Sebelum masuk ke inti tulisan, saya anggap para pembaca yang berkenan membaca artikel ini sudah sepakat secara sadar untuk memberi saya kesempatan mengejek pelaku utama saga transfer paling pelik pada musim panas 2016/2017, Paul Pogba.
Sasaran kritik saya dua, yaitu Paul Pogba dan kesebelasan pencetak para megalomaniak handal, Manchester United.
Sebelumnya perlu dijabarkan bahwa, perdebatan mengenai harga dan segala klausul nominal transfer Pogba yang kembali ke rumah lamanya di Manchester bisa dibagi secara sederhana dalam dua kubu.
Kubu pihak yang realistis (90% kubu ini biasanya suporter Manchester United sendiri) dan sisanya adalah kubu yang skeptis, iri, dan dengki dengan cara United membayar sekian ratus juta euro untuk satu orang pemain (saya bagian dari kubu ini).
Setelah kepindahan Gareth Bale dari sebuah kesebelasan bayangan di utara London bernama Tottenham Hotspurs, menuju kesebelasan tenar dari Iberia, Real Madrid, saya sempat skeptis akan ada lagi satu kesebelasan yang dengan gila rela membayar satu pemain dengan harga yang jika dirupiahkan, bisa untuk mengentaskan kemiskinan di kira-kira 2000 desa di Indonesia.
Sialnya, ternyata skeptisme saya salah.
Bolehkah sebelumnya saya merasa bahwa harga 105 juta euro itu adalah harga gila? Atau hanya saya saja yang merasa bahwa harga yang begitu fantastis adalah hal yang luar biasa konyol?
Nominal 105 juta euro saja sudah kepalang gila, masih juga dihiasi dengan berbagai klausul dan perjanjian lain yang nominalnya bisa mengantar angka 105 tadi menyentuh angka hampir 200 juta euro.
Dalam rilis resmi Forbes, memang, United hampir selalu bersaing dengan Madrid dan Barcelona di tangga teratas tim sepak bola kaya di dunia. Dengan fakta dan sikap realistis seperti itu, daripada Paul Pogba, kenapa tidak mencoba beli Lionel Messi sekalian?
Lagipula, Financial Fair Play bisa diakali dengan sistem cicilan yang mana bukan hal hina untuk dilakukan oleh klub besar dan populer seperti Manchester United.
Bagi saya, angka 105 juta Euro itu bukti bahwa rasionalitas makin menipis di sepak bola modern. Lebih gila lagi, bahkan ada yang mengklaim bahwa kompletnya kualitas Pogba dan kapabilitas taktikalnya yang semakin matang sejak merantau ke Turin layak dihargai lebih dari 100 juta Euro. Wow!
Kalau boleh jujur, jumlah gelandang dengan kualitas komplet menurut versi saya pribadi, cukup banyak, walau tak melimpah. Tiga nama yang patut dikedepankan tentu Toni Kroos, Luka Modric, dan Sergio Busquets.
Kalau Pogba dihargai 105 juta Euro, berapa kamu berani bayar untuk Sergio Busquets? 150 juta? 200 juta? 250 juta?
Saya tidak bilang eks pemain Le Havre ini sebagai pemain yang buruk. Hanya orang idiot dan gangguan mental yang beropini Pogba pemain overrated dan berkualitas rata-rata. Ia sukses berkembang ketika ditangani Italiano semacam Antonio Conte dan Massimiliano Allegri.
Pogba juga berkembang sangat pesat secara teknik dan market value.
Ia gabungan dari Patrick Vieira, karena kaki panjangnya yang mirip tentakel sangat efektif dalam merebut bola). Robert Pires, versatility-nya di lapangan tengah. Zinedine Zidane, karena kualitas umpan dan kemampuan tekniknya apabila bermain di posisi gelandang serang.
Dengan kualitas seperti itu, Paul Pogba memang sangat layak berharga mahal.
Ia memiliki nilai brand yang tinggi dan menjadi ajang show off bagi United bahwa dengan membeli Pogba, mereka menunjukkan pada khalayak luas bahwa inilah Manchester United.
Sebuah tim kaya yang populer dan bisa menarik minat bekas pemain yang mereka lepas dengan harga tidak sampai 1 juta euro dan sukses mereka tebus kembali dengan harga yang memecahkan rekor transfer dunia kemudian.
