Luang Prabang, Lanexang, dan Lao Toyota: Wujud Distopia Sepakbola Laos

Pesawat yang saya naiki mendarat dengan mulus di bandara kecil, di sebuah kota yang tenang, jauh dari keriuhan metropolis bernama Vientiane, Laos. Kota yang saya datangi ini adalah Luang Prabang. Sebuah kota kecil yang masyarakatnya sama seperti manusia pada umumnya, menggemari sepakbola.

Jam menunjukan angka dua belas siang, di mana kabut masih mengepung dan udara dingin masih membuncah. Namun dingin di sini tidak hanya perihal udara, perkara sepakbola, bisa lebih sentimental lagi urusannya.

Di sebuah hostel, perkenalan dengan banyak orang menjadi sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Menjadi lebih unik manakala seorang penjaga hostel tersebut begitu tergila-gila dengan sepakbola.

“Ketika kawan-kawan saya menggandrungi Thai League 1 (di Laos, ramainya penonton sepakbola Thailand sama seperti antusiasme masyarakat Indonesia akan Liga Primer Inggris), saya lebih memilih gila kepada liga sepakbola di negeri saya sendiri, Liga Primer Laos (LPL),” kata pria bernama Neo.

“Saya tidak pernah mengikuti perkembanga sepakbola Indonesia. Namun di pertengahan bulan Oktober 2017, saya sangat ingat bahwa posisi Laos di peringkat FIFA adalah 162, sedangkan Indonesia terperosok di posisi 165. Itu gila! Negara yang biasanya menjadikan kami lumbung gol, berada di bawah kami.”

Ia mengatakan dengan begitu tenang, seakan saya ini tak ada. Namun tak masalah, memang seperti itulah sepakbola di negeri kita. Konon, dulu disebut sebagai Macan Asia, tetapi kini ompong karena orang-orang tidak bertanggung jawab yang duduk di federasi.

Neo menceritakan banyak hal seputar sepakbola Laos, terutama distopia yang sempat mereka alami. Neo mengatakan bahwa di sini ada sebuah klub yang berlaga di kasta teratas Liga Primer Laos bernama Luang Prabang United.

Mereka memakai Stadion Luangprabang sebagai home base, tak jauh dari hostel ini. Fasilitas dua puluh ribu kursi, menjadikan klub ini setara dengan kebanyakan klub Liga 2 di Indonesia—jika dipukul rata dari aspek stadion saja. Lalu bagaimana dengan faktor yang lain semisal antusiasme dan kegilaan suporter? Takarannya jelas berbeda.

Sepi mungkin kata yang tepat, tetapi Stadion Luangprabang begitu ramah bagi perempuan dan anak-anak. Penonton di sini, kata Neo, adalah gambaran bahwa sepakbola merupakan salah satu menu yang dipilih sebagai waktu menghilangkan penat bersama keluarga.

“Bayangkan saja jika kamu bersama pacarmu atau bersama ayah dan ibumu datang ke Stadion Luang Prabang membawa makanan, bercengkrama hingga lupa bahwa stigma sepakbola adalah sesuatu yang keras,” kata Neo.

BACA JUGA:  Mencintai Persib Bukanlah Tradisi, Melainkan Takdir

Klub ini pun memiliki sponsor minuman berenergi asal Korea yang menurut Neo sangat populer dan lumayan mendukung.

Luang Prabang memang dibentuk pada 2018 dan mengikuti kompetisi di liga strata paling tinggi di Laos pada tahun yang sama. Lalu bagaimana bisa mereka langsung merangsak masuk ke divisi teratas bertepatan pada tahun lahir mereka? Jawabannya adalah atas kebobrokan Liga Primer Laos itu sendiri.

“Klub mana pun yang dinyatakan sanggup dalam hal keuangan dan kesiapan internal mereka, bisa dinyatakan lolos LPL. Tidak ada liga dua atau level yang lebih rendah. Bagaimana bisa ada liga dua jika peserta liga satunya saja hanya diisi oleh beberapa klub?” keluhnya.

Kebebasan di Luang Prabang, sangat berbeda dengan kebanyakan klub yang berbasis di Vientiane. Di ibu kota sana, jangan harap ada fanatisme, karena di setiap lini stadion sudah ada barisan tentara yang menjaga dengan ketat. Penonton yang datang ke stadion sebagian besar adalah pelajar dan keluarga yang berlibur mencari hiburan.

