1950? Bagaimana jika ini jadi “Tragedi Maracana jilid 2”?
Ketakutan-ketakutan inilah yang mengganggu konsentrasi Carlos Alberto Perreira. Awalnya sang pelatih Brasil ini, enggan memanggil Romario. Baginya, Romario adalah pemain egois yang bisa merusak ritme permainan tim. Namun ketika begitu banyak media massa dan masyarakat menekan agar nama Romario kembali masuk tim inti, Perreira akhirnya menyerah.
“Saya sudah tahu apa yang akan terjadi; Saya yang akan membereskan Uruguay,” ujar Romario sebelum pertandingan. Ajaib. Brasil menang 2-0 dengan Romario sebagai pencetak semua golnya. Brasil lolos ke putaran final Piala Dunia 1994. Komentar Perreira, “Tuhan mengutus Romario ke Maracana.”
Bersama Bebeto, Romario menjadi duet menakutkan. Melaju sampai ke final Piala Dunia 1994 dan mengalahkan Italia 3-2 dalam drama adu penalti. Romario menyandang gelar top skor. Buah dari bakat striker yang luar biasa. Lalu komentarnya, “Ketika lahir, Orang di langit menunjuk kepada saya dan berkata; Itu orangnya.”
Dasar mulut besar kau, Romario!