Jawa Pos dan Sepak Bola: Pembentukan Identitas Anak Muda Kota Berbasis Sepak Bola

Fajar Junaedi untuk Fandom

Jawa Pos terbitan 2 Oktober 2015 menurunkan laporan khusus sepanjang tiga halaman tentang Persebaya Surabaya, bertajuk Ayo Bangun Persebaya! Laporan khusus Jawa Pos memperkuat premis tentang bagaimana koran terbitan Surabaya ini sukses membangun identitas anak muda perkotaan terutama identitas yang bersumber pada fanatisme pada sepak bola. Laporan khusus Jawa Pos secara komprehensif mendedah peran penting Jawa Pos dalam pembentukan identitas anak muda fans Persebaya sejak tahun 1980-an, yang sampai sekarang masih diartikulasikan oleh fans klub sepak bola ini: sebutan Bonek, ikon wong mangap dan julukan Green Force. Dalam kajian budaya anak muda (youth culture) yang berbasis sepak bola lokal, peran Jawa Pos signifikan diperbincangkan.

Dahlan Iskan bersama Jawa Pos sukses membangkitkan Persebaya pada dekade 1980-an. Berita tentang Persebaya mendapat porsi yang sangat besar, tidak hanya ditempatkan di halaman olah raga, namun juga sebagai berita utama di halaman pertama. Bahwa koran lokal memiliki relasi dengan sepak bola lokal sebenarnya bukan hanya monopoli Jawa Pos. Sebelum Jawa Pos menggelorakan berita tentang Persebaya sejak tengah dekade 1980-an, koran-koran lain sebenarnya juga sudah melakukan kebijakan redaksional ala Jawa Pos dengan Persebaya-nya.

Di Bandung, Pikiran Rakyat memberikan porsi yang lebih besar bagi Persib Bandung daripada untuk klub-klub lain. Di Semarang, Suara Merdeka menjadi sumber utama informasi pembaca di Jawa Tengah mengenai PSIS Semarang. Di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat identik dengan PSIM Yogyakarta, terutama sebelum PSS Sleman dan Persiba Bantul berkibar dalam kompetisi sepak bola Indonesia. Motif Jawa Pos dan koran-koran ini senada, yaitu kedekatan (proximity) baik secara geografis maupun emosional dengan masing-masing klub di setiap kota.

Lalu apa yang membedakan Jawa Pos dengan koran-koran tersebut? Beberapa petanda ini bisa memperlihatkan perbedaan relasi Jawa Pos-Persebaya dengan relasi koran lain.

Pertama, Jawa Pos lebih sekadar memberitakan tentang Persebaya, namun juga mengkoordinasikan away fans Persebaya yang disebut oleh Jawa Pos sebagai tret, tet, tet, dengan jumlah peserta yang ribuan. Kedua, Jawa Pos membangun identitas baru bagi fans yang diterima secara luas oleh fans Persebaya secara taken for granted. Hampir tiada pendukung Persebaya yang mempertanyakan mengapa harus disebut bonek, tidak ada yang mempersoalkan mengapa harus ikon wong mangap dan serempak juga tidak perlu bagi mereka bertanya mengapa harus diberi julukan Green Force bagi Persebaya. Mempertanyakan tiga identitas tersebut adalah gelombang kebisuan (spiral of silence) yang ditelan oleh opini publik (public opinion) penerimaan suporter Persebaya tentang identitas baru yang diintroduksi Jawa Pos dalam lembaran korannya sejak dekade 1980-an. Identitas yang sampai sekarang lestari sebagai identitas anak muda fans Persebaya, sekaligus identitas populer kota Surabaya.

BACA JUGA:  Apa Dampak Akuisisi Persebaya Terhadap Jawa Pos?

