Meriah, kata yang pantas disematkan untuk turnamen yang di gelar di kota Parepare ini. Ribuan orang menyesaki stadion Gelora Mandiri Parepare saat kesebelasan unggulan berlaga seperti Persipare Parepare, Sidrap United, PSM Makassar dan Gasma Enrekang.
Dalam beberapa kesempatan bahkan ada penonton yang sudah membeli tiket tidak bisa masuk dikarenakan stadion yang sempat digadang-gadang jadi markas PSM ini sudah tidak mampu lagi menampung antusiasme suporter.
Pohon dan perbukitan di sekitar stadion pun kadang jadi alternatif untuk menonton pertandingan jika stadion telah ditutup karena kelebihan kapasitas. Menyaksikan dari luar dimungkinkan karena tinggi pembatas luar stadion ini kurang lebih hanya 5-6 meter saja sementara pohon dan perbukitan di sekitarnya melebihi tinggi tersebut.
Habibie Cup resmi berakhir tanggal 10 November 2015 dengan pertandingan final yang mempertemukan tuan rumah Persipare melawan klub tetangganya, Sidrap United. Kedua kesebelasan yang mayoritas diperkuat pemain Indonesia Super League (ISL) berhasil sampai ke pertandingan puncak setelah Persipare mengalahkan Gasma Enrekang dan Sidrap United mengandaskan perlawanan PSM Makassar.
Skor imbang 0-0 saat waktu normal membuat pertandingan yang berjuluk final impian ini akhirnya dilanjutkan ke babak adu penalti (tanpa babak perpanjangan waktu). Penjaga gawang Persipare, Kurnia Meiga, berhasil menggagalkan tiga tendangan penalti pemain Sidrap United.
Berkat penampilan gemilangnya, Kurnia Meiga akhirnya dinobatkan sebagai Man of The Match final sekaligus pemain terbaik turnamen. Sementara Patrich Wanggai dengan total tiga golnya selama membela Sidrap United, terpilih menjadi top skor.
Dengan gelar juara ini semakin mempertegas dominasi Persipare di Habibie Cup dengan sepuluh gelar, diikuti oleh PSM Makassar dengan torehan tiga gelar juara.
Selama 12 hari perhelatan turnamen yang namanya diambil dari nama Presiden ketiga Republik Indonesia ini, masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki agar pelaksanaannya pada tahun-tahun mendatang menjadi lebih baik.
1. Tidak ada aturan tentang kuota pemain profesional
Terhentinya ISL dan Divisi Utama membuat kesebelasan yang bermain di Habibie Cup menjadi lebih mudah untuk merekrut pemain profesional. Setiap klub berusaha mendatangkan pemain nasional yang berimbas kepada tersingkirnya pemain muda dan pemain lokal Sulawesi Selatan.
Persipare dan Sidrap United menjadi kesebelasan yang paling banyak merekrut pemain dengan label profesional. Persipare mendatangkan Kurnia Meiga (Arema Cronus), Bio Paulin (Persipura Jayapura), Hamka Hamzah (Pusamania Borneo), Zulham Zamrun (Persib Bandung), Zulkifli Syukur, Rizky Pellu (Mitra Kukar), Evan Dimas, Emile Mbamba (Surabaya United), Titus Bonai, Asri Akbar, Fathurahman (Sriwijaya FC), serta Moniega Bagus (PSS Sleman).
Sidrap United tidak mau kalah dengan mendatangkan Boaz Solossa, Ferdiansyah (Persipura Jayapura), Patrich Wanggai (Sriwijaya FC), Bayu Gatra (Bali United), Terens Puhiri, Victor Pae, Ponaryo Astaman (Pusamania Borneo), Firman Utina, Makan Konate, Jajang Sukmara (Persib Bandung), Agung Prasetyo (PSM Makassar), dan Markus Horison (mantan pemain PSM Makassar).
Selain kedua kesebelasan tersebut masih ada Gasma Enrekang yang merekrut Deny Marcel (Persiram Raja Ampat), Ferdinand Sinaga (PSM Makassar/Sriwijaya FC), OK Jhon (Mitra Kukar), Ahmad Hisyam Tolle (Pusamania Borneo), Diva Tarkas (Persis Solo), Osas Saha (PSGC Ciamis), Satrio Syam, Tamsil Sijaya, dan Iqbal Samad (PSM Makassar).
Persiban Bantaeng memilih merekrut Djayusman Triasdi dan Rachmat Latief (Pusamania Borneo), Rasul Zainuddin (PSM Makassar), Paulo Sitanggang (Barito Putra), dan Emile Linkers (Martapura FC).
