Ada alasan khusus kenapa sebagai seseorang yang menyukai AC Milan, saya tidak sebegitu benci kepada klub rival sekota; FC Internazionale Milano. Padahal beberapa saudara dan kawan yang Juventini selalu menghasut agar membenci klub yang sudah “dinasionalisasikan” Erick Tohir tersebut.
Alasan Juventini sih wajar saja; tidak sedikit yang masih dendam karena menganggap Inter telah mencuri gelar Juventus di musim 2006.
Lucunya, beberapa kawan Juventini ini, sampai sekarang, masih ada saja yang berusaha agar saya benci ke klub biru-hitam itu. Naudzubillah, sesama manusia itu. Boy, jangan ajari saya membenci. Ajari saya mencinta aja deh. Asal jangan Inter tapi ya? Sulit itu.
Oke, kembali ke persoalan. Membicarakan alasan kenapa saya menyukai AC Milan itu bakalan sulit. Sesulit alasan kenapa Sirajudin Hasbi tetap kukuh enggan mencalonkan diri jadi Ketum PSSI, meskipun beliau sudah pasti berpeluang gagal.
Selain sulit, saya juga ingin meminjam kata-kata Cak Mahfud Ikhwan, penulis novel dan pandit di blog Belakang Gawang yang ternyata juga seorang Milanisti. Cak Mahfud menyebutnya; “tidak bakal memuaskan!”
Ya. Tidak bakal memuaskan untuk kalian, alasan kami menyukai dan memilih AC Milan. Baiklah, meskipun sulit untuk dipuaskan, saya akan tetap mencoba melacaknya dimulai dari perkenalan saya dengan sepak bola. Agar kalian mengerti, nikmat Tuhan mana yang telah kalian sia-siakan.
Loreng biru dan Juan Sebastian Veron
Pada tahun 1998, ada istilah khusus yang sering disebut-sebut di beberapa media massa, istilah yang akan mengubah hidup saya. Istilah yang norak sebenarnya kalau diingat kembali, tapi—entah kenapa—waktu itu terasa begitu keren. Istilah itu; “demam sepak bola”.
Itulah tahun di mana “demam sepak bola” benar-benar terjadi. Beberapa stasiun televisi mendadak ada liputan khusus soal sepak bola, acara video musik anak-anak di Minggu pagi jelang siaran legendaris Doraemon juga ada pembahasan soal sepak bola meskipun cuma seupil, bahkan majalah Bobo sampai punya rubrik khusus untuk membahas sepak bola.
Ini jelas membuktikan satu hal, bahwa kehebohan Piala Dunia 1998 di Prancis sudah merambah juga ke bocah-bocah sekolah dasar. Tak terkecuali saya.
Akan jadi sebuah pemandangan yang lumrah selama bulan Mei-Juli 1998 jika di depan gerbang sekolah ada penjual mainan yang nyambi jualan poster-poster timnas sepak bola, kartu remi edisi Piala Dunia, sampai stiker (tempelan, bukan penyerang) bernuansa sepak bola.
Dari penjual mainan di depan sekolah itu pula, saya mendapatkan poster sepak bola pertama. Sebuah poster timnas Argentina dengan harga 400 rupiah. Poster yang bukan dari kertas art paper tipis seperti paket bonus tabloid olahraga yang kini sudah tiada, tapi poster berat dari kertas karton yang begitu tebal.
Menempelkan poster bola di kamar pada masa itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Hampir setiap hari saya selalu melihat-lihat poster tersebut sambil membaca nama pemain satu per satu. Carlos Roa, Ariel Ortega, Javier Zanetti, Diego Simeone, Gabriel Batistuta sampai pemain pertama yang benar-benar saya hapal di luar kepala; Juan Sebastian Veron!
Alasannya sederhana saja. Dia satu-satunya pemain Argentina yang berkepala plontos waktu itu, jadi mudah sekali untuk dihapal.
Gelaran Piala Dunia 1998 adalah piala dunia pertama saya. Di situlah kemudian timnas Argentina jadi idola karena alasan; cuma itu tim yang saya tahu pemainnya. Sebelum kemudian bertahun-tahun mendatang saya berpindah menyukai timnas Italia karena alasan yang hanya Tuhan dan saya yang tahu.
Jersey pertama
Piala Dunia 1998 ditutup dengan kekecewaan. Siapa lagi biang keroknya kalau bukan Belanda di perempat final oleh gol luar biasa dari Dennis Bergkamp. Dan untuk kali pertama, saya merasakan rasa kecewa karena tim idola kalah.
