Mengintip Keberlangsungan Persepon

Mengintip Keberlangsungan Persepon

Jawa Timur merupakan salah satu kiblat sepakbola di Indonesia. Bila Anda tidak percaya, mari kita tengok jumlah klub asal Jawa Timur yang bermain di kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia. Secara total, ada lima klub asal Jatim yang akan mentas di Liga 1 2020. Mereka adalah Arema FC, Madura United, Persebaya, Persela, dan Persik. Mantapnya lagi, semua memiliki basis suporter yang militan.

Mari kita kesampingkan dahulu klub-klub di atas dan menengok klub-klub lain asal Jatim yang belum merasakan atmosfer Liga 1. Jika dirunut ada nama-nama semisal Persatu, Persekap, Persema, Persepon, Persibo, Persinga, hingga salah satu pendiri PSSI, PSM (Madiun).

Walau punya tim jagoan di kancah sepakbola nasional untuk senantiasa didukung, pernahkah kita bertanya mengenai keberlangsungan tim-tim gurem tersebut? Eksiskah mereka atau justru tertatih buat sekadar mengikuti kompetisi?

Sebagai pemantik renungan mari membahas sepak bola di kota Reog, Ponorogo. Penulis yang lahir dan besar di Ponorogo merasakan sekali bagaimana atmosfer sepakbola di daerah yang persepakbolaannya tidak begitu dikenal, bahkan oleh warga kotanya sendiri.

Apabila Anda berkunjung ke Ponorogo, silahkan bertanya kepada warga lokal tentang kapan Persepon dilahirkan. Saya jamin dari sekian puluh orang yang berhasil ditemui, dominan menjawab tidak tahu.

Di Ponorogo, orang-orang lebih banyak mendukung Arema FC atau Persebaya, dua kesebelasan Jatim yang basis suporternya begitu luas hingga ke luar Surabaya serta Malang. Hal ini menyebabkan Persepon, sebagai anak kandung dari Ponorogo, mempunyai pendukung yang minim.

Dari segi nama saja, Persepon bak liliput yang diapit para raksasa. Bergeser ke sarana penunjang utama bagi tim sepakbola yakni stadion, Ponorogo pun tertinggal jauh. Stadion Batoro Katong yang merupakan home base dari Persepon kondisinya kurang terawat. Hanya ada beberapa tribun di dalam stadion.

BACA JUGA:  Lekaslah Bersuara, Persibara!

Saat hujan tiba, Anda bisa membayangkan sendiri bagaimana kondisi lapangannya yang penuh lumpur. Ketimbang lapangan sepakbola, mungkin lebih cocok disebut sebagai sawah. Bila dibandingkan dengan Stadion Universitas Darussalam Gontor, Stadion Batoro Katong langsung tiarap.

Ditambah dengan kondisi Persepon sendiri, aura sepakbola Ponorogo terasa suram sekali. Pada musim lalu, Persepon absen dari kompetisi Liga 3 2019 regional Jatim. Masalah klasik berupa kekurangan dana, jadi alasan mengapa mereka tak berpartisipasi.

Pada keikutsertaan di Liga 3 tahun 2018 saja Persepon butuh dana operasional sekitar 400 juta rupiah. Jumlah ini sungguh masif dan tak mudah dicari. Terlebih, Persepon tak menyandang status sebagai klub ternama sehingga sponsor pun enggan mendekat.

Dibanding mengucurkan dana untuk Persepon yang tidak terkenal dan hanya berkompetisi di divisi bawah, menyuntikkan dukungan bagi Arema FC, Madura United, Persebaya, Persela maupun Persik jelas lebih menjanjikan bagi sponsor.

Matahari yang mulai terbit

Seabrek permasalahan tersebut nyatanya tidak menenggelamkan Persepon, tapi semakin menguatkan diri mereka dalam menghadapi terjangan ombak samudra lepas (iklim sepakbola Indonesia). Setidaknya di dalam tubuh Persepon masih terdapat kaki-kaki raksasa bernama Warok Mania, julukan suporter Persepon.

Berbagai macam upaya telah dilakukan Warok Mania untuk membumikan nama Persepon di tanahnya sendiri. Mulai dari gerakan di media sosial hingga membuat mural-mural seperti di jalan Ponorogo-Sawoo-Trenggalek dan di Jalan Tangkuban Perahu. Usaha-usaha kecil seperti ini setidaknya dapat menunjukan kepada khalayak luas tentang jati diri persepakbolaan di Ponorogo.

Warok Mania yang terkadang saya sebut sebagai Warman (saya artikan sebagai perang melawan keburukan) adalah cahaya bagi tubuh Persepon. Warok mania harus mampu menunjukan kedewasaanya dibandingkan dengan suporter klub lain. Tidak perlu menggunakan chant berbau negatif, namun chant yang membangun harapan baru. Chant positif akan mampu membangun karakter diri dan pola pikir yang sehat bagi suporter maupun pemain.

BACA JUGA:  Laga Pembantaian di Liga 2

Banyaknya bibit-bibit lokal adalah mentari yang lain bagi Persepon. Anda tidak akan kesulitan mencari pemain sepakbola andal di setiap sekolah umum maupun Sekolah Sepak Bola (SSB) di Ponorogo.

Walau kebanyakan bibit mencorong ini cenderung berpindah haluan ketika sudah dewasa, tapi sekolah dan SSB di Ponorogo perlu menanamkan kecintaan terhadap klub. Jangan sampai bibit muda Ponorogo layu sebelum membela panji Persepon atau bahkan lambang Garuda di dada.

Pada akhirnya, semua hal di atas akan kembali ke Persepon. Sebagai tim sepakbola, bisakah mereka tumbuh dan berkembang ke arah yang profesional? Sanggupkah mereka menjamin kesejahteraan bagi pemain, pelatih dan ofisial yang diikat kontrak?

Andai hal-hal semacam itu, utamanya dari tata kelola tim, bisa dibereskan, prospek sepakbola Ponorogo bakal meningkat drastis. Mereka yang sebelumnya fokus kepada Arema FC atau Persebaya, pelan-pelan akan mencintai tim asal daerahnya sendiri.

Perjalanan untuk menjadi kesebelasan profesional memang butuh waktu yang panjang serta berat. Namun semuanya tak berarti mustahil, asal ada kemauan. Jangan sampai dukungan dari suporter, pegiat, dan perindu sepakbola Ponorogo seperti saya muspro. Persepon harus bangkit dan berevolusi.

Komentar