Dari buku pelajaran Geografi, saya mengetahui bahwa Moskow adalah ibu kota Rusia. Dari sebuah laga sepakbola, saya pun mengetahui jika di Moskow berdiri sebuah stadion megah bernama Luzhniki.
Di stadion berkapasitas 80.000 tempat duduk tersebut, sebuah pertandingan puncak kejuaraan antarklub Eropa, Liga Champions musim 2007/2008, dilangsungkan.
Dua kesebelasan yang siap beradu taktik sama-sama berasal dari Inggris, Chelsea dan Manchester United.
Saya masih ingat, laga tersebut dihelat pada Rabu, 21 Mei 2008, pukul 19.45 waktu setempat atau Kamis dini hari, 22 Mei 2008, pukul 01.45 Waktu Indonesia Barat.
Kala itu, saya masih seorang remaja yang tengah mencari jati diri. Baik dalam keseharian maupun dari ranah klub sepakbola kesukaan.
Kebetulan, saya jatuh hati pada United yang saat itu masih ditukangi oleh Sir Alex Ferguson.
Secara prestasi, The Red Devils begitu digdaya bersama Ferguson. Saban musim, khususnya era 1990-an dan 2000-an, ada trofi yang berhasil dibawanya pulang ke Old Trafford, kandang United yang megah itu.
Siapa yang tak jatuh cinta melihat sebuah tim yang begitu istimewa sukses menggamit trofi demi trofi?
Meski ada banyak picisan lain, bukankah kemampuan sebuah klub meraih gelar selalu menjadi alasan seseorang menggemari mereka?
Khusus di musim itu, saya juga merasa bahwa United punya skuad yang luar biasa. Edwin van der Sar di bawah mistar, Gary Neville, Patrice Evra, Rio Ferdinand, dan Nemanja Vidic menjadi benteng di lini belakang.
Bergeser ke tengah, ada Owen Hargreaves, Cristiano Ronaldo, Ryan Giggs, Paul Scholes, dan Michael Carrick. Sementara lini depan diperkuat oleh Wayne Rooney dan Carlos Tevez. Rasanya sempurna sekali.
Walau demikian, saya yang masih remaja kala itu tak terima melihat lesatan Chelsea yang menjelma jadi salah satu pesaing berat United di tanah Britania. Kebencian itu nyata adanya.
Masuknya Roman Abramovich sebagai pemilik klub pada awal 2000-an memang menyulap peruntungan The Blues.
Trofi Liga Primer Inggris, Piala FA, dan Piala Liga sanggup direngkuh. Alhasil, makin banyak orang yang mendaku diri sebagai suporter Chelsea.
Saya merasa bahwa klub asal London Barat itu adalah tim antah berantah yang ujug-ujug menjadi perkasa karena gelontoran uang Abramovich.
Mereka meraup berbagai prestasi yang ada dengan cara instan. The Blues bukan kesebelasan yang mengerti adagium bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Chelsea tak berbeda jauh dengan Manchester City, rival sekota United, yang tiba-tiba kuat dan menjadi penantang gelar gara-gara mendapat sokongan duit tak berseri dari pemilik klub asal Uni Emirat Arab.
Sebagai penggemar United, wajar bila saya ingin melihat Ronaldo dan kawan-kawan menumbangkan Frank Lampard beserta kolega dalam final Liga Champions 2007/2008.
Hanya itu satu-satunya cara membungkam sesumbar teman-teman saya fans The Blues yang kian angkuh.
Demi menyaksikan laga final, saya bangun lebih awal. Alarm gawai Nokia N70 menjadi senjata andalan kala itu. Setelah bangun, saya bergegas memasak mie instan plus telur guna menemani saya nonton.
Jujur, jantung ini berdegup lebih kencang jelang wasit meniup peluit tanda laga dimulai. Ada banyak tekanan yang mendera. Berbagai kekhawatiran dan khayalan bercampur baur di kepala.
Pada menit ke-26, Ronaldo mencetak gol untuk membawa The Red Devils unggul. Megabintang asal Portugal itu melepaskan sundulan akurat memanfaatkan umpan silang Wes Brown.
Saat menyaksikan gol tersebut, saya tidak bisa membendung rasa gembira yang meluap-luap di dada karena United sudah satu langkah lebih dekat guna memeluk titel Liga Champions.
Sayangnya, senyum kebahagian saya hanya berlangsung sebentar karena sebelum babak pertama selesai, Lampard sukses bikin gol penyeimbang.
Pertandingan berlangsung dengan sangat panas di babak kedua. Ketegangan yang saya rasakan kian meningkat.
