Nama Dejan Gluscevic sempat jadi primadona di tanah air pada pertengahan dan akhir tahun 1990-an. Meski tak genap empat musim berkiprah di sepakbola Indonesia, namanya akan selalu terkenang di wilayah Bandung Raya dan sekitarnya.
Sebabnya ia pernah menggila dengan mengantarkan Mastrans Bandung Raya (MBR) jadi kampiun Liga Indonesia (Ligina) II sekaligus menjadi pencetak gol terbanyak dengan 30 gol dari 32 laga pada musim 1995/1996. Ia juga terpilih sebagai pemain asing paling populer pada musim itu.
Pemain berpaspor Yugoslavia (kini Gluscevic merupakan warga negara Montenegro) ini masuk ke Indonesia lewat tawaran konglomerat yang gila bola, Nirwan Bakrie, untuk memperkuat Pelita Jaya pada musim 1994/1995. Bersama Pelita dan tandemnya di lini depan, Kurniawan Dwi Yulianto, Gluscevic berhasil membukukan 21 gol dalam semusim sekaligus mengantarkan klubnya menembus babak 8 Besar. Namun demikian, aksinya belum membuat Nirwan puas.
Musim berikutnya, Nirwan meminjamkan Gluscevic kepada rekan kongsinya, IGK Manila, yang saat itu menjabat chief de mission MBR. Di sinilah Gluscevic bertemu tandem sehatinya, Peri Sandria, yang juga pencetak gol terbanyak Ligina I musim 1994/1995 dengan koleksi 34 gol dari 37 laga. Peri jadi pelayan terbaik untuk Gluscevic.
Selain merekrut Gluscevic, selepas mendapat suntikan dana dari Masyarakat Transportasi (Mastrans), MBR langsung membangun The Dream Team dengan menggamit gelandang tangguh berpaspor Kamerun, Olinga Atangana, serta mengumpulkan bintang lokal seperti Nur’alim, Surya Lesmana, hingga Adjat Sudrajat. Mereka semua dilatih oleh sosok penuh wibawa asal Belanda, Henk Wullems.
Tanah Bandung seolah bersahabat dengan Gluscevic, musim pertamanya bermukim di Kota Kembang, ia membuat MBR digdaya setelah menempati peringkat satu Wilayah Barat Ligina II berbekal 18 kemenangan, tujuh imbang, dan tiga kali kalah dari 28 pertandingan.
Kehadiran juga memberikan garansi ketajaman dan membuat MBR menyabet predikat sebagai tim paling produktif dengan 57 gol serta hanya kebobolan 17 kali. Tren positif itu berlanjut ke Babak 12 Besar, Gluscevic beserta kolega melahap seluruh pertandingan dengan kemenangan. Produktivitas pun dipertahankan secara konsisten dengan torehan sembilan gol dan cuma kebobolan sekali.
Pada laga semifinal, MBR menaklukan Mitra Surabaya lewat adu penalti dengan skor 4-2 usai main imbang 0-0 selama 120 menit. Sedangkan di partai puncak, MBR membungkam kekuatan terbesar sepakbola Makassar yakni PSM yang saat itu diperkuat oleh Luciano Leandro, Jacksen F. Tiago, dan Yusuf Ekodono dengan skor 2-0.
Keberhasilan MBR ini sendiri memperpanjang sukacita Bandung yang di musim sebelumnya juga menahbiskan diri sebagai kota nomor satu dalam peta sepakbola Indonesia usai Persib menggondol titel juara dengan menaklukkan Petrokimia Putra.
Gelar pencetak gol terbanyak, bikin 30 gol dari 33 penampilan, dan penghargaan pemain asing populer yang diraih Gluscevic juga melengkapi musim manis MBR. Capaian elok tersebut, plus trigol yang ia bukukan di Piala Winners AFC musim 1997, akhirnya membulatkan tekad Pelita untuk membawa Gluscevic pulang ke Jakarta.
Akan tetapi, Gluscevic seolah tak berjodoh dengan Pelita. Upaya Pelita dan Gluscevic tampil memesona sekaligus merebut gelar juara terhenti di babak 12 besar Ligina III musim 1996/1997. Tatkala ambisi menjuarai liga bersama Pelita dikuatkan lagi pada Ligina IV musim 1997/1998, kompetisi justru dihentikan akibat krisis moneter yang mendera Indonesia.
Lantas bagaimana rekam jejak karier Gluscevic sebelum dan selepas berjibaku di Indonesia?
Lebih dari 25 Tahun Menjelajah Benua Eropa, Asia, dan Amerika
Gluscevic mengawali karier profesionalnya sebagai pemain pada 1986 bersama klub kampung halamannya, Red Star Belgrade. Namun belum sekali pun mengenakan baju Red Star, Gluscevic terus dipinjamkan ke klub lain. Mulai dari FK Zemun, Cukaricki, dan Radnicki Belgrade.
