Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, Sir Alex Ferguson, Arrigo Sacchi, dan Pep Guardiola. Begitu mudah menemukan persamaan dari nama-nama tadi, karena mereka adalah beberapa contoh pelatih yang telah memenangkan Liga Champions lebih dari sekali. Prestasi yang akan membuat nama mereka dikenang dalam waktu yang lama sebagai pelatih berkelas dunia.
Tetapi bagaimana dengan Hector Raul Cuper yang berstatus nyaris memenangkan dua gelar Liga Champions?
Tidak seperti nama-nama tadi, pelatih berkebangsaan Argentina ini lebih sering menjadi nomor dua. Bahkan bulan Januari lalu, Cuper yang kini melatih tim nasional Mesir kembali gagal di partai puncak setelah dalam final Piala Afrika 2017 ditaklukkan Kamerun.
Kegagalan ini seakan melengkapi predikat pria kelahiran Kota Chabas sebagai pelatih yang selalu gagal dalam partai puncak.
Tidak banyak yang mendaulat Cuper sebagai pelatih besar. Kalau sebagai pelatih yang nasibnya paling sial, mungkin iya.
Hector Cuper has lost all finals he's taken part in:
Argentina ❌
Spain ❌
Italy ❌
Greece ❌
AFCON❌ pic.twitter.com/4YbUuFSslj— Gary Al-Smith (@garyalsmith) February 5, 2017
Bagaimanapun, bukti kehebatan Cuper sudah terlihat bahkan sebelum ia bertualang ke Eropa. Di kompetisi liga Argentina, pelatih berambut putih ini telah berhasil membuat dua kesebelasan medioker, Huracan dan Lanus, merepotkan para elit seperti River Plate dan Boca Juniors.
Tahun 1994, ia membawa Huracan jadi runner-up kompetisi clasura Argentina, lalu setahun kemudian membawa Lanus memenangi Piala Conmebol.
Dari Lanus, Cuper yang kala itu masih berusia 41 tahun menyebrangi Samudera Atlantik untuk berlabuh di kepulauan Balearic, tempat di mana kesebelasan Real Mallorca bermarkas.
Sebastia Adrover, seorang pengamat sepakbola Spanyol mengatakan bahwa bagi kesebelasan berjuluk Los Bermellones, sosok Cuper sudah melegenda. Pasalnya, Cuper berperan membawa nama Mallorca kepada dunia.
Berbekal pemain-pemain yang kala itu belum terkenal seperti Carlos Roa, Marcelinho Elena, Enrique Romero, Ivan Campo, Juan Carlos Valeron, Vicente Engonga, dan Santi Ezquerro, Cuper membawa Mallorca ke final Copa Del Rey tahun 1998, lalu ke final Piala Winners setahun berselang.
Untuk ukuran kesebelasan dari kota kecil yang rataan penontonnya hanya 10 ribu orang, prestasi ini bagaikan mimpi saja.
Kekalahan pertama Cuper di final terjadi pada Copa Del Rey 1998. Dalam laga yang berlangsung di Stadion Mestalla, Valencia, Cuper harus menerima timnya takluk lewat adu penalti dari Barcelona.
Inilah yang kemudian menjadi awal kekalahan-kekalahan tragis berikutnya dalam laga final Cuper sepanjang kariernya. Namun setidaknya setelah kekalahan ini, Cuper mampu membalaskan dendam pada ajang Piala Super Spanyol kepada lawan yang sama.
Prestasi ini membuat beberapa penggawa Mallorca dipinang klub-klub besar. Campo dibeli Madrid, Valeron kembali ke Atletico, dan Romero dibeli Deportivo La Coruna.
Namun sebagai gantinya, Cuper menunjukkan kehandalannya dalam melihat potensi pemain. Daniel “Dani” Garcia Lara, Gustavo Siviero, Ariel Ibagaza, dan Lauren Etame Mayer merupakan pemain-pemain terbuang dan tak terkenal yang datang ke Mallorca. Keempatnya kelak menjadi figur kunci, dan hebatnya lagi sebagian besar dari mereka didatangkan dengan gratis.
Musim 1998/1999 menjadi musim terbaik yang dijalani Mallorca sepanjang sejarah. Selain menduduki peringkat ketiga kompetisi La Liga, kesebelasan yang berdiri sejak tahun 1916 ini melaju hingga final gelaran terakhir Piala Winners, termasuk di antaranya mengalahkan Chelsea di semifinal.
Dalam laga final tersebut, seperti sudah menjadi cerita khas dari seorang Cuper, Mallorca takluk dari Lazio. Berkat prestasi ini, Cuper dianugerahi penghargaan individual sebagai pelatih terbaik Liga Spanyol.
Prestasi ini tetap membawa Cuper naik kelas ke Valencia. Skuat yang telah berisi Santiago Canizarez, Claudio Lopez, Gaizka Mendieta, Gerard Lopez, Miguel Angel Angulo, dan Francisco Farinos yang telah diwariskan pelatih sebelumnya, Claudio Ranieri, dimatangkan oleh Cuper. Ia mendaratkan Ruben Baraja dari Atletico dan Kily Gonzalez dari Real Zaragoza yang menjadikan tim ini amat mematikan.
Musim perdana Cuper di kesebelasan berjuluk Los Che langsung diwarnai kesuksesan. Ia memberi gelar Piala Super Spanyol kepada Si Kelelawar. Namun kritik pedas tak terhindarkan akibat strategi permainannya yang cenderung bertahan.
