Saya lupa siaran sepak bola yang pertama kali saya tonton. Tapi kalau membicarakan Istanbul 2005, ingatan pasti begitu lekat. Saya bukan suporter Si Merah dari Merseyside, apalagi seorang Milanisti.
Tapi, kenapa memori tentang final di Istanbul selalu terbayang bahkan ketika saya tumbuh besar dan mulai memahami sepak bola? Kenapa tiga gol Milan di babak pertama yang bisa dibayar lunas Steven Gerrard dkk di babak kedua hingga berujung kisah heroik Jerzy Dudek dalam drama penalti begitu membekas?
Saya ingat setiap detil dari enam gol yang tercipta dalam pertandingan itu. Ingat prosesnya. Ingat pencetak golnya. Ingat siapa pengirim asisnya.
**
Saya baru selesai membaca kolom analisis sepak bola yang ditulis Gus Dur sejak tahun 1982 yang kemudian dikumpulkan dalam satu buku untuk dicetak. Tulisan khas Gus Dur menunjukkan sesuatu yang berbeda karena saya merasa saya ada di sana untuk menyaksikan setiap laga yang diulas oleh sosok bernama Abdurrahman Wahid itu.
Tulisan Gus Dur, laiknya mesin waktu yang membuat saya merasakan tiap detil dari apa yang beliau tuliskan. Utamanya kolom ulasan beliau selama pagelaran Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat yang rutin termuat di kolom Kompas pada tahun itu.
Bagaimana Gus Dur menjelaskan strategi sang maha agung, Arrigo Sacchi, bagaimana Belanda asuhan Dick Advocaat yang menerapkan formasi acak, bagaimana Swedia dan Bulgaria yang menjadi kuda hitam dan lolos hingga semifinal, dan ujungnya, tentang final Piala Dunia 1994 antara Brasil dan Italia.
Satu hal yang selalu ditekankan Gus Dur dalam analisisnya adalah keutamaan tentang sepak bola yang menarik. Final Piala Dunia 1994 yang disebut beliau sebagai final membosankan dan antiklimaks karena menampilkan dua tim yang saling bermain menunggu dan pasif.
Bahkan, andai Roberto Baggio tak gagal mengeksekusi penalti yang memenangkan Brasil itu, pastinya tidak akan ada cerita menarik yang bisa dituliskan dari final tersebut. Cerita kegagalan Roberto Baggio, menurut hemat saya, menjadi begitu masif karena selama 120 menit lamanya hampir tak ada sesuatu yang demikian menarik di dalamnya.
**
Jadi, kenapa sepak bola harus menarik? Seharusnya sepak bola memang menarik.
Bayangkan masa kanak-kanak Anda yang dihabiskan di tanah lapang. Bermain dengan bola plastik yang dibeli dengan patungan bersama teman sekampung. Dimainkan sejak sore hari selepas Ashar hingga berakhir saat salah satu dari orang tua kita mulai berteriak melengking menyuruh mandi atau ketika adzan Maghrib mulai berkumandang.
Dan berapa pun banyak gol yang diciptakan, di akhir nantinya pasti kita tentukan siapa yang mencetak gol terakhir akan menang. Menang atau kalah, anak-anak tersenyum. Sepak bola ceria yang jadi obsesi Eduardo Galeano.
Tentu saja sepak bola modern saat ini bukan laiknya bola tarkam yang dimainkan segerombolan bocah di tanah lapang pada sore hari. Ada tuntutan juara, entah dari manajemen, pemilik klub atau tak jarang dari suporter itu sendiri.
Tuntutan juara itu pula yang konon membuat Carlos Alberto Perreira dan Arrigo Sacchi saling bermain pasif dan hati-hati saat di final 1994. Tuntutan sepak bola modern, bagaimanapun bentuknya, adalah manifestasi akan kelahiran pakem-pakem sepak bola yang mengutamakan hasil akhir.
Pakem ini kemudian menjadi cikal bakal sepak bola yang stagnan dan tentu saja, membosankan. Membuat sepak bola murni hanya sebagai pertandingan.
Sepak bola, ujar Darmanto Simaepa, harusnya juga memiliki wujud sebagai permainan untuk memberi tontonan menarik sebagai salah satu jenis olahraga paling populer sejagat raya. Kenapa harus menarik? Karena satu gol di sepak bola bisa dirayakan puluhan bahkan ratusan juta orang di belahan bumi ini.
Satu gol di sepak bola jauh lebih berharga dari puluhan three point shots yang dicetak Stephen Curry sekalipun. Tentu saja ini subyektif. Saya tak terlalu menyukai basket, lagipula basketball writing pun belum populer benar kan dibanding football writing?
Apakah kemudian esai ini mewakili arogansi penikmat sepak bola menyerang? Bisa iya atau tidak. Saya pribadi memang menyukai sepak bola menyerang. Saya pemuja diktum pertahanan terbaik adalah menyerang.
Wajar ketika saya sangat menyukai menonton Barcelona atau Bayern Munchen, atau tambahkan Leicester City untuk musim ini. Trio Messi-Suarez-Neymar milik Barcelona adalah jaminan mutu untuk setiap pemuja sepak bola atraktif dan menyerang. Bayern Muenchen dengan Pep Guardiola juga menawarkan dimensi taktik yang begitu menggugah untuk ditonton.
Dan Leicester City? Ayolah, untuk sebuah tim yang bermain sepak bola jauh lebih menarik daripada juara bertahan Liga Inggris, wajar kan apresiasi perlu diberikan untuk tim asuhan Claudio Ranieri itu?
Tapi, kata “menarik” sendiri mungkin sedikit bias dan memiliki sisi relatif yang mungkin diperdebatkan. Strategi serangan balik pun sebenarnya tak melulu soal bermain pasif, toh, Real Madrid dalam jalan mencapai La Decima mereka pun menggunakan taktik serangan balik yang bertumpu pada kecepatan Cristiano Ronaldo dan Gareth Bale namun masih tetap mampu bermain menarik.
Tapi menuding pemuja sepak bola negatif sebagai biang kerok pun kerapkali juga salah alamat. Apa dosa Jose Mourinho ketika kemudian Chelsea bisa juara dengan keunggulan poin mutlak dari para kompetitor melalui permainan efektif mereka?
Walau efeknya, mungkin, Stamford Bridge menjadi sunyi karena suporter mereka tertidur sebab terlarut dalam permainan membosankan “menarik” ala The Special One.
Oh, tapi saya lupa, seorang teman pernah berujar bahwa sepak bola bukan kontes kecantikan, karena yang penting adalah hasil akhir. Lagipula, ini kan memang sepak bola, bukan ajang Miss Universe, ya?
Lagipula, dari balapan Moto GP di seri Valencia lalu pun publik begitu terhibur dengan perjuangan spartan Valentino Rossi yang memulai balapan dari start terbelakang walau kemudian hanya mampu finis di peringkat 4 dan gagal menjadi juara dunia.
Sebutan The Doctor bukan isapan jempol belaka. Rossi paling tahu cara bertanding dan bermain dengan menarik dan menghibur. Juara boleh siapa pun, tapi Valentino Rossi akan selalu terkenang, dan mungkin, Anda pasti lebih tergoda melihat perjuangan Rossi daripada romansa Jorge Lorenzo-Marc Marquez yang begitu mesra di dua posisi teratas saat itu.
**
Saya akhirnya tahu kemudian kenapa Istanbul 2005 begitu berkesan di ingatan. Bukankah sebuah hal yang wajar mengingat lekat dalam memori laga yang berlangsung menarik hingga tercipta banyak gol daripada laga yang berakhir 0-0?