Usai menjalani musim yang hebat bersama Radnicki, Gluscevic dilepas ke klub Yunani, Proodeftiki. Sayangnya, masalah finansial yang membelit klub tersebut bikin Gluscevic pulang kampung ke Yugoslavia demi memperkuat Proleter Zrenjanin pada musim 1993/1994.
Delapan tahun berkiprah di kawasan Eropa membuat Gluscevic ingin mencari tantangan baru. Seperti yang dipaparkan di bagian awal artikel ini, Indonesia menjadi destinasinya. Sebagai salah satu pemain asing gelombang pertama yang tampil di Ligina, Gluscevic termasuk figur yang sukses dengan raihan gelar juara bersama klub maupun koleksi titel individu.
Setelah berkarier di Indonesia, perjalanan Gluscevic berlanjut di Singapura. Sebelum akhirnya terbang jauh ke Kanada demi membela panji Montreal Impact dan North York Astros. Bersama klub yang disebut terakhir ini pula, Gluscevic memutuskan pensiun.
Di Kanada pula Gluscevic melakukan debut kepelatihannya bersama Armour Heights Soccer Club. Ia menjajal profesi barunya itu pada 2000/2001. Pada rentang 2002-2005, ia kembali ke North York Astros yang berlaga di kompetisi Canadian Professional Soccer League (CPSL) sebagai pelatih.
Di sana, ia berhasil menembus partai puncak sebelum akhirnya dikandaskan oleh tim Ottawa Wizards. Selain menjabat pelatih di North York Astros, Gluscevic juga mendapat mandat sebagai pelatih di National Training Centre of Ontario Soccer Association dalam kurun 2001 sampai 2005.
Selepas kiprah manisnya di Kanada sebagai pelatih. Gluscevic pulang ke tanah airnya karena mendapat kuasa untuk melatih tim junior Red Star pada periode 2006 hingga 2010. Selain itu, pada tahun 2006 dirinya juga sempat mengabdi di FSSCG, federasi sepakbola Serbia-Montenegro (pasca-perpecahan Yugoslavia) guna duduk di jajaran tim pelatih tim nasional Serbia-Montenegro dan timnas U-19 Wanita Serbia-Montenegro.
Kariernya sebagai pelatih panjang, usai petualangan di atas, pada 2010 sampai 2014, Gluscevic dipanggil asosiasi sepakbola Singapura, SAF, buat melatih timnas U-19 Singapura sekaligus menjabat sebagai direktur teknik. Dirinya bersama mentornya, Slobodan Pavkovic, adalah sosok yang mengembangkan program Junior Center of Excellence.
Gluscevic sangat berkontribusi terhadap program pembinaan bakat-bakat muda di sana. Pada sebuah pertandingan di kualifikasi Piala Asia U-19, Singapura berhasil menanahan imbang timnas U-19 Indonesia besutan Indra Sjafri di Stadion Nasional Hong Kong.
Laga tersebut cukup memanggil ingatan masyarakat tanah air terhadap sosok Gluscevic yang karismatik semasa berkarier di Indonesia. Bahkan laga itu cukup mengapungkan isu bahwa ia bakal kembali ke Indonesia sebagai pelatih. Kabar berhembus, Gluscevic diminati oleh salah satu klub nasional hingga timnas U-19.
Akan tetapi, kabar tersebut hanya isu belaka karena setelah mengakhiri kontrak bersama SAF, ia memutuskan kembali ke Serbia untuk menangani Donji Srem dari tahun 2014 sampai 2016. Menariknya, ia tak pernah menganggur lama sebagai pelatih. Usai masa kerjanya di Donji Srem kedaluwarsa, Gluscevic menjadi incaran VFF, federasi sepakbola Vanuatu.
Agaknya keberhasilan mengembangkan bibit-bibit pesepakbola di Singapura terdengar hingga Vanuatu. Ia ditawari melatih timnas Vanuatu U-20 pada 2016-2017. Dejan mendapatkan target yang berat untuk memimpin timnya berlaga di kualifikasi Piala Dunia U-20 pada tahun 2016.
Bersama Gluscevic, laju Vanuatu U-20 cukup sukses. Mereka tampil sebagai finalis Piala OFC U-20 2016. Capaian itu mengantar mereka tampil di Piala Dunia U-20 2017. Sayangnya, Vanuatu U-20 dibuat tak berdaya oleh Venezuela, Meksiko, dan Jerman sehingga finis dengan status juru kunci Grup B pada fase penyisihan.
