Guangzhou Evergrande: Klub Raksasa Cina yang Bangkrut dan Terdegradasi

Mantan pemain bintang Guangzhou Evergrande (footmercato.net/)
Mantan pemain bintang Guangzhou Evergrande (footmercato.net/)

Guangzhou Evergrande dalam satu dekade terakhir, berhasil menguasai sepakbola Cina. Total sudah 16 gelar baik tingkat kontinental maupun nasional yang berhasil mereka rengkuh dalam periode tersebut. 

Namun saat ini kedigdayaan klub yang berbasis di kota Guangzhou, Provinsi Guangdong itu perlahan menemui titik keruntuhan setelah sang pemilik klub dinyatakan pailit. Tak hanya itu, di Liga Super Cina musim 2022, klub berjuluk Real Madrid dari Cina itu resmi terdegradasi ke divisi dua.

Lantas bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

 

Awal mula jadi klub tajir melintir

Pada awal tahun 2010, pengusaha properti, Xu Jiayin yang mana ia adalah bos dari Evergrande Real Estate Group, memutuskan untuk mengambil alih kepemilikan klub Guangzhou FC. Konon ia terobsesi dengan cara pengusaha kaya membeli klub-klub di Eropa dan menjadinya Los Galacticos baru seperti yang dilakukan Sheikh Mansour saat membeli Manchester City pada tahun 2008 silam.

Xu Jiayin terbilang sangat berani mengambil keputusan tersebut. Pasalnya saat itu Guangzhou baru saja terdegradasi ke divisi dua Liga Cina. Dan taipan properti Cina tersebut rela menggelontorkan uang sebesar 11,2 juta euro atau hampir dua ratus miliar rupiah waktu itu. 

Imbasnya, klub berjuluk Harimau Tiongkok Selatan itu tentu memiliki cadangan keuangan yang tanpa batas. Selain itu, Guangzhou juga harus merubah nama klub dari yang awalnya Guangzhou FC menjadi Guangzhou Evergrande.

Merajai Asia dengan belanja jor-joran

Tak butuh waktu lama, Xu Jiayin bergerak cepat dengan merombak besar-besaran Guangzhou Evergrande. Langkah awal yang ia lakukan adalah mengontrak banyak pelatih top Eropa macam Marcello Lippi pada tahun 2012. 

Setelah era Marcello Lippi selesai di tahun 2014, Guangzhou Evergrande kembali mendatangkan jasa pelatih top lainnya seperti Luiz Felipe Scolari dan yang terakhir legenda Italia, Fabio Cannavaro.

Selain sektor pelatih, Guangzhou juga menyiapkan para pemain terbaik untuk merumput di Stadion Tianhe. Mereka mengiming-imingi gaji selangit agar para pemain top tersebut mau bermain di Liga Cina.

BACA JUGA:  Awas Bubble Sepak Bola Cina

Nama pertama yang berhasil didatangkan adalah Lucas Barrios dari Borussia Dortmund dengan biaya 8,5 juta euro atau sekitar Rp 136,4 miliar. Setelahnya ada Alberto Gilardino, Alessandro Diamanti, Paulinho, Jackson Martinez, Talisca hingga Robinho.

Uang besar yang dikeluarkan Evergrande Group memang membuahkan hasil manis, Guangzhou Evergrande menjadi klub paling sukses dalam sejarah sepakbola Cina.

Selama satu dekade. mereka tercatat telah memenangkan delapan gelar Liga, empat trofi Chinese Super Cup, dua Chinese Cup dan dua kali meraih gelar Liga Champions Asia. Selain itu, klub ini juga sempat menduduki peringkat keempat sebagai kesebelasan dengan pundi-pundi uang terbesar di dunia dan menjadi nomor satu di Asia, menurut The Independent dan The Guardians di tahun 2016.

Titik awal kehancuran

Akhir tahun 2021, perusahaan Evergrande Real Estate Group sedang dililit utang dan terancam bangkrut. Dilansir dari detikfinance dan CNBC total utang Evergrande mencapai 300 miliar US dollar atau sekitar Rp 4.300 triliun. Ditambah utang lain yang belum tercatat dengan jumlah yang belum diketahui.

Hal tersebut berdampak pada kondisi keuangan Guangzhou Evergrande yang tidak stabil. Akhirnya agar klub tidak bangkrut, mereka terpaksa menjual Talisca, Paulinho dan Ricardo Goulart untuk mengurangi beban gaji dan mendapatkan pemasukan tambahan.

Value Guangzhou FC pun turun drastis, kini mereka hanya menempati urutan ke delapan di daftar klub Tiongkok paling berharga, dengan harga pasaran sekitar Rp 119 miliar. Kalah jauh dengan rival mereka Shanghai Port di urutan pertama dengan harga pasaran Rp 571 miliar yang kini masih memiliki pemain asing kelas dunia seperti mantan pemain Chelsea, Oscar dos Santos. 

BACA JUGA:  3 Transfer Terbaik di Premier League Musim 2022/23!

Tak berhenti di situ, mereka bahkan sempat menunggak gaji dari para pemainnya, staff dan pada pekerja yang ada di perusahaan Evergrande. Sang pelatih Fabio Cannavaro  pun yang saat itu menjadi pelatih dengan bayaran tertinggi di dunia harus mereka depak demi mengatasi krisis.

Dilansir dari detikfinance, Mattie Bekink, Direktur Unit Intelijen Ekonomi China. Kehancuran Evergrande disebabkan oleh kebijakan perusahaan yang keluar dari domain bisnis utamanya yakni, sebagai pengembang properti. Dan malah memilih sepakbola sebagai ladang bisnis baru.

Terdegradasi

Dengan segala cara akhirnya Guangzhou Evergrande masih terselamatkan. Nama Guangzhou Evergrande pun harus kembali ke nama asal mereka Guangzhou FC karena adanya regulasi dan faktor kebangkrutan dari perusahaan pemiliknya.

Tapi jangan harap ada lagi para pemain atau pelatih bintang yang ada di sana. Atau juga berharap mereka kembali menguasai kembali sepakbola Cina bahkan Asia.

Pasalnya saat ini Guangzhou Evergrande diisi oleh pemain-pemain muda dan pemain lokal Cina. Selain itu, dominasi mereka di kancah persepakbolaan Cina kini hanya tinggal kenangan. Setelah hanya bisa berada di papan tengah dalam 2-3 tahun terakhir.

Pembangunan stadion baru Guangzhou FC berkapasitas 100.000 penonton pun ikut tersendat. Kabar terbaru dari Bloomberg, stadion itu bakal segera dijual untuk mengembalikan modal pembangunan sebesar Rp 12,8 triliun. Jika tidak laku, Xu Jiayin, akan meminta negara membelinya melalui BUMN Cina.

Puncaknya adalah di Liga Super Cina 2022, di mana klub ini harus finis di peringkat ke 17 dari 18 kontestan. Mereka hanya bisa menang 3 kali dari 33 laga sepanjang musim. Walhasil mereka harus terdegradasi ke divisi kedua Liga Cina.

Komentar
Medioker yang bisa diandalkan. Kadang dukung Manchester United kadang dukung AC Milan. Bisa kalian sapa di twitter @CandraBantara