Persibone Bone merekrut Hendra Ridwan (Mitra Kukar) dan Kaharuddin Salam (PSM Makassar). Sementara PSM Makassar lebih memilih menurunkan pemain U-21 dengan menempatkan Muchlis Hadi Ning dan Maldini Pali senjata utama.
Tidak adanya aturan mengenai kuota pemain profesional maka otomatis berimbas kepada tersingkirnya pemain muda dan pemain lokal Sulawesi Selatan. Kesebelasan-kesebelasan yang berpartisipasi lebih memilih merekrut pemain pro demi gengsi juara daripada memunculkan bakat-bakat lokal mereka.
Turnamen tahunan yang sempat terhenti pada tahun 2013 ini sebelumnya menjadi ajang pemain lokal untuk unjuk kebolehan dan sekaligus menjadi sarana bagi PSM yang notabene satu-satunya kesebelasan di Sulawesi Selatan bahkan di Pulau Sulawesi yang berlaga di level teratas kompetisi di Indonesia, menjaring bakat potensial yang akan direkrut nantinya.
2. Area bench pemain yang tidak steril penonton
Setiap pertandingan yang dihadiri banyak penonton dipastikan akan membludak hingga pinggir lapangan, bahkan ke area bench pemain yang harusnya steril.
Stadion ini punya pembatas antara tribun penonton dan bench pemain namun entah mengapa penonton masih bisa lolos dan mendekat, bahkan terkadang cukup menganggu para ofisial dan pemain. Panitia pelaksana terlihat kewalahan mengantisipasi membludaknya penonton.
3. Kepemimpinan wasit yang belum memuaskan
Sama halnya dengan ISL, turnamen ini juga tercatat memunculkan wasit kontroversial. Penulis mencatat ada dua wasit kontroversial di turnamen ini, dan keduanya adalah wasit yang memimpin pertandingan PSM Makassar.
Pertama adalah Jusman, wasit yang memimpin pertandingan di Grup D antara PSM Makassar vs PS Sandeq Polman. Saat itu terjadi pelanggaran yang dilakukan kiper PS Sandeq di kotak penaltinya sendiri sekaligus berbuah kartu merah dan wasit menunjuk titik putih tanda tendangan penalti diberikan kepada PSM.
Anehnya setelah diprotes oleh pemain PS Sandeq, wasit menganulir keputusannya sendiri yang memberi tendangan penalti dan mengubah menjadi tendangan bebas.
Kedua, adalah Najamuddin Aspiran. Wasit yang terkenal sering menjadi buah bibir di ISL karena keputusan-keputusannya tersebut ditunjuk menjadi pengadil di pertandingan semifinal yang mempertemukan dua kesebelasan favorit juara, Sidrap United melawan PSM Makassar.
Beberapa kali terlihat pemain PSM dilanggar secara keras namun wasit tidak memberi pelanggaran dan membiarkan begitu saja, puncaknya karena merasa kelakuan wasit sudah tidak bisa dipercaya lagi maka Juku Eja memutuskan melakukan walk out dan kemenangan diberikan kepada Sidrap United sekaligus menghantarkan mereka ke final bertemu Persipare.
4. Aksi walk out (WO) PSM Makassar
Tidak adanya aturan denda atau hukuman bagi kesebelasan yang melakukan aksi walk out membuat turnamen ini menambah daftar kekurangannya. Muchlis Hadi dan kawan-kawan yang merasa dicurangi oleh wasit dengan gampangnya melakukan WO, padahal PSM saat itu hanya tertinggal 0-1 dan pertandingan baru berjalan 60 menit.
Wasit yang memimpin pertandingan memang telah mencederai sportifitas dengan berpihak ke kesebelasan lawan tapi melawan ketidakadilan dengan cara yang jauh dari jiwa fairplay seperti WO pun bukan cara yang tepat. Bukankah selama bola masih bulat dan selama wasit belum meniup peluit panjang, apa pun masih bisa terjadi?
Dengan segala kekekurangannya itu, turnamen yang dulunya bernama turnamen sepak bola Ajattapareng juga patut diapresiasi tinggi, dengan digulirkannya kembali turnamen yang sempat vakum selama dua tahun ini menjadi euforia tersendiri bagi masyarakat di Sulawesi Selatan.
Gairah sepak bola yang telah lama tidak berdenyut di Sulawesi Selatan karena tidak adanya kompetisi yang digelar Asosiasi Provinsi PSSI Sulsel bahkan jauh sebelum ISL terhenti, kembali dibangkitkan oleh pemerintah kota Parepare.
Masyarakat berbondong-bondong datang ke stadion untuk mendukung kesebelasan idolanya menjadi pertanda bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memang sangat butuh turnamen semacam ini. Dengan hanya PSM yang berada di level teratas sebagai wakil Sulawesi Selatan maka tak ada pertandingan yang digelar di luar Makassar.