Indonesia turun satu peringkat ke posisi 180 dalam peringkat timnas putra sedunia rilisan FIFA, lebih rendah dari Lane Xang –Seribu Gajah, sebutan Laos untuk Tanah Air mereka– yang berada di posisi 177.
Membingungkan, bagaimana mungkin tetangga yang asing tersebut bisa melewati Indonesia. Menyalahkan PSSI atau Kemenpora atas merosotnya posisi Indonesia hanyalah debat yang tidak akan berakhir. Namun bila terbersit pemikiran “bagaimanakah kondisi sepak bola di Laos?” maka tulisan ini mungkin bisa sedikit menjawab.
Sekilas sepak bola Laos
Lao Premier League (LPL) diisi oleh sebelas tim dari empat kota dengan total hanya enam stadion yang digunakan. Di mana delapan tim dan tiga stadion berada di Vientiane, sisa lainnya berada di kota Savannakhet, Pakse dan Attapeu. LPL berjalan selama sembilan bulan dari Februari hingga Oktober dengan jumlah total 20 pertandingan kandang dan tandang.
Pemenang dari Liga Primer Laos berhak untuk masuk ke babak grup Piala AFC serta babak pertama Toyota Mekong Club Championship, sebuah kejuaraan yang mempertemukan juara liga di negara yang dialiri Sungai Mekong.
Piala Menteri berlangsung pada bulan November setelah liga berakhir, namun juara LPL tidak berhak untuk mengikuti pertandingan ini. Minister Cup berformat sistem gugur dengan 16 tim peserta di mana sepuluh tim dari LPL dan enam tim dalam negeri lain yang bersifat undangan. Pemenang dari Piala Menteri akan bertemu dengan juara LPL pada awal musim dalam laga Lao Football Federation Super Cup.
Liga dan Piala dikelola dengan dana dari pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Olahraga sekaligus dana dari sponsor.
Pendanaan tim terbagi dua dengan delapan tim mencari dana secara mandiri dan tiga tim menggunakan anggaran belanja kedinasan seperti Lao Army, Lao Police dan Electricite du Laos FC (Perusahaan Listrik Negara Laos).
Dua tim merupakan tim franchise dari Vietnam yaitu SHB Vientiane yang merupakan saudara SHB Da Nang. Keduanya dikelola oleh bank SHB Vietnam. Kemudian Hoang Anh Attapeu yang masih berkerabat dengan Hoang Anh Gia Lai FC, dimiliki oleh perusahaan karet dan tambang Hoang Anh Gia Lai.
Lao Toyota
Sekilas nama klub ini tidak terdengar seperti klub sepak bola. Nama didapatkan karena mereka didanai oleh sebuah dealer mobil ternama di Laos. Lao Toyota berkandang di stadion Chao Anouvong yang terletak di tengah pusat kota Vientiane.
Stadion Chao Anouvong berkapasitas 15 ribu penonton dan merupakan stadion timnas Laos sebelum pindah ke National Stadium yang dibangun untuk SEA Games 2009.
Lao Toyota berdiri sejak tahun 2013 dan mereka langsung menjadi runner-up LPL pada tahun 2014 dan menjadi pemenang pada tahun 2015 di bawah asuhan coach Dave Booth.
Sayang, mulus di liga tidak berarti mulus di kompetisi regional. Di kompetisi Toyota Mekong Club Championship mereka kandas 2-0 oleh Boeung Ket Angkor melalui dua gol wonderkid Kamboja Chan Vathanaka.
Pendukung Persib pasti tidak asing dengan Lao Toyota karena kedua tim pernah bertemu di ajang Piala AFC. Sama seperti Toyota Mekong Cup, kiprah Lao Toyota di AFC Cup pun lemah, mereka tersingkir tanpa menang satu pertandingan pun.
[Best_Wordpress_Gallery id=”4″ gal_title=”Bertandang ke Lanexang United”]
Lanexang United
Klub ini nyaris menjuarai LPL, hanya saja terpaut selisih gol dari Lao Toyota. Namun kekecewaan mereka pada musim 2015 berhasil ditebus dengan menjuarai Minister Cup. Lanexang United merupakan contoh klub modern yang bisa ditiru beberapa klub lain di Indonesia.
Klub yang berafiliasi dengan Nakhon Phanom di Thailand ini memiliki keuangan yang sehat. Lanexang United memiliki sponsor terbanyak di Laos. Bahkan mereka memiliki stadion sendiri yang bernama Lanexang Stadium dengan rumput artifisial.
