Bulan Januari tahun 2011, tepatnya ketika kalender berada di tanggal 8, sebuah peristiwa dalam rangkaian rekonsiliasi dan perdamaian dua kelompok suporter yang berseteru terjadi di kota Solo. Di jalan Kolonel Sugiono No. 37 Solo, lima orang Bonek –sebutan bagi suporter Persebaya– menanam sebatang pohon bersama Mayor Haristanto dan dua orang Pasoepati Ultras. Dinamakan sebagai pohon cinta, pohon tersebut bisa dibaca dalam perspektif semiotika sebagai perdamaian yang harus terus dirawat, dipupuk, disiram dan dijaga agar tetap tumbuh bersemi.
Oryza Wirawan dalam bukunya berjudul Imagined Persebaya: Bonek, Persebaya dan Sepak Bola Indonesia (2015) mencatat peristiwa tersebut sebagai berikut: “Tidak banyak media massa di Indonesia yang memberikan ruang untuk memberitakan peristiwa bersejarah dalam dunia sepak bola dalam negeri ini. Bersejarah, karena setahun sebelumnya kedua kelompok itu terlibat pertempuran di sepanjang jalur kereta api yang melintasi Solo. Banyak korban dari kedua belah pihak. Tidak penting mengusut siapa yang bersalah atau memulai lebih dulu. Setiap pihak punya versi masing-masing yang tak seratus persen benar dan tak seratus persen salah. Namun, setiap pertikaian harus diakhiri, setiap api harus dipadamkan. Kedua belah pihak menyadari betul itu.”
Membandingkan porsi pemberitaan media massa dalam isu mengenai konflik dan perdamaian suporter sepak bola adalah laksana membandingkan bumi dan langit. Dalam berita tentang konflik, apalagi konflik yang menyulut kekerasan, media massa selalu memberitakan dalam porsi yang berlimpah. Ketika Bonek dan Pasoepati berseteru di tahun sebelumnya, terutama ketika pada momentum saat kereta api yang penuh sesak ditumpangi para Bonek sampai ke atapnya melintasi kota Solo, media massa dengan sigap memberitakan secara massif mengenai perang batu antara Bonek dan Pasoepati. Media cetak menempatkan konflik tersebut di halaman depan lengkap dengan foto berwarna berukuran besar dan media televisi dengan sigap mengirimkan kru dan peralatan siaran langsungnya untuk menyiarkan perang batu yang terjadi.
Bahwa premis bad news is good news masih menjadi panglima dalam kebijakan di ruang redaksi media massa tentu terbukti dari pemberitaan media massa dalam konteks relasi suporter sepak bola. Proses penanaman pohon cinta dan rangkaian proses perdamaian antara Bonek dan Pasoepati tidak banyak menarik media massa untuk mengangkatnya dalam pemberitaan. Walaupun demikian bukan berarti semua pemberitaan media selalu mengangkat sisi kelam fans sepak bola.
Satu dasawarsa sebelum pecah konflik antara Bonek dan Pasoepati, relasi antarkeduanya sebenarnya cukup baik. Sebuah berita sebesar empat kolom di harian Solopos tanggal 3 April 2000 bisa membuktikan kedekatan keduanya. Berjudul Pasoepati Adakan Jimpitan Beras: 2.500 Pendaftar Siap Serbu Surabaya, Solopos memberitakan tentang Pasoepati yang akan berangkat ke Surabaya mendampangi Pelita Solo yang away melawan Persebaya. Dalam kepala beritanya, Solopos menulis demikian: Sekitar 2.500 orang suporter Pelita Solo yang tergabung dalam Pasoepati rencananya akan menyerbu ke Surabaya menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB) Pasoepati, 13 bus dan sejumlah kendaraan pribadi.
Solopos juga menuliskan tentang kegiatan Pasoepati mengumpulkan jimpitan beras yang rencananya akan disumbangkan ke panti asuhan di Surabaya. Mengutip pendapat Mayor Haristanto, Solopos menulis bahwa suporter Solo yang ke Surabaya ibarat masuk ke “kandang macan”, karena suporter dari kota Pahlawan telah terlebih dahulu memelopori rombongan suporter sepak bola menyerbu luar kota dengan Boneknya.
Penanaman pohon cinta di tahun 2011 menjadi salah satu proses dalam mengembalikan relasi yang terjalin baik di tahun 2000. Tentu, pohon tersebut tidak bisa ditanam tanpa sebuah niat baik dan kemauan untuk meminta maaf. Saya beruntung kenal baik dengan Mayor Haristanto sehingga pada saat penanaman pohon bisa berada di lokasi dan waktu yang bersejarah dalam kajian fans sepak bola di Indonesia. Bonek yang datang menyampaikan permintaan maaf pada Mayor Haristanto dan perwakilan Pasoepati yang lain. Sikap legawa untuk meminta maaf dari sebuah kelompok suporter yang di tahun 2000 disebut oleh Solopos sebagai pemilik “kandang macan” menjadi titik balik dalam relasi Bonek dan Pasoepati. Sambutan Pasoepati untuk memberikan maaf juga sebuah hal yang sangat menarik, mengingat sebelumnya mereka begitu murka dengan ulah kejahatan Bonek saat kereta api yang dinaiki Bonek melintasi kota Solo.
Tentang maaf dan memaafkan, kita bisa mengingat pemikiran Hannah Arendt dalam bukunya yang terkenal berjudul The Human Condition (1959). Dalam buku tersebut, Hannah Arendt meletakan pondasi pemikirannya mengenai kejahatan (evil), dengan mengatakan demikian, “kriminalitas dan kejahatan yang disengaja sangat jarang, bahkan lebih jarang dari maksud baik. Kekhilafan merupakan kejadian sehari–hari yang termasuk ciri tindakan dalam relasi–relasi baru yang secara terus menerus terbentuk dalam jejaring relasi antarmanusia. Di sinilah maaf dan pengampunan selalu dibutuhkan agar dengan membebaskan manusia dari perbuatan yang tidak disadarinya, hidup bisa dilanjutkan. Dengan demikian, manusia dapat lepas bebas serta memulai tindakan baru.
Pohon cinta yang ditanam oleh Pasoepati dan Bonek menjadi langkah selanjutnya setelah permintaan maaf dan pengampunan terjadi. Pohon cinta tersebut adalah janji, yang menurut Hannah Arendt, jika pengampunan memperbaharui dan merehabilitasi suatu perbuatan atau tindakan di masa yang lampau, janji memberi semacam “kepastian” sebagai obat tindakan di masa yang akan datang. Kemampuan manusia membuat janji menjadi kekuatan yang menyediakan stabilisasi yang inheren dalam sejarah tradisi umat manusia.
Dinamai sebagai pohon cinta, Hannah Arendt juga menyebut tentang cinta. Menurutnya cinta akan kekuatan yang menggerakan kemampuan untuk memaafkan. Semoga benih “pohon cinta” yang ditanam pada 8 Januari 2011 menyebar ke berbagai kelompok suporter sepak bola di kota–kota lain.