Mungkin kesulitan utama dari para suporter adalah melampiaskan kekesalan atas segala problem yang terjadi dalam kepengurusan LPL.

Jangan harap ada tulisan seperti “PSSI Anjing” atau “Federasi Goblok” karena kebebasan paling besar di sana adalah membunyikan drum dan mengibarkan bendera dengan gambar logo tim kebanggaan.

Akar permasalahan sepakbola Laos terjadi pada edisi Liga Primer Laos 2017. Satu per satu klub LPL yang tadinya berjumlah 14 tim, berguguran menjadi 8 klub saja. Salah satunya adalah sang juara bertahan edisi 2016, Lanexang United.

Selain disebabkan oleh protes yang muncul akibat dugaan manipulasi hasil laga dalam kompetisi musim sebelumnya, Lanexang juga banyak ditinggalkan oleh para sponsor yang selama ini menghidupi mereka. Alhasil, Lanexang ragu untuk mengikuti kompetisi dalam keadaan pincang. Pihak Lanexang sendiri menganggap liga tak bisa dipertahankan.

“Kamu tahu Johor Darul Ta’zim?” tanya Neo. Saya hanya manggut-manggut.

“Lanexang United memiliki minat yang sama seperti JDT. Disinyalir, jika mereka bertahan dan tidak ditinggal sponsor, kekuatannya akan menjadi mahadahsyat dalam konstelasi sepakbola Laos,” ujarnya.

Cara Neo menyandingkan Lanexang United dengan JDT memang beralasan. Klub ini menghabiskan sepuluh juta dolar AS medio 2015-2016. Tidak hanya investasi membeli pemain-pemain mahal, mereka juga membangun Stadion Lanexang dengan fasilitas lengkap seperti indoor sport center yang bisa digunakan oleh publik bahkan dapat disewa guna acara non-sepakbola seperti pernikahan.

BACA JUGA:  Sepakbola Juga Milik Perempuan

“Bisa dibilang, jurang pemisah antara sepakbola di Vientiane dan daerah sekitar sangat lebar jaraknya,” kata-kata Neo itu rasanya jadi makin parah pada LPL edisi 2020. Seluruh peserta berasal dari Vientiane dan bermain di kandang yang sama, Stadion Nasional Laos. Bayangkan saja, tiap laga adalah derbi sekota!

Kaz Patafta, manajer Lanexang pada waktu itu sekaligus mantan pemain tim nasional Australia pernah berujar kalau finansial adalah persoalan utama klub-klub Liga Primer Laos.

Klub melakukan pencarian dana guna menghidupi dirinya tanpa ada uluran tangan dari pemerintah. Imbasnya adalah klub-klub banyak menghabiskan uang guna kebutuhan satu musim liga saja, bukan jangka panjang.

Hal tersebut bikin federasi menerapkan sistem yang unik yakni “mengundang” dengan surat terbuka kepada klub mana saja yang mau bergabung di LPL. Tentunya, ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Misalnya, mampu tampil dalam satu musim penuh kompetisi.

Namun degradasi adalah kebangkrutan dan kemenangan adalah untuk mereka yang “mampu”. Lanexang dan Luangprabang adalah bukti nyatanya.

Lao Toyota adalah juara Liga Primer Laos edisi 2015, sementara Lunexang jadi kampiun setahun sesudahnya. Hilangnya Lanexang dari radar sepakbola Laos bikin nama nama Lao Toyota jadi tak tergantikan.

Sejak tahun 2017 sampai yang terbaru di edisi 2020, tidak ada klub lain yang mampu membendung laju mereka. Bahkan, pada musim 2020, Lao Toyota menjuarai liga dengan status tak terkalahkan.

“Bisa dikatakan, pasca-edisi 2016 itu, sepakbola Laos menjadi membosankan,” keluh Neo. Menurutnya, sepakbola Laos tak lebih dari sekadar distopia. Federasi yang carut marut, pemenang yang itu-itu saja dan liga yang tidak kompetitif menjadikan sepakbola Laos anyep bukan main.

“Sepak bola bagi masyarakat kelas bawah seperti saya memang hanya sebatas hiburan. Namun, di atas sana, ada yang memanfaatkan saya sebagai penikmat agar terjebak kepada permainan pihak atas. Sepakbola itu adalah olahraga, manusia-manusia yang tak bertanggung jawab di dalamnya yang membuat sepakbola jadi kotor layaknya sampah,” tutup Neo.

Komentar
Penggemar sepakbola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepakbola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa