Ada kalanya, uang bisa menjadi sumber kebahagiaan. Namun mesti diketahui bahwa uang tak pernah bisa membeli kebahagiaan yang hakiki. Kalimat tersebut agaknya relevan bagi para penggemar PSIM Yogyakarta, termasuk saya.
Musim lalu, Laskar Mataram bersolek dengan begitu eloknya. Buah dari masuknya manajemen anyar yang membawa kemewahan ke tubuh tim. Namun nyatanya, hal tersebut gagal membahagiakan hati Brajamusti dan The Maident, dua basis suporter PSIM. Utamanya yang berkaitan dengan ambisi naik kasta ke Liga 1.
Skuat mewah yang dibangun musim lalu, diisi nama-nama semisal Cristian Gonzales, Ichsan Pratama, Nugroho Fatchur Rochman sampai Syaiful Indra Cahya, dan dianggap sebagai salah satu cara efektif untuk mewujudkan ambisi serta mimpi, ternyata gagal bersaing. PSIM akhirnya cuma finis di peringkat tujuh klasemen akhir Wilayah Timur.
Memang semenjak awal dibentuknya tim tersebut, banyak pertanyaan yang timbul. Pemain-pemain yang awalnya sudah berlatih bareng Bogor FC, secara bergantian mengangkut kopernya ke Yogyakarta guna membela panji Laskar Mataram.
Tak ketinggalan, Vladimir Vujovic juga diboyong ke Kota Gudeg buat didapuk sebagai pelatih kepala. Sementara mantan Chief Executive Officer (CEO) Bogor FC, Effendi Syahputra, diberi jabatan sebagai manajer Laskar Mataram.
Sekilas tak ada yang salah dari keputusan tersebut. Namun bagaimanapun juga, ada perasaan ganjil yang menyeruak di dada segenap pendukung PSIM. Sebegitu mudahkah menyatukan chemistry antar pemain dan pelatih? Sebegitu gampangkah manajemen baru menata klub ini untuk jadi lebih baik?
Jujur saja, ada sebagian fans PSIM yang kurang sreg dengan langkah yang dibuat manajemen ketika itu. Segalanya terkesan begitu cepat dan terburu-buru. Bagi pendukung setianya, PSIM bukan sekadar klub sepakbola, tapi jalan hidup dan representasi dari sebagian warga Yogyakarta.
Wajar bila di dalam dada suporter, lahir sebuah pertanyaan yang tegas dan menuntut sebuah jawaban pasti. “Akan diproyeksikan seperti apa klub kesayangan mereka?”.
Tatkala posisi Vujovic digoyang akibat serentetan hasil buruk sedari momen uji tanding sampai akhirnya digantikan oleh Aji Santoso, fans menerka-nerka apa yang bakal terjadi pada klub kesayangannya sembari tetap memelihara harapan.
Ternyata kehadiran mantan bek sayap handal Tim Nasional Indonesia itu tak mampu membuat PSIM melangkah lebih jauh. Bahkan rasio kemenangan yang diperoleh Laskar Mataram di bawah arahan Aji lebih buruk ketimbang catatan milik Vujovic.
Perekrutan Aldaier Makatindu, Sutanto Tan sampai Witan Sulaiman di putaran kedua, tak lebih dari sekadar meningkatkan animo penonton di Stadion Mandala Krida.
Hingga akhirnya pada pekan ke-18, pasca-kalah dari tuan rumah Martapura FC, Aji meletakkan jabatannya untuk kemudian disubstitusi oleh oleh Liestiadi.
Sejujurnya, ada satu hal yang mampu membangkitkan optimisme saya kala itu yakni dipilihnya Erwan Hendarwanto sebagai asisten pelatih. Namun apa daya, mereka tak dapat menyelamatkan PSIM dari kegagalan untuk memenuhi target yang dicanangkan sejak awal musim. Mungkin, sosok Pep Guardiola juga kesulitan buat menggapai sasaran manakala peluang untuk mewujudkan itu hanya ia dapati dalam dua pertandingan.
Mengakhiri musim pada bulan Oktober 2019 silam, berarti sudah tiga bulan lamanya PSIM tertidur dan belum jua terbangun guna menyambut pagelaran Liga 2 musim 2020. Alhasil, pendukung PSIM mulai mencolek pihak manajemen agar segera menyiapkan segala sesuatu jelang musim baru. Mereka yang menuntut agar manajemen mulai bergerak punya alasan logis.
Asumsi bahwa semakin cepat tim dibentuk, semakin panjang pula kesempatan yang dimiliki PSIM untuk mempersiapkan diri, memang beralasan. Belum lagi tim-tim pesaing, seperti Sulut United, yang telah memulai persiapannya demi menyongsong musim baru. Jika tidak segera memulai hal tersebut, lantas kapan?
Pembentukan tim yang dilakukan manajemen pada musim lalu memiliki begitu banyak lubang dan kesalahan, khususnya dari aspek teknis. Namun sejatinya ada hal yang layak diapresiasi dari kerja mereka, terutama dari sisi non-teknis. Mulai dari terobosan dalam tata cara pembelian tiket disusul dengan keseriusan dalam menaikkan branding PSIM sebagai entitas sepakbola. Ini penting karena sepakbola masa kini adalah sebuah industri.
Contohnya bisa kita sama-sama lihat dari keberhasilan Bambang Susanto dan kolega mengundang Bali United dan timnas Indonesia U-23 buat mengikuti turnamen segitiga dalam rangka ulang tahun PSIM. Bahkan ajang tersebut ditayangkan di salah satu televisi swasta besar di Indonesia secara eksklusif.
Meski demikian, patut disadari juga kalau sejauh ini manajemen masih cenderung pasif lantaran federasi sepakbola Indonesia (PSSI) maupun operator kompetisi, belum juga mengumumkan waktu penyelenggaraan Liga 2 musim 2020. Padahal, itu penting diketahui sebagai acuan bagi klub-klub peserta untuk menyiapkan diri sehingga dana yang mereka gelontorkan pun tak percuma.
Jika menganut pada tuntutan beberapa pendukung PSIM, saya lebih memilih agar manajemen merancang proyek untuk mereka jalankan musim depan. Baik secara teknis maupun non-teknis. Dengan itu, manajemen punya visi yang lebih jelas dalam membangun tim serta memperkuat nama mereka sebagai jenama.
Saya pribadi berharap, PSIM bangun di waktu yang tepat. Mereka dapat membentuk tim yang pilih tanding, dan sanggup merintis bisnis yang berguna untuk kemandirian klub. Pun begitu dengan suporter PSIM lainnya. Mereka pasti ingin Warisane Simbah bisa dirawat dengan selamat dan tanpa cacat.