Begitu kontraknya dengan Vanuatu U-20 berakhir, Gluscevic kembali ke Serbia untuk menjadi asisten pelatih di klub FK Zemun. Sementara kini, ia menjadi salah satu staf kepelatihan di tim senior Red Star.
Nama Dejan yang Menjamur di Indonesia
Walau kariernya di tanah air tak terlalu lama, tapi kegilaan Gluscevic di lapangan bersama MBR pada musim 1995/1996 akan selalu dikenang oleh para penggila sepakbola Indonesia. Hal ini diejawantahkan masyarakat dengan memberi nama anak mereka (lahir pada rentang 1995 sampai 2009) dengan nama depan Gluscevic. Terlebih, nama Dejan juga terdengar unik serta khas.
Sumber: Facebook
Kemunculan Dejan kecil yang banyak ini membawa ikatan kekeluargaan tersendiri dengan Gluscevic. Bahkan ada yang menganggap ini sebagai klan tersendiri di Indonesia.
“Saya merasa terhormat bahwa seseorang memberi nama anaknya [Dejan] karena saya. Saya profesional dan berdedikasi untuk pekerjaan saya. Tetapi yang lebih penting, saya menunjukkan karakter dan prinsip saya selama berkarier di Indonesia. Dan motivasi paling penting bagi saya adalah saya bermain untuk Anda [para Dejan kecil] juga,” tulis Gluscevic lewat surel ketika menanggapi fenomena nama Dejan di Indonesia.
Sumber: Tabloid BOLA
Namun karena satu dengan lain hal termasuk kesibukan berkarier sebagai pesepakbola maupun saat beralih profesi menjadi pelatih, Gluscevic tak bisa rutin bercengkerama dengan anak-anak bernama Dejan. Seperti diutarakan oleh salah seorang fans Gluscevic yang menyisipkan nama Dejan untuk anak lelakinya yang lahir pada tahun 1996, ia menyebut sang idola hanya dapat melakukan komunikasi lewat media daring.
Adapun ketika Gluscevic berkunjung ke Bandung sekitar lima tahun silam, Gluscevic tak dapat menyapa para Dejan kecil yang mulai dewasa dan telah memiliki kesibukannya masing-masing. Ketika itu Gluscevic sekadar memenuhi undangan direksi klub Pelita Bandung Raya (PBR) dan menyaksikan tim tersebut bertanding di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang.
Berbicara peninggalan Gluscevic di Indonesia, ada keunikan tersendiri dari para Dejan yang terhubung langsung dengan sang idola. Belum satu pun dari mereka yang mengikuti jejak sukses sang legenda. Meskipun mayoritas Dejan telah diarahkan ke dunia sepakbola sejak kecil dengan mengenyam pelatihan di Sekolah Sepak Bola (SSB), mereka kerap kehilangan fokus di dunia ini ketika beranjak dewasa.
Nama adalah sebuah doa. Ya, mungkin itulah tujuan para orang tua para Dejan menamai anaknya dengan nama depan Gluscevic. Namun terkadang nama dari tokoh besar itu menjadi beban tersendiri sehingga alih-alih bergelut di bidang yang sama seperti Gluscevic, mereka malah berkiprah di bidang lain, baik bisnis, jurnalistik, musik dan lain-lain sebagai jalan hidupnya.
Ketika Gluscevic dihubungi lewat surel beberapa waktu silam, ia berharap agar para Dejan senantiasa sehat dan bisa menjadi sosok-sosok yang sukses dalam kehidupannya. Gluscevic juga menyampaikan permintaan maafnya karena belum bisa bersosialisasi lagi dengan fans yang sudah dianggapnya sebagai keluarga itu.
“Saya minta maaf kami belum bisa bersosialisasi lagi. Sampaikan salam dari saya dan keluarga saya. Saya ingin semua Dejan di Indonesia dan keluarganya selalu sehat serta sukses,” begitu bunyi surel yang ia kirimkan.
Sedikit banyak diktum yang Gluscevic sampaikan itu berhasil meredam rindu para fansnya di Indonesia untuk beberapa saat. Namun entah berapa Dejan yang tak kuasa lagi ingin bersua dengan Gluscevic. Tak terkecuali penulis sendiri, sebab nama ujung penulis disadur dari kehebatan lelaki yang kini berumur 52 tahun tersebut.
Meski belum pernah melakukan kontak langsung dan mengikuti kegiatan bersama para Dejan seperti yang pernah Gluscevic lakukan semasa berkarier di Indonesia, saya tetap bangga karena bisa mengajak banyak orang untuk tetap mengingat salah satu predator asing terganas di Liga Indonesia, Dejan Gluscevic, melalui namanya.