Judul Buku : Jumpers For Goalposts: How Football Sold Its Soul
Pengarang : Rob Smyth & Georgina Turner
Jumlah Halaman : 224 hal.
Tahun Terbit : 2011
Bahasa : Inggris
Saya jadi teringat waktu masih kecil dulu ketika permainan sepak bola menjadi tempat saya belajar moral. Saya mengasumsikan secara naif ketika itu kalau 22 pemain yang berebut bola dan memasukkannya ke gawang adalah manifestasi dari sportivitas yang sesungguhnya. Istilahnya, tayangan sepak bola ketika itu jauh lebih mampu untuk mengajarkan tenggang rasa, maskulinitas, disiplin, dan kepedulian terhadap kawan.
Lalu ketika anime Captain Tsubasa mulai “gentayangan” di salah satu stasiun televisi swasta menjelang maghrib, kecintaan sepak bola saya semakin naik level. Kecintaan tersebut berevolusi menjadi anggapan kalau sepak bola mampu membuat orang bisa ke luar negeri di usia dini. Itu dulu, jauh sebelum saya berkenalan dengan istilah-istilah sulit seperti kapitalisme, massa rakyat, people power, dan demokrasi kelak.
Sepak bola yang saya lihat sekarang berubah menjadi sebuah permainan yang tidak hanya melibatkan 22 orang, namun juga struktur sosial. Struktur sosial tadi menjelma menjadi bentuk-bentuk identitas seperti kota, negara, aliran agama, dan ras tentunya. Dahulu kala pernah, ada kutukan bertuah dari seorang pemikir yang dipatronkan jadi Bapak Komunisme, kalau masyarakat kapitalis akan menggali kuburnya sendiri. Namun jangan lupa, sebelum kutukan bertuah itu lahir, bapak yang sama juga pernah mengatakan bahwa kapitalisme mengajarkan kita tentang perkembangan sains, penghapusan nilai-nilai feodal, serta turut andil memperkenalkan efektivitas dalam hal transportasi, komunikasi , dan informasi. Betul sekali, nama bapak itu adalah Karl Marx.
Setelah mengetahui semua ini, semangat saya untuk berkutat di arena sepak bola menurun drastis menjadi penonton musiman. Saya menonton pertandingan sepak bola kalau kebetulan tim kesayangan saya bertanding. Meminjam istilah filsuf Paul Riceour dan Alain Badiou, kita mengada karena kejadian di sekitar kita. Mengadanya saya dalam sepak bola baru muncul ketika pagelaran-pagelaran akbar seperti Liga Champion atau Piala Dunia ditayangkan di televisi.
Sampai suatu hari, lewat sebuah petualangan di dunia maya, saya menwmukan sebuah buku yang berjudul Jumpers For Goalposts: How Football Sold its Soul karangan Rob Smyth dan Georgina Turner.
I
Buku ini terdiri dari 6 bab besar. Namun saya akan mengambil beberapa bab yang menjadi garis besar argumen marah-marah Smyth. Bab favorit saya adalah bab pertama yang bercerita tentang false idols dalam sepak bola. Argumen Smyth dalam bab ini berangkat dari teori Maslow tentang teori kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia di sini tidak hanya masalah pangan, sandang dan papan.
Manusia, menurut Maslow juga memerlukan apa yang disebut dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri, masih menurut Maslow berada di puncak hierarki kebutuhan yang didefinisikan sebagai sebuah dorongan pencapaian diri melalui pengembangan potensial. Cara paling mudah untuk melihat bentuk aktualisasi diri adalah melalui prestasi. Di bab tersebut, Smyth mengambil contoh Dave Mackay yang merupakan hard-man sepak bola pada saat itu.
Sosok spesial macam George Best pun rupanya memiliki pengalaman spesial bersama Mackay selama karirnya. Kata George Best, “Mackay, tak diragukan lagi merupakan sosok tertangguh yang pernah kuhadapi. Dan pastinya, yang paling bernyali.”
Apa yang dialami Mackay ketika itu? Sang legenda dari Tottenham ini pernah memasang tampang bosan ketika kakinya patah ditekel di Old Trafford di tahun 1963. Dan Mackay harus absen dua tahun untuk pemulihan cedera. Kasus seperti Mackay ini akan banyak ditemukan di bab pertama buku ini. Kesimpulan yang saya ambil untuk bab pertama buku ini adalah sepak bola merupakan permainan yang keras. Bahkan George Best sendiri terkenal karena kehebatannya tetap berdiri dengan dua kaki menghadapi tekel keras musuh.
