Meraba 2017: Menerka Nasib Leicester City

Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, dongeng merupakan bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian luar biasa yang penuh khalayan (fiksi) serta dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak benar-benar terjadi. Meski begitu, dalam kehidupan nyata manusia, kisah-kisah bak dongeng kerap terjadi.

Wabil khusus di bidang sepak bola, Liga Primer Inggris 2015/2016 yang lalu pasti akan selalu dikenang sebagai salah satu musim paling ajaib laiknya kisah dongeng.

Siapa sangka, klub liliput bernama Leicester City justru sanggup mempecundangi tim-tim tradisional macam Arsenal, Chelsea, Liverpool, dan duo Manchester, City dan United, untuk menjadi kampiun di liga paling populer sejagat ini.

Performa yang ditunjukkan anak asuh Claudio Ranieri di musim itu memang luar biasa. Dari 38 pertandingan, Wes Morgan dkk., berhasil mencatat rekor menang-seri-kalah (M-S-K) sangat apik, 23-12-3. Torehan itu membuat kubu The Foxes finis dengan keunggulan sepuluh poin dari Arsenal yang mengekor di peringkat dua klasemen akhir.

Beberapa penggawa yang menjadi pilar kesuksesan Leicester City merebut gelar juara Liga Primer untuk kali pertama sepanjang sejarah pun ikut terkatrol.

Sebut saja Robert Huth, N’Golo Kante, Riyad Mahrez, Kasper Schmeichel, dan Jamie Vardy. Sinar mereka bahkan jauh lebih terang dari megabintang sekelas Sergio Aguero, Eden Hazard, maupun Wayne Rooney.

Sialnya, bak kisah dongeng yang tak pernah terjadi dua kali, The Foxes pun mengalami hal serupa. Kisah gilang-gemilang musim lalu nyatanya tak bisa direplikasi di musim 2016/2017. Roda nasib seolah membawa Leicester City kembali ke identitas asli mereka sebagai tim gurem.

Secara statistik, torehan The Foxes musim ini memang sangat jauh dibanding penampilan ciamik mereka musim kemarin. Hingga pekan ke-18 Liga Primer Inggris musim lalu, Leicester City berhasil mencatat rekor M-S-K fantastis, 11-5-2. Mereka pun berhak duduk di puncak klasemen.

Sementara musim ini, dengan jumlah partai yang sama, catatan M-S-K Leicester City tampak begitu mengenaskan, yakni 4-5-9. Jumlah kekalahan yang mereka derita musim ini  bahkan sudah tiga kali lipat jumlah kekalahan yang mereka dapatkan sepanjang musim lalu.

Setali tiga uang, jumlah kebobolan musim ini (sampai pekan ke-18), sudah 31 gol, hampir menyamai total kemasukan musim 2015/2016 kemarin, 36 gol. Maka tak perlu heran jika The Foxes kini terseok-seok di peringkat ke-16 klasemen sementara dengan koleksi 17 angka dan hanya berjarak tiga poin saja dari zona degradasi.

BACA JUGA:  Sepak Bola Perempuan Butuh Keluarga Polgar

Sejumlah alasan pun disusun menjadi penyebab terpuruknya sang juara bertahan di musim ini.

Alasan pertama adalah kepergian Kante, gelandang bertahan andalan Ranieri, ke Chelsea. Peran gelandang berpostur mini ini di sektor tengah Leicester City musim lalu begitu krusial. Kontribusinya memang tak bisa diukur dengan gol atau asis seperti yang dibuat Mahrez atau Marc Albrighton.

Namun, kecakapannya dalam membendung serangan lawan membuat siapa pun mesti mengacungkan jempol untuknya. Hal ini juga yang membuat tugas Huth dan Morgan dalam menggalang lini belakang The Foxes terasa lebih enteng. Chelsea sendiri kudu merogoh kocek sebesar 32 juta poundsterling guna merekrutnya ke Stamford Bridge.

Sebagai antisipasi kepergian Kante, pihak klub pun rela mengirim cek sebesar 13 juta poundsterling untuk klub asal Prancis, OGC Nice, demi mendapatkan gelandang bertahan mereka, Nampalys Mendy.

Sayangnya, sampai sejauh ini, gelandang belia yang disebut-sebut sebagai carbon copy-nya Claude Makelele ini belum mampu menggantikan seniornya itu.

Problem nomor dua yang digadang-gadang jadi penyebab menukiknya performa klub yang punya koleksi tiga gelar Piala Liga Inggris ini adalah pola andalan Ranieri yang semakin mudah diantisipasi lawan.

