“Apparel terbaik sejauh ini yang pernah kami pakai,” ujar Ramoncito dalam jumpa pers di Bellevue Hotel, Alabang, Manila, Filipina, 30 Maret 2019 lalu. Ramoncito adalah Presiden klub Mendiola FC 1991, klub peserta Liga Primer Filipina.
Kalimat itu ia ucapkan ketika membuka konferensi pers kerjasama Mendiola FC dengan FAT, apparel asal Indonesia. Franky Adi Thama, pemilik FAT, jelas tersanjung dengan perkataan itu.
Ini adalah langkah awal FAT untuk go international sebagai apparel. Sebelumnya FAT lebih dulu dikenal sebagai produsen sarung tangan penjaga gawang dan sudah dikenal luas secara internasional.
Sementara itu di hari yang sama, apparel-apparel lain berkumpul di Yogyakarta. Mulai dari DJ Sport, Slavo, Classico, Reds, Sembada, Ghanior, Noijs, Wayank, Riors, dan lainnya berembug untuk membentuk apa yang kemudian (belum final) disebut sebagai Asosiasi Industri Pakaian dan Peralatan Olahraga Indonesia atau Equinoc (Equipment and Sports Apparel Industry Association of Indonesia).
Asosiasi ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi umkm yang bergerak di bidang apparel agar bisa saling mendukung. Juga sebagai sarana untuk bisa menopang start up di bidang apparel yang baru memulai usahanya di bidang ini dan belum banyak memiliki kemampuan melakukan produksi secara mandiri.
Pertumbuhan apparel di Indonesia memang cukup signifikan. Ini tidak lain karena pasarnya membesar dan meluas. Liga kita masih belum bagus pengelolaannya, tapi ada peningkatan aktivitas ekonomi di sepakbola. Tentu ini ceruk yang bagus apalagi 40% pasar Asia Tenggara itu berada di Indonesia.
Pada acara hari Sabtu, 30 Maret 2019, di Sinergi Coworking Space, Yogyakarta, pun tampak antusiasme yang luar biasa dari penikmat jersey. Ada sekitar 100 orang jersey enthusiast yang datang meramaikan bincang-bincang perihal jersey tim tersebut.
Forum tersebut menarik karena ada dari apparel, pemain profesional, dan juga penikmat sehingga ada komunikasi dua arah yang langsung tersaji. Masing-masing punya cara pandang dan penilaian yang berbeda mengenai jersey.
“Sebagai kolektor, desain jersey tentu jadi alasan untuk mengoleksi. Untuk jersey klub Indonesia itu dulu acuan desainnya dari apparel luar negeri. Apalagi dulu juga pada pakai teamwear, seperti Reebok di Liga Indonesia, semua klub desainnya sama hanya beda warna dan logo saja,” ujar Akbar, kolektor jersey PSIM sejak 1996.
Perkembangan teknologi produksi turut memengaruhi bagaimana para desainer mendesain jersey. Berbeda dengan dua tiga dekade lalu di mana desain jersey cenderung seragam dan flat.
Sementara bagi pemain, kualitas bahan dan kenyamanan jadi acuan utama untuk menilai jersey bagus atau tidak.
“Kalau buat pemain selain desain ya yang penting nyaman dipakai. Ada jersey desain bagus tapi berat. Atau kami minta ukuran tertentu diberinya lebih besar, jadi kami kemudian mengecilkan atau pakai karet,” kata Topas Pamungkas, pemain yang pernah membela PSIM Jogja dan PSS Sleman, serta bermain pula sebagai pemain futsal profesional.
Dua cara menilai itu yang kemudian perlu didengar dan diperhatikan oleh produsen agar tepat guna. Cocok dipakai pemain dan juga diminati oleh para penggemar.
“Yang masih tanda tanya atau belum ada kesimpulan dari kami (produsen) tentang keinginan pemain dan mau konsumen. Selain mempertimbangkan kepentingan pemain kan juga ada pertimbangan sisi komersialnya,” Dimas Yustisia, CEO DJ Sport.
Itu pula yang kemudian mendorong apparel untuk memproduksi jersey dengan spek berbeda, ada yang player issue, fans version, dan lain sebagainya. Hal itu untuk menjawab kebutuhan para pemain untuk memperoleh jersey yang nyaman dipakai saat bertanding, tapi juga menarik minat fans untuk membeli.
Pertemuan supply dan demand dari semua stakeholder sepakbola ini akan menumbuhkan industri apparel. Ke depan, industri ini akan terus berkembang dan punya ekosistem yang baik berkat daya dukung dari para pihak yang ada.