Dalam sebuah laga kandang melawan Madrid, Cuper menarik keluar Claudio Lopez saat skor imbang 1-1 jelang laga usai, dan memang skor akhir tidak berubah. Keputusan ini menjadikan stadion Mestalla yang terkenal bising itu semakin bising dengan teriakan “Cuper Out!” membahana.
“Saya tidak pernah kehilangan keyakinan pada kemampuan sendiri, namun ketika 50 ribu orang meneriaki Anda, tentu situasinya akan lebih sulit. Itu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan,” akunya.
Terlepas dari kritik-kritik pedas, Valencia dibawanya menduduki peringkat ketiga. Di ajang Liga Champions, performa Los Che begitu impresif hingga secara mengejutkan melaju ke final.
Barcelona pun mereka kalahkan di semifinal dengan agregat 5-3 lewat permainan menyerang yang atraktif sehingga mampu membungkam para kritikus. Namun di final, Valencia menyerah dengan skor telak 0-3 dari Real Madrid. Meski kembali gagal, namun Cuper kembali dianugerahi penghargaan individual oleh UEFA sebagai pelatih terbaik.
Dengan anggaran yang tidak sebesar Madrid-Barcelona, musim selanjutnya skuat Valencia dilucuti karena Claudio Lopez dan Farinos hijrah ke Italia, serta Gerard ke Barcelona. Sebagai gantinya, Pablo Aimar, Vicente Rodriguez, John Carew, Zlatko Zahovic, Fabio Aurelio, dan Roberto Ayala datang dengan misi mempertahankan ritme.
“Musim lalu kami mengejutkan banyak orang di Liga Champions,” ujar Cuper. “Karenanya musim ini kami akan ditembak mati,” tambahnya. Namun Cuper membuktikan ketangguhan Valencia. Setelah mengalahkan duo Inggris, Arsenal dan Leeds di fase gugur, Valencia kembali melaju ke final, di mana Bayern Muenchen kembali mengalahkan mereka melalui adu penalti.
“Memang mengecewakan, tapi dua final ini adalah hal terbaik yang terjadi pada karier saya. Saat itu di Valencia tidak ada pemain bintang, dan kami mengandalkan kolektivitas. Saya bangga menjadi bagian dari itu semua,” ujar Cuper.
On this day in 2001, Bayern beat Valencia on penalties at San Siro to win the Champions League title pic.twitter.com/5dSSK6ewNT
— Bayern & Germany (@iMiaSanMia) May 22, 2016
Cuper lalu pergi ke FC Internazionale untuk memenuhi obsesi presiden Massimo Moratti akan gelar Scudetto. Pada musim 2000/2001 itu, Inter juga mendatangkan Francesco Toldo, Sergio Conceicao, Adriano Leite, Mohammed Kallon, Cristiano Zanetti, dan Marco Materazzi melengkapi duet maut Ronaldo-Christian Vieri. Ini adalah kali pertama Cuper menangani skuat bertabur bintang.
Namun cerita sendu kembali dirasakan Cuper. Setelah memimpin klasemen hingga pekan terakhir, Inter sebetulnya hanya butuh satu kemenangan atas Lazio di Olimpico untuk mengunci Scudetto.
Tragisnya, La Beneamata takluk dengan skor 2-4 sehingga gelar juara terbang ke Juventus dan Inter melorot ke posisi ketiga. “Kekalahan itu sungguh aneh dan saya tidak punya jawaban untuk itu. Namun saya tetap merasa tim kami pantas menang,” kenang Cuper.
Bersama Cuper, setidaknya Inter selalu bersaing memperebutkan gelar juara. Pada musim 2002/2003 Inter melaju hingga semifinal Liga Champions sebelum dihentikan rival sekota, Milan, yang akhirnya keluar sebagai juara.
Ia pun memperlakukan pemainnya dengan objektif. Misalnya ketika Alvaro Recoba dikartu merah akibat bermain kasar, Cuper tidak segan mengkritik. Namun sewaktu Il Chino mencetak gol spektakuler lewat tendangan bebas, Cuper pun melompat-lompat kegirangan di bangku cadangan, lalu menyelamati si pemain.
Kisah Cuper bersama Inter pun usai pada Oktober 2003 saat ia dipecat. Sang juru taktik dianggap tidak memiliki mentalitas untuk menangani kesebelasan yang diisi penuh bintang. Sebagian tifosi juga tidak menyukai cara Inter bermain yang terlalu defensif, padahal mereka memiliki barisan penyerangan sehebat Vieri, Adriano maupun Recoba.
FC Internazionale pun menjadi klub besar terakhir yang dilatih Cuper. Setelah sempat kembali ke Mallorca, ia melanglang buana ke Real Betis, Parma, tim nasional Georgia, Aris Thessaloniki (Yunani), Racing Santander, Orduspor (Turki), Al Wasl (Uni Emirat Arab) dan sejak tahun 2015, ia menangani timnas Mesir. Kegagalan demi kegagalan kembali dialami, namun Super Cuper selalu bangkit lagi.
Cuper memang selalu memandang positif setiap perjalanan karirnya, contohnya ketika ia menangani timnas Georgia. “Anak-anak mengira saya bercanda ketika saya berbicara soal Georgia,” kenangnya.
“Memang menyenangkan ketika melatih Valencia, Inter atau Parma. Namun saya memang senang bekerja. Itulah yang terpenting,” ujarnya menggambarkan sebuah sikap yang tidak hanya profesional dan pekerja keras, tapi juga memiliki mental baja untuk bangkit dari kegagalan.
Bagi Cuper, kegagalan dalam pekerjaan tidak perlu diambil hati, dan menjadi nomor dua tidaklah seburuk itu.