Selesai Piala Dunia, demam sepak bola ternyata tidak kunjung berakhir. Malah makin menggila. Saya bahkan jadi sering melihat acara Planet Football di RCTI setiap hari Sabtu pukul setengah satu.
Kebetulan di salah satu segmen profil, Planet Football pernah membahas George Weah; pemain legendaris Benua Afrika yang saat itu bermain untuk AC Milan. Dan karena di cuplikan profil itu juga diulas salah satu gol terbaik Weah, itu lho, gol yang menggiring bola dari gawang ke gawang, maka saya berkata pada diri saya sendiri; wah, pemain ini keren nih! Lalu mendadak saya jadi merasa harus menyukai klub yang diperkuatnya.
Dikarenakan televisi saya saat itu sudah begitu tua, sehingga kadang kala warna sering hilang dan mendadak jadi hitam-putih—mesti dipukul dulu agar warna kembali seperti semula—maka saya tidak tahu persis apa warna jersey AC Milan yang saat itu hanya terlihat kombinasi warna hitam dan sebuah warna cerah yang masih belum diketahui.
Mungkin karena di jaman itu internet belum familiar, kalaupun ada warnet harga rentalnya sangat mahal untuk ukuran bocah SD, apalagi hanya untuk sekadar mencari informasi apa warna kostum AC Milan.
Kepemilikan poster timnas Argentina beberapa bulan sebelumnya sebenarnya juga cukup memberi pengaruh langsung kenapa saya menyukai jersey motif garis-garis vertikal; dan itu jadi alasan khusus kenapa banyak klub bergaris vertikal yang saya sukai sampai sekarang.
Di akhir tahun 1998, saya sempat merengek-rengek kepada ibu saya agar dibelikan jersey bola. Dan ketika ditanya; ingin “kaos bola”—begitu sebut ibu saya—yang seperti apa maka saya menjawab mantab; pokoknya yang garis vertikal dan ada warna hitamnya.
Dan holaaa ibu saya membelikan jersey warna hitam dan biru! Yap, itu adalah jersey Atalanta, eh, bukan, jersey Inter maksud saya. What the hell!
Terus apakah saya membuangnya? Tentu saja tidak. Harga 20 ribu rupiah jelas harga yang cukup mahal untuk ukuran beli kaos di tahun 1998. Saya bisa digampar kalau membuang kaos baru pemberian ibu saya. Lagipula waktu itu saya tidak tahu pasti kalau jersey yang saya kenakan adalah tim rival sekota klub yang sebenarnya saya inginkan.
Kesalahan itu kembali terjadi pada tahun 2001/2002, saat Christian Vieri begitu menggila di Inter karena Ronaldo Luiz Da Lima lebih sering berkutat dengan cedera. Entah dapat wangsit dari mana, kakak saya membelikan jersey Inter (lagi!) kepada saya dengan nomor 32 atas nama Vieri. Apakah saya harus membuangnya juga? Oh, jelas tidak. Bisa digampar lagi saya karena membuang kaos pemberian.
Di saat itulah saya sebenarnya bingung. Apakah hendak mengikuti alur ini dengan jadi Interisti karena kadung punya dua koleksi. Selain Inter, jersey yang saya punyai saat itu adalah jersey Ajax Amsterdam yang masih bersponsor ABN-AMRO dengan tulisan vertikal. Saya membelinya karena menurut saya itu jersey paling keren pada zamannya.
Cukup lama saya sampai punya jersey AC Milan, bahkan saya harus menabung sendiri untuk bisa membelinya. Sebab saya tidak enak hati kepada kakak saya yang pernah memberikan kaos Inter kok tiba-tiba adiknya beli jersey tim rival.
Alhasil, atas usaha berminggu-minggu kemudian saya berhasil membeli jersey AC Milan pertama saya pada musim 2002/2003 atas nama Rui Costa dengan harga 40 ribu rupiah. Dan beruntungnya, pada musim itu, AC Milan berhasil menjuarai Liga Champions setelah mengalahkan dua klub rivalnya; Inter di semifinal dan Juventus di final. Dua klub yang juga sempat saya suka karena motif jersey mereka.
–000—
Sudah saya tulis di awal, ada alasan khusus kenapa saya tidak bisa membenci Inter, sebab dalam sejarah kehidupan saya mencintai AC Milan, ada kisah Inter dalam kehidupan saya—sekalipun sifatnya sedikit kecelakaan. Maka dari itu, sebagai mantan, saya selalu ingin jadi mantan yang baik. Caranya? Ya, dengan selalu terus jadi mantannya dan pantang untuk balikan.