Stadion yang mereka miliki hanya memiliki kapasitas 2500 orang, namun mereka berjanji apabila selalu penuh mereka akan melakukan ekspansi stadion. Walaupun kecil mereka sudah mengikuti standar layout seperti tim-tim kecil Eropa dengan fasilitas yang lengkap seperti toko merchandise, restoran, pusat kebugaran, kantor dan ruang konferensi pers.
Akun media sosial mereka dikelola dengan baik, semua informasi lengkap bisa didapatkan dari kanal media mereka. Call center mereka juga melayani telepon saya dengan baik walau hanya sekadar bertanya harga merchandise dan tiket Minister Cup!
Mengonsumsi sepak bola Laos
Kebanyakan orang di Vientiane mengernyitkan dahi apabila ditanyakan apakah mereka menonton sepak bola lokal. Lebih banyak jawaban tidak yang didapatkan.
Mereka fasih terhadap Arsenal, Chelsea dan Liverpool namun bingung ketika ditanyakan alamat Lanexang Stadium atau di mana mencari merchandise timnas Laos.
Selain pengaruh Eropa, Thailand pun memiliki pengaruh besar dalam ranah hiburan termasuk olahraga di Laos. Hal ini dimaklumi karena orang Laos dan orang Timur Laut Thailand merupakan saudara serumpun namun terpisah akibat batas negara.
Juara Liga Primer Thailand, Buriram United serta Nakhon Ratchasima sangat populer di Laos karena mereka berasal dari suku yang sama yaitu Isan. Mencari jersey kedua tim tersebut sangatlah mudah di Vientiane, dari original sampai KW bertebaran di mana-mana. Sambil sesekali terselip jersey tim besar Thailand lain seperti Chonburi, Osotspa dan Muangthong.
Mencari jersey timnas Laos atau tim LPL? Hanya toko tertentu yang menjualnya. Toko yang terdistribusi pun dikarenakan mereka memiliki koneksi ke pengurus LPL. Dan semakin sulit lagi karena merchandise original tersebut sangat terbatas jumlahnya. Mencari yang KW? Mungkin lebih mudah mencari jarum di tumpukan jerami.
Perlu berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan tindak hooliganisme dalam pertandingan sepak bola di Laos. Di setiap pertandingan akan selalu ada pasukan militer yang menjaga, dan semua yang dianggap mengganggu kestabilan negara berhak untuk ditangkap.
Untuk urusan kuliner stadion, pedagang tidak berkeliling melewati penonton, mereka semua hanya ada di luar stadion. Jangan harap untuk menemukan arem-arem, tahu, dan kacang. Karena menu yang paling umum dijajakan adalah bakpao, crepe, soda dan bir.
Bila Anda membawa bekal dari rumah, maka tukang parkir adalah satu-satunya yang perlu Anda bayar untuk menyaksikan sepak bola di Laos karena semua tiket pertandingan sepak bola di Laos masih gratis.
Kombinasi aman dan gratis membuat suasana menonton sepak bola di Laos seperti hadir dalam piknik rakyat. Keluarga datang dalam rombongan, kemudian istri menuangkan bir untuk suami sementara anak yang tua menjaga adik bayi atau balita.
Selain keluarga penonton tipe lainnya adalah gerombolan pemuda dan pelajar. Golongan pemuda dan pelajar biasanya yang paling semangat, gendang dan bendera menjadi aksesoris mereka. Tidak lupa pula dengan lantang melakukan chant Su Su! (Ayo semangat) sepanjang pertandingan.
Para pemuda dan pelajar yang sempat saya tanyakan mengaku, mereka hanya menonton ke stadion apabila tidak ada kegiatan lain. Alasan lain mereka datang juga didominasi oleh pernyataan mendukung kerabat atau teman. Apabila ditanya tim favorit, 100% jawaban yang didapatkan adalah tim dari Eropa.
Sepak bola Laos sedang melalui fase pembelajaran. Walaupun masih jauh dari sempurna, saya yakin apa yang bisa mereka lakukan tentunya juga bisa kita lakukan. Apa yang terpampang di peringkat FIFA bukan cerminan sebenarnya semoga para pejabat segera berdamai dan sama-sama membangun sepak bola Indonesia.
Laos sudah mulai membangun sepak bolanya dengan serius, Indonesia kapan akan memulai?