Ada banyak peluang emas dari kedua tim yang sayangnya tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Gara-gara itu juga menyeruak kekhawatiran sebab penampilan United yang kurang menggigit.
Bahkan ketika penyerang andalan Chelsea, Didier Drogba, diacungi kartu merah sehingga anak asuh Avram Grant main dengan sepuluh orang, rasa cemas di dada tak jua menyusut.
Pertandingan itu sendiri tetap imbang 1-1 sampai wasit Lubos Michel meniup peluit panjang. Alhasil, diadakan babak perpanjangan waktu 2 x 15 menit guna mencari pemenang.
Nahas, bermain dengan skuad yang lebih lengkap di babak perpanjangan waktu gagal dimaksimalkan United. Tak ada gol yang mampu mereka gelontorkan. Beruntung, Chelsea juga mejan di fase ini.
Suka tak suka, laga dilanjutkan ke babak adu penalti. Saya pun meyakini bahwa drama akan muncul di sini.
Tevez dan Michael Ballack maju sebagai eksekutor pertama kedua tim. Keduanya sukses memecundangi Petr Cech dan van der Sar.
Penendang berikutnya adalah Carrick dan Juliano Belletti. Selaras, keduanya juga sanggup menjalankan tugasnya.
Ronaldo lalu maju sebagai algojo ketiga United. Apes, eksekusinya gagal sebab bola sepakannya berhasil ditepis Cech.
Momen itu bikin jantung saya mau copot. Terlebih, Lampard yang menjadi algojo ketiga Chelsea sukses menyarangkan bola dan bikin The Blues unggul 2-3.
Seketika, saya pasrah bila United harus kalah di final. Apalagi raut wajah Ronaldo dan Ferguson sudah memamerkan kekecewaan.
Hargreaves yang jadi penendang keempat The Red Devils mampu memperpanjang napas kendati eksekusi Ashley Cole meluncur mulus dan bikin Chelsea tetap unggul.
Luis Nani yang dipilih sebagai penendang kelima berhasil menjalankan dan sesaat United mampu menyamakan level.
John Terry lalu maju sebagai penendang kelima Chelsea. Bila sepakannya masuk, The Blues akan menjadi juara.
Sial bagi sang kapten, ia terpeleset dan tendangannya melebar sehingga membentur tiang. Fans Chelsea yang awalnya semringah justru dibuat cemas.
Sebaliknya, fans United seperti saya mendapat angin. Skor sama kuat dan ini menjadi momentum yang tepat bagi The Red Devils untuk membalikkan keadaan.
Anderson yang menjadi eksekutor United selanjutnya mampu melesakkan gol. Begitu pula dengan Salomon Kalou di pihak Chelsea.
Sampai akhirnya, Giggs sebagai algojo ketujuh United berhasil membawa timnya unggul. Sementara eksekusi Nicolas Anelka dari kubu lawan mampu dihalau van der Sar.
Hujan yang mengguyur Moskow malam itu menjadi berkah untuk The Red Devils. Gelar Liga Champions ketiga sepanjang sejarah klub mampu mereka dapatkan.
Pertandingan final di Moskow itu merupakan laga paling berkesan dari United sepanjang hidup saya. Tak ada momen yang lebih spesial dibanding segala perasaan naik turun di dada kala menyaksikannya.
Tak peduli bahwa durasi laga itu sendiri sangat lama sekali. Dimulai pukul 01.45 dan baru berakhir pukul 05.30 WIB.
Usai menyaksikan United berselebrasi, saya lalu mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah dengan perasaan riang.
Alih-alih diledek, saya datang ke tempat menuntut ilmu tersebut dengan dada penuh kebahagiaan. Saya siap meledek habis-habisan teman sekelas yang mendukung Chelsea.
Andai saat itu saya sudah punya jaket United. Saya bakal mengenakannya dengan perasaan bangga.
Setelah momen megah itu, United lalu ditinggal Ronaldo, Tevez, Neville, Scholes, Giggs, dan Ferguson secara bergantian. Malang, performa tim juga ikut menukik.
Anehnya, melihat United bisa mengulang peristiwa serupa di Moskow juga terasa sukar sekali. Ya, The Red Devils bak tim medioker dalam rentang lima musim ke belakang.
Namun sebagai fans, saya takkan pernah berhenti berharap. Saya akan tetap mendukung United apapun yang terjadi.
Suatu saat nanti, malam penuh sukacita bagi United seperti yang mereka rasakan di Moskow pasti terulang kembali.