Kesuksesan Jawa Pos membangkitkan Persebaya menjadi narasi agung (grand narrative) juga diterapkan Jawa Pos di berbagai kota. Berbarengan dengan otonomi daerah pasca-kejatuhan Orde Baru dalam reformasi 1998, Jawa Pos mengembangkan pers di daerah melalui kelompok Radar. Alih-alih menyerbu Jakarta, yang jelas dikuasai koran-koran nasional yang lebih mapan terutama Kompas, Jawa Pos justru mengambil jalan memutar dengan menguasai dulu daerah sebelum maju ke Jakarta. Pers daerah hampir secara mutlak dikuasai Jawa Pos, sebelum akhirnya Kompas secara agresif mengembangkan pers daerahnya melalui Tribun.

Radar berkembang di berbagai kota, memberitakan beragam isu lokal, termasuk sepak bola. Di Yogyakarta, kota dan propinsi yang pembacanya dikuasai oleh Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos membangun Radar Jogja. Koran yang menjadi suplemen Jawa Pos ini banyak mengangkat PSS Sleman. Kedaulatan Rakyat sudah terlalu kuat identifikasinya dengan PSIM Yogyakarta.

Di Semarang, Radar Semarang berhadapan dengan Suara Merdeka yang generik dengan PSIS Semarang. Julukan Mahesa Jenar bagi PSIS Semarang konon berasal dari Suara Merdeka. Berhadapan dengan Suara Merdeka yang menisbatkan Mahesa Jenar bagi PSIS Semarang, Jawa Pos berusaha membangun identitas baru bagi klub asal Semarang ini. Pada Jawa Pos terbitan 26 Juni 1997 terdapat berita berjudul “Berat Beban PSIS”. Kalimat pertama berita tersebut adalah demikian: Tim PSIS “Banteng Raiders” Semarang boleh busungkan dada usai mengubur Pelita Mastrans di kandang sendiri pekan lalu. Dalam kalimat ini, Jawa Pos memilih menggunakan kata “Banteng Raiders” yang merujuk pada nama pasukan dalam Divisi Diponegoro yang legendaris yang bermarkas di Semarang. Sayangnya julukan Banteng Raiders tidak begitu populer. Identitas baru bagi anak muda fans PSIS Semarang berlabel Banteng Raiders tinggal memori.

BACA JUGA:  Lima Naskah Sepak Bola Pilihan 2015

Beriring dengan semakin kerasnya persaingan suporter Persebaya dan Arema Malang, Jawa Pos yang identik dengan Persebaya melakukan langkah cerdik dengan mendirikan anak perusahaan pers di Malang bernama Malang Post dan Radar Malang. Melalui Malang Post dan Radar Malang, Jawa Pos menyediakan halaman yang berlimpah bagi Arema dan Aremania. Penerbitan Malang Post beriringan dengan desentralisasi pasca-1998, demikian pula dengan Radar Malang. Relasi Jawa Pos dengan Persebaya di tahun 1980-an, menemukan de javu-nya di Malang dua puluh tahun kemudian. Bahkan lebih dari sekadar memberitakan di lembaran halaman koran, Malang Post melalui jurnalisnya, Husnun N. Djuraid merilis buku Arema 3 Tahun 3 Juara (2007). Tidak mau kalah dengan Malang Post, Radar Malang melalui jurnalisnya, Abdul Muntholib menulis buku bertajuk Arema Never Die (2009). Isi kedua buku tersebut adalah kumpulan reportase dan esai kedua jurnalis tersebut.

Identitas bahasa walikan dan Ongis Nade menjadi identitas yang disebarluaskan oleh kedua koran tersebut, mengikuti arus utama yang berkembang. Identitas yang sampai melekat pada kultur anak muda di kota apel ini. Bandingkan dengan PSIS Semarang yang justru diberi identitas baru, Banteng Raiders, yang gagal menggeser Mahesa Jenar.

Bagaimana pun, Jawa Pos telah menjadi bagian penting dalam pembentukan identitas anak muda di berbagai kota. Bukan hanya di kota-kota yang disebut di atas, namun juga di berbagai kota lain. Otonomi daerah pasca-1998, menggelorakan sepak bola lokal. Jawa Pos kian menggelorakannya dengan halaman koran-koran satelitnya di masing-masing kota. Bagaimana dengan identitas anak muda berbasis sepak bola lokal di kota Anda?

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.