Panggilannya begitu pendek; Pele. Tapi sejarah yang dicatat atas namanya jelas lebih dari sekadar empat huruf tersebut. Bermain selama dua dekade di Liga Brasil, menjadi “rockstar” sejak usia 17 tahun, memenangkan tiga Piala Dunia, dan bermain di Amerika Serikat untuk New York Cosmos.
Pertanyaannya kemudian; dari mana manusia macam itu lahir ke bumi?
Semuanya bisa dimulai dari sebuah sudut daerah terpencil bernama Tres Coracoes. Lahir dengan akta kelahiran Edison Arantes do Nascimento.
Anak muda ini memiliki nama panggilan dalam keluarga; Dico, bukan Pele. Si empunya sendiri bahkan tidak tahu, apa makna kata “Pele”. Tidak ada dalam bahasa Portugis dan—sebenarnya—Dico kecil tidak menyukai panggilan itu.
Setidaknya kita perlu berterima kasih kepada teman-teman Dico di bangku Sekolah Dasar yang sebenarnya ingin menyebutnya “Bile” (Kiper Vasco Da Gama) tapi salah ucap menjadi “Pele”.
Sebab nama yang dianggap Dico sebagai penghinaan tersebut ternyata menjadi nama paling populer yang mudah diingat oleh seluruh pencinta sepak bola di muka bumi. Menurut data ESPN, hanya Pele, atlet yang mampu menyaingi popularitas legenda Muhammad Ali dalam bidang olahraga.
Dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang miskin, Pele berlatih memainkan sepak bola tidak dengan bola. Bola terlalu mahal bagi keluarga Pele.
Kaos kaki yang digulung dan diisi dengan potongan-potongan kain adalah alternatifnya. Terbiasa bermain menggunakan “bola” yang tidak bundar dan tanah yang tidak rata, diam-diam menempa Pele menjadi anak yang lebih jago dari kawan-kawan seumurannya.
Beranjak remaja, keluarga Pele diyakinkan oleh Waldemar de Brito agar diizinkan untuk menandatangani kontrak sebagai pesepak bola profesional pada usia yang sangat muda; 15 tahun!
Menandatangani kontrak dengan Santos dan segera berlatih dengan tim reguler. Mencetak gol profesional pertamanya sebelum ia berulang tahun yang ke-16. Menjadi top skor Liga Brasil pada musim pertamanya membela Santos dengan 32 gol. Jumlah rasio gol yang luar biasa untuk remaja berusia 16 tahun. Dan bisa ditebak, satu tahun setelahnya tim nasional memanggilnya.
Harta karun negara
Secara resmi, dunia mengenal Pele saat momen kejuaran Piala Dunia 1958 di Swedia. Setiap orang yang menyalakan televisi saat itu punya pertanyaan yang sama; “Siapa dia?”.
Dalam layar hitam putih yang berkedip-kedip, seorang anak kurus berkulit hitam bermain luar biasa dengan imajinasi tingkat tinggi, lentur, visi bermain yahud, dan semangat tanpa henti. Berlari dan terus berlari mempecudangi pemain-pemain sepak bola berpengalaman.
Melewatkan dua pertandingan pertama karena cedera lutut. Pele memberi garansi untuk pertandingan yang tidak dimainkannya dengan hattrick kala menghadapi Prancis 5-2 di semifinal. Dua gol di final menghadapi tuan rumah Swedia dengan skor yang sama. Brasil juara untuk kali pertama.
Pele segera menjadi daya tarik klub-klub Eropa. Sayangnya, Presiden Brasil saat itu, Janio Quadros melindungi si anak remaja ini dengan melabelinya sebagai “Harta Karun Negara”.
Namun terlepas dari itu, kontrak dengan Santos sejatinya sudah membuat Pele nyaman bermain di Brasil—karena gaji yang jelas cukup untuk anak muda sepertinya daripada resiko yang harus diambil jika bermain di negara asing.
