Beberapa hari lalu, federasi sepakbola Indonesia (PSSI) menyatakan bahwa kompetisi musim 2021/2022 akan dihelat per 20 Agustus.
Akan tetapi, publik sepakbola Indonesia tak menanggapinya dengan gegap gempita meski kerinduan melihat tim-tim lokal bertanding sudah memuncak.
Pasalnya, berulangkali PSSI mengatakan siap menggelar kompetisi, yang ada hanyalah penundaan demi penundaan.
Publik sepakbola pun merasa bahwa sebelum ada sepak mula dari sebuah laga, maka kepastian dari kompetisi masih penuh dengan tanda tanya.
Sebagai pendukung PS Sleman, saya tentu ingin menyaksikan lagi tim kesayangan bertanding. Walau demikian, ada sesuatu yang mengganjal di dada andai PSS merumput kembali.
Ketika mengakhiri turnamen Piala Menpora 2021 lalu sebagai tim peringkat tiga, khalayak tentu masih ingat dengan tanda pagar #DejanOut yang merajalela di media sosial walau banyak yang menyebut bila menghakimi kinerja pelatih Dejan Antonic pada saat itu adalah hal yang terlalu dini.
Namun permainan kurang memikat dari Super Elang Jawa asuhan Dejan bikin suporter meradang. Meski begitu, melesat pula nama Seto Nurdiyantoro yang disebut-sebut sebagai figur lain yang bertanggung jawab atas performa PSS.
Mengapa Seto?
Seperti diketahui, munculnya aksi tuntutan Sleman Fans dikarenakan buruknya gaya bermain PSS di ajang pramusim tersebut. Setelah melalui beberapa pertandingan, tidak terdapat perkembangan signifikan dari cara mereka bermain.
Ketidakmampuan memaksimalkan potensi pemain menjadi nilai negatif. Mereka dianggap terlalu sering memainkan bola-bola panjang dari belakang ke depan. Padahal, Super Elja tidak memainkan penyerang murni.
Berdasarkan skema awal, PSS terlihat ingin memainkan umpan-umpan pendek dengan meletakkan seorang false nine. Namun realitanya, justru umpan lambung yang selalu diberikan ke depan. Ujung ceritanya pun mudah ditebak, siapapun false nine yang coba dipasang menjadi mati kutu.
Minimnya penetrasi ke kotak penalti melengkapi keruwetan permainan PSS. Mengutip kata legenda Belanda, Johan Cruyff, memainkan sepakbola itu sederhana, tetapi memainkannya dengan cara sederhana tidaklah mudah. Untungnya, PSS berbenah dan hasilnya mulai terlihat di beberapa laga terakhir.
Sleman Fans selalu teringat sosok Seto. Beliau memang sosok yang berjasa karena membawa PSS promosi ke Liga 1 pada 2018 silam. Setahun berselang, dengan skuad seadanya beliau mampu membawa tim yang berkandang di Stadion Maguwoharjo ini finis di peringkat delapan klasemen akhir Liga 1. Sebuah rapor yang cukup apik.
Salah satu hal yang bikin Seto begitu istimewa di mata suporter adalah kemampuannya membuat PSS menyuguhkan permainan yang enak dipandang. Banyak yang mengatakan bila itu adalah Seto-Ball.
Menyaksikan beberapa pertandingan di musim 2019 lalu, kita bisa menyaksikan bagaimana aksi-aksi Super Elja yang menawan. Melawan Bhayangkara FC di Jakarta, melawan Persebaya di Sleman dan Surabaya, dan beberapa pertandingan lain, permainan PSS begitu sedap dipandang.
Bahkan saat kalah melawan Persija sekalipun, mereka tetap bermain dengan istimewa. PSS bermain bola pendek dari kaki ke kaki yang dimulai dari kiper.
Alih-alih menendang bola jauh ke depan secara langsung, Ega Rizky diinstruksikan untuk memainkan bola-bola pendek kepada para bek seraya kucing-kucingan dengan pemain depan lawan. Selanjutnya, Guilherme Batata sebagai seorang regista menjemput bola ke belakang dan mengalirkan ke tengah.
Brian Ferreira sebagai seorang fantasista memainkan bola dengan imajinasinya. Para pemain sayap tidak hanya aktif memberikan umpan silang, tetapi juga menusuk ke dalam kotak penalti. Ingat berapa gol yang dicetak Irkham Milla ataupun Haris Tuharea?
Melawan Persebaya di Sleman, terlihat Brian memberikan umpan silang pendek kepada Yevhen Bokhasvili di dalam kotak penalti untuk kemudian menceploskan bola menjadi gol. Jarang sekali terlihat skema gol seperti itu dalam kancah Liga 1.
Secara umum, memang tidak seluruh pertandingan berjalan sesuai skenario. Beberapa pertandingan berakhir dengan buntu seperti saat dikalahkan PSIS dua kali.
Kelebihan Seto saat itu adalah sanggup memaksimalkan kemampuan pemain. Pemain nyaman bermain karena ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kemampuan terbaiknya.
Bersama Seto, PSS menjadi lebih dikenal, bukan karena prestasi melainkan gaya bermain yang memikat. Bahkan, beberapa momen sempat ramai diperbincangkan agar Seto ‘naik kelas’ dengan melatih tim nasional Indonesia.
Hal tersebut cukup menggambarkan apresiasi dan pengakuan yang diberikan penggemar sepakbola (tidak hanya Sleman Fans) terhadap kinerjanya. Seto mampu memaksimalkan skuad terbatas dan menyuguhkan permainan sesuai dengan karakteristik skuad yang dimiliki.
Saya membayangkan jika saat itu PSS tidak memainkan Seto-Ball. Mungkin tidak akan muncul tagar #DejanOut. Setidaknya, tidak akan muncul ekspektasi tinggi dari Sleman Fans terhadap cara bermain Ega dan kawan-kawan.
Kini Seto sudah tak lagi bekerja di PSS karena telah menerima pinangan PSIM. Walau demikian, gaya Seto-Ball akan sulit untuk dilupakan meski mengulanginya juga bukan perkara sepele.
Siapapun pelatih PSS pasca-Seto, akan selalu dibayangi oleh bagaimana seharusnya PSS bermain. Pasalnya, suporter telanjur mendapat suguhan yang menarik dari Seto sehingga gaya main yang berkebalikan dari itu justru mendapat kritikan pedas.
Kendati demikian, Sleman Fans juga mesti berkaca bahwa setiap pelatih memiliki filosofi bermainnya sendiri. Suatu hal yang mereka yakini dan tempa, hasil dari pengalaman melatih selama bertahun-tahun.
Meminta suksesor Seto untuk menerapkan gaya main yang sama adalah kenaifan. Meski demikian, suksesor Seto juga mengetahui dengan pasti apa yang dituntut Sleman Fans dari klub kesayangannya yakni filosofi bermain yang sangat Sleman sekali. Tidak kurang, tidak lebih.