Lantas di mana letak kepalsuan si idola yang dimaksud oleh Smyth?
Nah, di sini menariknya. Menurut analisis Smyth, idola sepak bola zaman dahulu bisa ada karena prestasi atau mitos yang mereka buat, sedangkan mitos idola sepak bola zaman sekarang dibentuk oleh merek yang dibentuk oleh si pemegang modal. Hasilnya, idola sepak bola zaman sekarang jadi terlihat lebih rapuh. Hard-man sebagai mitos sepak bola yang dulu disanjung tergantikan dengan mitos ala selebriti. Sekarang, sulit membedakan mana yang pesepak bola, mana yang selebritas.
Garis perbedaan itu menjadi baur. Jika dulu mitos diciptakan oleh fans fanatik, sekarang fans fanatik justru digoda melalui mitos. Dulu saya tidak peduli apakah pebola idola saya itu hobi kawin atau tidak, sekarang saya bisa ambil peduli atau sekadar tahu Cristiano Ronaldo hobinya gonta-ganti pacar. Menjadi idola sepak bola zaman sekarang berarti menjadi selebriti juga. Dengan siapa ia kencan , punya rumah berapa, beli mobil merek apa saja menjadi penting. Ini bentuk jiwa yang terjual dalam sepak bola modern.
Bab kedua dalam buku ini yang diberi judul The Miserable Game Tidak ada yang tidak suka dengan kata kemenangan. Namun, menurut Smyth, kemenangan tidaklah penting. Kejayaanlah yang sebenarnya merupakan hal penting. Kemenangan adalah bagian kecil dari kejayaan dan kejayaan dari sebuah tim itulah yang lebih layak diceritakan. Kejayaaan adalah bahan bakar dari heroisme. Kejayaan adalah warisan nilai yang bisa diceritakan terus menerus.
Dalam bab ini, ada kutipan terkenal dari legenda Tottenham Hotspur, Danny Blanchflower, “Kesalahan utama soal pola pikir di sepak bola adalah bahwa segalanya hanya soal kemenangan. Tidak seperti itu. Permainan ini adalah soal kejayaan. Soal bagaimana melakukan sesuatu dengan elegan, dengan keindahan. Kita harus maju dengan gagah berani dan bukannya menunggu mereka mati karena bosan.”
Anda bisa menang, namun belum tentu bisa memiliki kejayaan. Ini artinya ada tarikan jelas antara kalah secara heroik atau dikenang sebagai seorang pecundang. Legenda-legenda sepak bola punya aturan tidak tertulis semacam ini. Di sepak bola modern, kemenangan berarti berjalin kelindan dengan profit. Animo fans yang datang ke stadion, berapa banyak merchandise klub yang terjual, berapa harga kontrak pemain di masa yang akan datang.
Kalau tidak berlebihan, di sepak bola modern kemenangan sendiri juga telah menjual jiwanya dalam bentuk lain yaitu profit. Para penggemar di sepak bola modern bisa jadi bahan komoditas yang dikeruk sedemikian rupa. Selamat buat para fans, anda adalah angka-angka statistik!
Bab favorit yang saya terakhir dalam buku ini adalah bab III yang diberi judul IN A £EAGU€ OF THEIR OWN. Jiwa terakhir sepak bola ini akhirnya terjual dengan bertransformasinya setiap laga menjadi sebuah pabrik profit baru. Laga sepak bola yang berjubel banyaknya itu akhirnya berubah menjadi bentuk pengerukan keuntungan baru. Bab III inilah yang menurut Smyth, sepak bola bertemu dengan apa yang disebut sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation).
Laga sepak bola adalah merek yang dijual. Kecanggihan kapitalisme modern memiliki dua tahap utama. Tahap pertama disebut komersialisasi. Syarat hasil produksi untuk menjadi komoditas adalah memiliki nilai tukar dan nilai guna. Di era kapitalisme modern ini, nilai tukar dan nilai guna bisa diperoleh dari hal yang paling abstrak. Sesuatu yang pernah disebut filsuf Slovenia, Slavoj Zizek sebagai cultural capitalism.
Misalnya begini , pemegang hak siar liga A ingin melebarkan sayapnya di benua B dan ia akan membuat tender. Tender bisa saya tambahkah etik-etik moral tertentu dengan mengatakan bahwa profit hak siar ini bisa digunakan untuk hasil-hasil amal. Kapitalisme di sini mengajarkan pemegang hak siar A tidak hanya cara menjual, namun juga menggaungkan etika-etika tertentu.
