Sebuah pertandingan sepak bola yang indah tak hanya ditentukan oleh sikap para pemain masing-masing tim yang sedang bertanding. Namun, peran seorang wasit yang adil saat memimpin pertandingan juga akan memengaruhi jalannya laga.
Satu peringatan, satu kartu kuning, atau satu kartu merah yang diberikan oleh seorang wasit kepada satu pemain setelah peluit dibunyikan bisa menjadi batu sandungan sebuah tim. Bunyi peluit itu bisa berubah menjadi penanda mimpi buruk yang berpeluang untuk membalikkan keadaan.
Pada saat yang sama, bunyi peluit bisa menjadi kartu As bagi tim lawan.
Bagi seorang wasit, tak mudah memberikan keputusan-keputusan itu di bawah tekanan ketika pertandingan sedang berlangsung. Provokasi yang datang dari para pemain, pelatih, bahkan ribuan pendukung kedua tim bisa sangat mungkin membuat seorang wasit tak berkutik.
Semua itu berpotensi membuat wasit ragu-ragu dalam menilai sebuah pelanggaran, juga tak bisa memberikan keputusan yang jernih. Paling sial, tekanan-tekanan itu bisa berubah menjadi ancaman serius di luar lapangan.
Tentu kita masih ingat bagaimana wasit Andres Frisk memilih pensiun lebih dini pada 2005 setelah mendapatkan ancaman pembunuhan. Kasus itu terjadi gara-gara ia memberikan kartu merah kepada Didier Drogba. Wasit asal Swedia itu diancam oleh fans Chelsea seusai melangsungkan pertandingan melawan Barcelona di Stadion Camp Nou.
Wasit Martin Hannson juga pernah mengalami kasus yang sama. Ia pernah mendapatkan ancaman pembunuhan seusai memimpin pertandingan di salah satu babak Liga Champions tahun 2008.
Ia menganggap telah terjadi pelanggaran kepada Steven Gerrard ketika akan menyundul bola di area penalti Atletico Madrid. Namun, tayangan ulang menunjukkan bahwa sang kapten sama sekali tidak terlihat dilanggar oleh siapa pun. Keputusannya itu menyebabkan Liverpool mendapatkan satu hadiah penalti saat menjamu Atletico Madrid.
Para pengadil lapangan hijau ini menjadi mudah dikenal publik karena beberapa alasan. Selain sikap kontroversialnya, mereka menjadi mudah diingat karena sering memimpin sebuah pertandingan besar yang dramatis, konsisten mendapatkan gelar wasit terbaik, juga berbagai skandal di luar lapangan.
Beberapa alasan itu pula yang bisa kita lihat dari sosok wasit kelas dunia, Pierluigi Collina.
Perjalanan menjadi wasit profesional
Collina adalah salah satu wasit yang mudah diingat sosoknya di antara nama-nama lain di zamannya. Sebut saja Markus Merk, Roberto Rosetti, Anders Frisk, Graham Poll, Urs Meier, atau Howard Webb. Bahkan kita lebih mengenal Collina ketimbang wasit-wasit profesional yang kita kenal belakangan seperti Mark Clattenburg, Cuneyt Cakir, hingga Martin Atkinson.
Wasit berkepala plontos—akibat divonis alopecia (kebotakan)–dan memiliki sorot mata yang tajam itu dikenal sebagai sosok yang ikonik sekaligus role model wasit ideal dalam sebuah pertandingan sepak bola.
Berkat keterampilannya menjadi pengadil pertandingan, ia beberapa kali menerima penghargaan wasit terbaik dunia versi FIFA, IFFHS’ World’s Best Referee of the Year, selama enam kali berturut-turut dari tahun 1998 hingga 2003.
Pria kelahiran Bologna ini mengawali kariernya sebagai bek tengah di klub lokal. Hingga kemudian pada tahun 1977, ia memilih untuk mengambil kursus wasit. Di sana, kariernya moncer dan mulai banyak mendapatkan pengalaman memimpin pertandingan.
Baru pada 1988, ia dipromosikan menjadi salah satu wasit di liga Serie C2/Serie C1. Jam terbangnya sebagai wasit profesional sudah tak terhitung lagi ketika ia diberi tanggung jawab menjadi bagian dari komite wasit Serie A pada kurun waktu 1991-2005.
Puncak karier Collina terjadi saat ia diberi tanggung jawab memimpin pertandingan di Piala Dunia 2002 yang berlangsung di Stadion Internasional Yokohama, Jepang.
Pertandingan final Liga Champions tahun 1998/1999 yang mempertemukan Manchester United (MU) melawan Bayern Munchen barangkali adalah salah satu momen yang tak terlupakan bagi Collina.
Gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer membuat Stadion Camp Nou bergetar. MU menang dramatis atas Bayern pada tiga menit terakhir sebelum pertandingan diakhiri dengan skor 2-1.
Pemain-pemain Bayern Munchen tampak lesu. Kesebelasan yang kala itu dipimpin oleh kapten Lothar Matthaus itu harus melupakan impiannya untuk mengangkat trofi bergengsi Liga Champions.
Pada saat yang sama, Collina berusaha membangkitkan semangat para pemain Bayern Munchen setelah kebobolan untuk kedua kalinya. Satu potret yang menyiratkan bahwa menjadi seorang wasit tak membuat seseorang menjadi angkuh, tetapi pada saat-saat tertentu ia juga perlu memberikan sentuhan yang manusiawi kepada para pemain yang telah bermain sekuat tenaga.
Collina memutuskan pensiun menjadi wasit profesional pada tahun 2005 karena faktor usia yang sudah tidak memenuhi syarat. Pertandingan internasional terakhirnya terjadi saat ia memimpin partai kualifikasi Piala Dunia 2006 saat Portugal menjamu Slovakia di Stadion Da Luz, Lisbon.
Meski sudah tak lagi bekerja di lapangan, Collina masih sering dilibatkan dalam kerja-kerja sepak bola. Termasuk sebagai konsultan asosiasi wasit Italia, sebagai kepala federasi sepak bola Ukraina sejak 2010, dan sebagai anggota komite wasit UEFA.
Di tengah kesibukannya sebagai wasit, Collina juga berprofesi sebagai konsultan keuangan. Keahliannya itu ia dapatkan setelah lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Bologna tahun 1984. Selepas gantung peluit, ia lebih memilih untuk kembali menekuni pekerjaan utamanya.
Pengalaman buruk Collina datang pada tahun 2007, justru saat ia menjadi bagian dari komite wasit Italia.
Collina memperoleh sejumlah surat berisi ancaman yang diduga berhubungan dengan skandal pengaturan skor calciopoli yang ketika itu sedang hangat di Italia yang juga melibatkan klub-klub seperti Juventus, Lazio, Reggina, Fiorentina, dan AC Milan.
Pierluigi Collina, yang ditugaskan untuk memilih wasit di setiap pertandingan dikirimi peluru oleh orang tak dikenal.
Bukan soal otoritas
Meskipun banyak pihak yang setuju bahwa wasit berhak untuk memutuskan jalannya pertandingan, tetapi tidak bagi Collina.
Bagi Collina, menjadi wasit bukan soal otoritas, tetapi lebih kepada kehormatan. Pemain harus dapat menerima semua keputusan wasit. Di sisi yang lain, wasit juga harus menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa harus memihak salah satu kubu.
“Seseorang dipilih menjadi wasit bukan karena Anda adalah wasit, tetapi karena orang lain percaya kepada Anda. Artinya Anda dapat memberikan tugas terbaik sebagai seorang pemimpin pertandingan, yang harus diterima sekalipun Anda membuat kesalahan.”
Tak sulit mengukuhkan Collina sebagai salah satu wasit hebat yang akan selalu diingat dalam sejarah sepak bola dalam tiga dekade terakhir. Ia bukan hanya sekadar pemimpin pertandingan, tetapi juga sosok yang selalu belajar membuat keputusan di bawah tekanan yang muncul di atas lapangan hijau sejak usia 17 tahun.
“Salah satu masalah utama pada setiap aktivitas manusia adalah pengambilan keputusan. Mengambil keputusan adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan,” tegas Collina.
“Membuat keputusan di bawah tekanan adalah sesuatu yang harus Anda pelajari. Misalnya, jika Anda ingin menjadi seorang manajer hebat di perusahaan besar. Tak ada cara yang lebih baik ketimbang menjadi wasit untuk belajar hal-hal seperti itu,” tambah wasit yang disegani bahkan ditakuti tersebut.
Wujud nyata “a man of the rules” ada di dalam diri Collina. Ungkapan yang ia berikan untuk mendeskripsikan dirinya sendiri.
Di luar lapangan, orang lain sering menggambarkan Collina sebagai pribadi yang berpengetahuan luas, menarik, dan ramah. Pengalaman-pengalamannya menjadi wasit pernah ia tulis dalam buku otobiografinya berjudul My Rules of the Game (Le Mie Regole del Gioco), terbit tahun 2003.
Baginya, tujuan seorang wasit adalah membantu para pemain untuk bermain lebih baik. Jika seorang pemain sudah mematuhi aturan, maka ia telah bermain dengan baik.