Musim ini, Ranieri tetap mengandalkan pressing dan compactness. Tak lupa juga bahwa The Foxes juga masih memainkan serangan balik guna menikam lawannya, yang sesekali dilancarkan via bola-bola panjang.

Meski tentunya sang allenatore menyelipkan banyak penyesuaian tergantung lawan yang dihadapi. Salah satu variasi permainan yang agak berbeda ditunjukkan The Foxes musim ini adalah ketika berusaha memainkan umpan-umpan silang ke kotak penalti, hal yang jarang kita saksikan musim lalu.

Keberadaan Islam Slimani, penyerang anyar yang dicomot dari Sporting Lisbon, menjadi dasar gaya ini diterapkan.

Pola yang dimainkan The Foxes ini sendiri masih cukup efektif bila diterapkan di Eropa, terbukti dengan suksesnya mereka melaju hingga ke babak 16 besar Liga Champions sebagai juara Grup G. Namun, para pelatih di Inggris, utamanya yang membesut tim papan atas, tampaknya tak ingin dikibuli lagi oleh The Tinkerman.

Masalah ini juga yang membuat kita tak lagi bisa menyaksikan Mahrez atau Vardy mengobok-obok lini pertahanan lawan, mencetak gol hanya lewat sedikit sentuhan, dan melakukan selebrasi sesering mungkin.

Alasan ketiga yang muncul adalah rasa puas yang terlanjur mekar. Hal ini memang wajar, mengingat pemain-pemain yang membela The Foxes bukan bintang mahal yang saban musim dituntut untuk terus meraih trofi. Pencapaian musim lalu memengaruhi psikologi mereka.

BACA JUGA:  Nafsu Tottenham Menghapus Predikat Ayam

Ranieri sendiri mengakui jika persoalan yang satu ini memang mengganggu performa tim asuhannya di musim 2016/2017. Dirinya sudah mewanti-wanti agar semangat yang dimiliki anak asuhnya tidak kendor.

“Saya ingin mereka bermain sungguh-sungguh. Bermain untuk tim, bertarung sekuat tenaga dan kompetitif. Itu yang saya inginkan, tak ada yang lain lagi. Tapi, jika kehilangan karakter seperti itu, bagaimana Anda bisa menang? Saya rasa, pemain terbaik dan terhebat takkan mampu memenangkan apa-apa tanpa berjuang”, terang Ranieri seperti dikutip dari sportsmole.co.uk.

Situasi buruk yang tengah melanda tim yang berkandang di Stadion King Power ini mewajibkan Ranieri untuk mencari solusi secepat mungkin.

Leicester City tentu tak ingin menciptakan rekor sebagai jawara bertahan Liga Primer Inggris pertama yang terperosok ke jurang degradasi dalam upayanya mempertahankan gelar, bukan? Pastinya, hal tersebut akan menodai kisah heroik yang mereka lakukan musim kemarin, meskipun sedikit.

Sialnya, saat seperti ini, Ranieri justru dihadapkan pada beberapa problem yang bisa mempersulit usahanya membangkitkan Si Rubah.

Selain tengah menghadapi jadwal gila di Liga Primer Inggris sepanjang festive period, sang pelatih gaek juga harus bersiap melepas beberapa pemain andalannya, khususnya dari benua hitam, yang bakal dipanggil negaranya guna terjun di Piala Afrika 2017.

Daniel Amartey dan Jeffrey Schlupp bisa saja masuk ke skuat tim nasional Ghana asuhan Avram Grant. Begitu pula dengan timnas Aljazair yang dapat dipastikan akan memanggil Mahrez dan Slimani guna membela negaranya. Keduanya merupakan pilar andalan negara yang ada di semenanjung utara Afrika tersebut.

Ranieri sendiri telah mengungkapkan bila dirinya mungkin akan meminta pihak klub untuk aktif di bursa transfer musim dingin. Cara ini memang harus ditempuh The Foxes agar bisa segera bangkit, kembali bersaing dan menjauh dari zona relegasi.

Akan tetapi, patut diingat jika pembelian-pembelian panik yang kerap dilakukan banyak klub pada periode musim dingin justru nirhasil dan percuma. Apalagi dalam dua bulan ke depan, dengan asumsi keempat pemain asal Afrika yang saya sebutkan di atas masih membela negaranya, The Foxes bakal mati-matian tak hanya di Liga Primer Inggris tapi juga fase gugur Liga Champions yang siap digelar lagi.

Jadi, akan ke mana roda nasib membawa Leicester City musim ini?

 

Komentar