Ada sebuah kenangan menyejarah bagi siapa pun yang mengalami dekade 1990-an. National Geographic Channel menabalkan dekade ini dalam konteks global sebagai dekade yang mengkoneksikan umat manusia melalui program bertajuk “The 90’s: The Decade that Connected Us”.
Dalam konteks global sekaligus nasional Indonesia, dekade 1990-an, yang selanjutnya cukup disebut dekade 90-an menandai dua transisi penting. Pertama, dalam ranah teknologi, dekade ini menandai perubahan teknologi dari analog menuju digital. Di bidang media massa, perubahan platform teknologi ini serempak menjadikan media massa semakin massif menjangkau audiens sekaligus terjangkau audiens.
Kedua, dalam ranah sosio-politik, dekade 90-an di Indonesia ditandai semakin redupnya pemerintah Orde Baru yang otoriter. Puncaknya, pada tahun 1998, Orde ini tumbang. Ketumbangan yang membuka kran demokrasi. Media massa menjadi pihak yang diuntungkan oleh kran demokrasi pasca-Orde Baru.
Dibesarkan dalam masa kecil di Madiun, perilaku membaca media saya mulai tumbuh sejak akhir dekade 1980-an. Membaca yang dimaksud di sini adalah bukan sekadar membaca media cetak, namun juga membaca dalam konteks mendengarkan radio dan menonton televisi. Berita sepak bola adalah salah satu berita yang paling saya tunggu.
Di daerah, kedatangan tabloid olahraga di agen koran menjadi momentum. Tabloid BOLA hampir secara mutlak menjadi pengisi dahaga informasi tentang sepak bola. Selainnya adalah Tribun Olah Raga, tabloid yang dimiliki Kelompok Sinar Harapan.
Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, almarhum bapak sering membawakan Suara Karya, koran yang diterbitkan Golongan Karya yang “wajib” dibaca pada masa Orde Baru. Sekolah dan kantor pemerintah umumnya berlangganan koran ini. Sayangnya rubrik olahraga tidak begitu banyak mendapat ruang di Suara Karya.
Jawa Pos, koran yang sedang menggeliat di Jawa Timur pada masa dekade tersebut lebih banyak menyediakan kolomnya untuk berita olahraga, terutama sepak bola. Sayangnya yang ada di perpustakaan sekolah bukanlah Jawa Pos, tapi Suara Karya.
Tahun 1990-an, Jerman Barat juara Piala Dunia yang berlangsung di Italia. Lothar Mathaus memimpin Jerman Barat meraih supremasi tertinggi sepak bola dunia. Setahun sebelumnya ia berperan dalam keberhasilan FC Internazionale Milano meraih peringkat puncak Liga Serie A Italia.
Bersamanya, Andreas Brehme menjadi pemain Jerman Barat yang berkiprah bagi Inter. Gemerlap Piala Dunia 1990 dan kemeriahan Serie A membuka lembaran dekade 90-an. Jerman Barat dan Inter Milan merupakan dua kesebelasan yang saya kenali pada masa itu dari media massa.
Bagi generasi 90-an awal, update informasi tentang sepak bola mancanegara hanya bisa dilakukan dengan membaca halaman olahraga di koran umum dan tabloid olahraga atau mendengarkan berita radio, baik siaran berita olahraga di Radio Republik Indonesia (RRI) maupun radio asing yang bersiaran melalui gelombang pendek.
Awal dekade 90-an pula, televisi menjadi medium baru dalam menikmati sepak bola mancanegara.
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) mengawali diizinkannya televisi swasta bersiaran setelah sebelumnya hanya televisi pemerintah, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang hanya berhak mengisi langit penyiaran di Indonesia.
Kebijakan langit terbuka (open sky policy) diterapkan pemerintah Orde Baru, memungkinkan siaran televisi swasta dan pembelian antena parabola oleh masyarakat. RCTI segera menarik minat audiens dengan program yang dikemas berbeda dengan TVRI, salah satunya adalah siaran langsung Serie A.
Di kala Serie A ditayangkan RCTI pada dekade 1990-an, prestasi Inter Milan justru kian meredup. Prestasi Scudetto tahun 1989 tidak mampu dipertahankan.
Dua rivalnya, AC Milan dan Juventus justru mengkilap prestasinya. Inter Milan hanya bisa bersinar di Piala UEFA, bukan Serie A yang siaran langsungnya menjadi bagian penting budaya pop anak muda generasi 90-an. Selain juara UEFA, pembelian pemain bintang seperti Ronaldo dan Christian Vieri cukup menghibur dan memberi asa. Sayangnya asa itu tiada berbalas prestasi.
Sampai dekade 90-an ditutup dengan pergantian milenium, prestasi Inter tetap biasa-biasa saja untuk ukuran skuat yang bertabur pemain bintang. Sampai internet mulai menjadi pilihan baru dalam konsumsi berita olah raga pada penghujung dekade 90-an, Inter Milan belum bangkit dari keterpurukan.
Juventus dan AC Milan mungkin menjadi pilihan anak muda yang bersentuhan kali pertama dengan sepak bola Italia yang dimediasi media di penghujung dekade.
Apakah kecintaan saya pada Inter Milan memudar, kala layar komputer yang terkoneksi internet lebih banyak berisi prestasi klub lain? Persentuhan pertama saya dengan internet tidak sama dengan persentuhan pertama saya dengan media cetak.
Persentuhan pertama dengan media cetak diwarnai dengan berita prestasi Inter dan kesuksesan pemain Jerman Barat yang memperkuat tim Biru-Hitam. Sebaliknya, persentuhan pertama dengan dunia digital internet justru diiringi meredupnya klub yang dulunya dimiliki oleh Massimo Moratti tersebut.
Pada sebuah dinding kamar, saya menempelkan foto Lothar Matthaus yang saya gunting dari Tabloid Bola. Di sebuah esai terkenalnya berjudul “The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction”, Walter Benjamin menulis tentang redupnya karya seni yang direproduksi secara mekanis. Persentuhan dengan media massa analog, bagaimanapun juga tetap lebih auratik.
Itulah mengapa, meski foto Lothar Matthaus yang saya tempel tahun 1990 sudah tidak ada rimbanya, kecintaan saya pada Inter tak ikut menghilang.