Yang jadi soal, memangnya tidak ada pemain lain selain Paul Pogba? Yang membosankan dari bursa transfer saat ini, klub berani membayar mahal dan memperlakukan pemain sebagai sesuatu yang seolah-olah tidak ada duanya di dunia ini.
No one irreplaceable. Ketika Zinedine Zidane masih bermain, saya percaya bahwa tidak akan ada pemain sehebat beliau lagi. Nyatanya, kita bisa menemukan Andres Iniesta, Mesut Ozil, hingga Paul Pogba di masa sekarang.
Kita tidak perlu bersikap bijak dalam transfer Pogba. Sudah menjadi hal yang wajar apabila kita, penduduk dari negara dunia ketiga yang pendapatan per kapitanya kalah jauh dengan gaji satu pekan Pogba di Manchester, untuk rewel dan berisik mengenai transfer yang gila itu.
Kritik ya kritik saja.
Nominal yang digelontorkan untuk Pogba adalah kegilaan yang sama dengan cara Florentino Perez memboyong Bale. Hanya saja, Bale sukses bertransformasi menjadi pemain kelas wahid dalam tiga tahun.
Bahkan, Bale mengantar negara liliput semacam Wales mengangkangi Inggris dan melaju hingga semifinal Piala Eropa 2016. Hal-hal seperti itu yang akan dinanti dari Pogba.
Dan bukan hal yang aneh pula bahwa banyak suporter United yang mewajarkan upaya Setan Merah mendatangkan pemain berjuluk Il Polpo Paul ini ke Old Trafford.
Mana mungkin suporter United sendiri bisa mengejek kebijakan klubnya dengan mendatangkan seorang bintang muda yang kualitasnya sangat baik itu demi menghindari kutukan rutin tampil di liga malam jumat tiap musimnya?
Tingkah laku manajemen dan suporter dari kesebelasan berjuluk Setan Merah ini bisa diwajarkan karena dua hal.
Pertama, mereka mengalami mimpi buruk yang membuat sakit kepala dengan rezim David Moyes, The Chosen One, yang hebatnya, kini berlabuh di Sunderland.
Kedua, mereka mengalami delusi akut ketika percaya bahwa Louis van Gaal, yang sukses di timnas Belanda pada Piala Dunia 2014, ternyata datang dengan status bos besar dan pergi dengan status pecundang.
Dan apa warisan terbaik van Gaal selain mengorbitkan Marcus Rashford dan beberapa pemain muda? Memberi tiket langsung ke Liga Europa.
Paradoks lainnya lagi, selama beberapa tahun terakhir, United dan para penggemarnya acapkali mengejek Chelsea dan Manchester City sebagai kesebelasan yang dibangun dengan pola mesin uang yang royal dan rakus.
Tapi kembali lagi ke stigma umum bahwa yang dilakukan Manchester United dan suporter serta kroni-kroninya, semua sah-sah saja. Tidak boleh dikritisi, apalagi diejek.
Kalian pernah dengar slogan suporter United yang “Not arrogant, just better” itu? Just better ndasmu.
***
Intinya, pemenang dari saga transfer bekas kapten tim junior Prancis ini hanya dua, yakni Mino Raiola, sang agen, dan tentu saja, Juventus. Jauh sebelum saga Pogba menjadi sepanas saat ini, Juventus sudah memboyong Miralem Pjanic dari AS Roma dan merekrut Hernanes serta Sami Khedira semusim sebelumnya.
Bianconeri juga sudah menikmati Paulo Dybala yang tengah berada di puncak permainannya dan sukses mendatangkan Gonzalo Higuain untuk musim depan nanti.
Melihat gelagat transfer Juventus dua tahun terakhir, saya sepakat dengan komentar Paul Pogba bahwa kepindahan ke United adalah sebuah takdir. Ya, takdir. Karena memang Juventus (mungkin) tidak berniat menahan sang penggila dab style.
Demi Angel Di Maria dan Radamel Falcao yang mengalami degradasi penampilan saat membela United, saya tiba-tiba memiliki impian jahat agar Pogba flop dan dijual dengan harga diskon ke AC Milan atau Internazionale Milano beberapa musim ke depan.