Dulu, setiap laga sepak bola bisa diistilahkan sebagai sebuah bentuk aktualisasi antar tim tetapi sekarang setiap laga sepak bola nilainya jadi tereduksi menjadi barang komoditas baru. Yang penting di sini adalah animo pasar. Bentuk arkaik dari cara ini bisa ditemukan di bab III buku ini yang dimulai tahun 1992. Nilai yang dijual? Tidak lain dan tidak bukan adalah tim-tim dalam liga tersebut. Liga Inggris, lebih tepatnya.
II
“…those who maintain that the soul is incorporeal are talking nonsense, because it would not be able to act upon or be acted upon if it were of such a nature.” (dikutip dari Franco Berardi, h.21)
“In a sense we could say that the soul is the relation ro the other, it is attraction, conflict, relationship. The soul is language as the construction of the relationship with alterity, a game of seduction, submission, domination and rebellion.” (Franco Berardi)
Catatan ini akan bercerita tentang jiwa. Jika bab pertama resensi ini berkutat pada apa yang dibahas sebagai jiwa yang hilang dalam sepak bola, maka di bab kedua resensi ini saya akan bercerita tentang definisi jiwa. Saya ambil dua kutipan di atas tidak dari buku Jumpers For Goalposts melainkan dari buku karangan Franco “Bifo” Berardi yang berjudul The Soul at Work: From Alienation to Autonomy.
Dalam buku ini, Bifo mencoba melihat jiwa sebagai sebuah hal yang materialistik. Ia berbentuk segala sesuatu yang menggerakkan dan menghidupkan si tubuh berbentuk konkrit bernama otot-otot. Jiwa ini berbentuk afeksi, kognisi, pemikiran, dan emosi. Kata lainnya, jiwa di sini berbentuk metafora (Polimpung H. Y.). Jiwa membentuk relasi dan menyutradarai sang tubuh sehingga membentuk dunia seperti sekarang ini. Tak terkecuali dunia sepak bola.
Dunia sepak bola di sini dibentuk, meminjam istilah dari Smyth, adalah bola itu sendiri (Polimpung H. Y.). Saya membalik istilah Smyth di sini menggunakan istilah Bifo dengan mengatakan bola itu metafora simbolik dari jutaan relasi yang terbentuk di dalamnya. Bola, atau spesifiknya permainan sepak bola adalah sebuah dunia yang dibentuk dari aktualisasi diri, bakat, kapital, ras, otonomi, bahkan agama.
Kapitalisme modern yang terjadi dalam konteks Liga Inggris memutus rantai relasi-relasi tersebut dan hanya menyisakan istilah “bermain, menang, dan jangan lupa berbelanja merchandise tim kesayangan anda”. Jiwa-jiwa yang terdesak marah dan sadar kehilangan otonominya ini didemonisasi sedemikian rupa. Putusnya relasi ini juga terjadi antara fans dengan tim sepak bola kesayangannya karena fans di sini sudah direduksi bukan sebagai agen otonom tapi sebagai angka statistik.
Istilah “Ada fans banyak nuntut, tuduh saja sebagai perusuh, pemain yang ngeyel, jual saja ke klub lain” jadi solusi yang tidak terbantahkan di sepak bola modern sekarang. Teriakan kemarahan jiwa yang teracuni oleh kapitalisme ini akhirnya direduksi menjadi omong kosong belaka. Tidak ada yang lebih pedih bagi fans fanatik sepak bola dari teralienasi oleh tim kesayangannya.
III
Saya hanya ingin memberikan komentar tentang buku ini. Buku ini mengamini analisisnya sendiri yang terlalu terlihat Anglo-Sentris dari kalimat “We’re also conscious that most of the players included are British or Anglicised; we’re not xenophobes, honest.” Buku ini lebih mirip merupakan analisis sejarah–sejarah sepak bola Inggris masa lalu dibandingkan buku analisis sepak bola global. Setidaknya Smyth benar-benar tidak xenophobia dengan banyak memasukkan contoh liga-liga lain seperti Liga Spanyol dan Liga Italia untuk dijadikan beberapa contoh kasus.
Ternyata, hal tersebut justru membuat buku ini menjadi konsisten dalam hal menganalisis Inggris sebagai sebuah bentuk revolusi industri sepak bola. Revolusi industri sendiri di Inggris memperkenalkan sebuah bentuk masyarakat baru dan dunia sepak bola Inggris jadi mengenal hal itu.
Metafora bagaimana sepak bola menjual jiwanya menjadi metafora yang menarik. Subtil sekali bukan?