Pengaruh legenda
Meski berhasil pada Piala Dunia 1962 di Chile untuk gelar juara dunia kedua, Pele tidak bisa bicara banyak ketika Piala Dunia 1966 di Inggris. Setiap pemain bertahan akan melakukan apa pun untuk menghentikan Pele. Selalu mendapatkan perlakuan kasar dan brutal. Hingga akhirnya Pele cedera di tengah-tengah kejuaran dan Brasil angkat koper lebih awal.
Pengaruh Pele bagi dunia begitu besar. Bahkan melebihi kepopuleran olahraga sepak bola sendiri. Tercatat bahwa pada tahun 1967 sebuah perang saudara di Nigeria dilaporkan menyetujui genjatan senjatan agar para milisi bisa menonton Pele bermain untuk pertandingan tur di Lagos.
Tarcisio Burgnich, bek Italia yang ditugaskan menempel ketat Pele pada final Piala Dunia 1970 di Meksiko menarik kembali ucapannya, “Aku berkata pada diriku sendiri sebelum pertandingan, dia terbuat dari kulit dan tulang yang sama seperti manusia lain. Ternyata aku salah.” Brasil menang 4-1 atas Italia dan berhak membawa pulang Piala Jules Rimet untuk selamanya.
Empat tahun kemudian Pele berencana untuk pensiun. Namun pemain berjuluk “Black Pearl” ini sedang terlilit utang satu juta dolar dan bermasalah dalam keuangannya. Klub Eropa melihat peluang itu dan berencana untuk menunda pensiun Pele. Di luar dugaan, Pele justru memilih bermain di klub yang tidak “dikenal”, New York Cosmos, di Liga Amerika Serikat.
“Itu benar-benar menggelikan jika berpikir bahwa Pele, pemain terbesar sepanjang sejarah, akan bermain untuk tim kecil di New York dengan suporter (hanya) 1.500 orang,” ujar Clive Toye, General Manager New York Cosmos, “Tapi aku bilang ke dia; jangan pergi ke Italia, jangan ke Spanyol, sehebat apa pun Anda di sana Anda hanya akan memenangkan piala. Datanglah ke Amerika dan Anda akan memenangkan sebuah negara.”
Misi mendatangkan Pele memang ingin memopulerkan sepak bola di Amerika Serikat. Ironisnya, namanya lebih besar daripada olahraga yang ia mainkan.
Setiap pertandingan Cosmos berakhir, jersey Pele selalu jadi rebutan pemain lawan. “Pele adalah daya tarik utamanya. Kadang kita harus menyediakan 25 sampai 30 jersey (atas namanya) untuk setiap pertandingan—jika tidak, kami tidak akan pernah keluar stadion hidup-hidup,” ujar Gordon Bradley, staf pelatih Cosmos.
Setelah dua musim bermain untuk Cosmos, Pele mengakhiri karirnya. Memainkan pertandingan terakhirnya dalam sebuah pertandingan persahabatan antara Cosmos melawan Santos pada Oktober 1977.
Surat kabar di Brasil menulis judul “Bahkan Langit pun Menangis” ketika melaporkan liputan pertandingan tersebut.
Mencetak total 1.281 gol sepanjang karirnya dalam 1.363 pertandingan. FIFA mendaulatnya sebagai “Pemain Terbaik Abad Ini” bersama dengan Diego Armando Maradona pada 1999. Pemain rival dari negara tetangga. Dan bagaimana komentarnya?
“Selama 20 tahun mereka meminta saya menjawab pertanyaan yang sama, siapa yang lebih besar; Pele atau Maradona, saya jawab bahwa Anda harus melihat dengan fakta—berapa banyak gol yang dia cetak dengan kaki kanan dan kepalanya?” ujar pemain yang dieja oleh media massa The Times of London dengan ejaan; G-O-D. Tuhan.