Nasib Solskjaer dan Harapan Menjadi Pelatih ‘Supersub’ Manchester United

Yang Menyublim di Kota Manchester
Yang Menyublim di Kota Manchester

Kota Manchester bersisi dua. Ibarat Dewa Janus dalam folklor Romawi kuno, kedua sisi itu mengumbar wajah berbeda. Satu sisi mengumbar masa lalu dan sisi lainnya menampakkan masa kini.

Sisi yang satu memperlihatkan kebangkitan sedangkan sisi lainnya mempertontonkan kejatuhan. Kedua sisi kerap bertemu tengkar, di atas lapangan, di gelanggang sepak bola. Kadang pula bertukar wajah, tergantung masa yang bergantung pada takdir.

Di era Sir Alex Ferguson, sisi merah menang segalanya dan sisi biru langit tenggelam dalam kesemenjanaan. Peter Reid, Brian Horton, Frank Clark, Joe Royle, Kevin Keegan, Sven-Goran Eriksson hingga Mark Hughes senantiasa hidup di bawah hegemoni Opa Fergie.

Akan tetapi, sekarang hal sebaliknya yang terjadi. Uang tak kenal habis dari Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan membangkitkan senyum berlumur piala kubu biru langit. Sementara keluarga Glazer sedang bermuram durja di tengah ancaman kejatuhan dan bayang-bayang masa silam.

Sepuluh tahun terakhir, Manchester City adalah klub terbaik di Liga Primer Inggris. Lemari trofi di Stadion Etihad yang mulanya lowong, kini makin sesak berkat capaian-capaian fantastis The Citizens.

Total, ada sepuluh trofi domestik yang berhasil dikumpulkan. Musim kemarin, gelar Liga Primer Inggris diraih untuk keenam kali sepanjang sejarah klub plus menggondol status treble winner domestik berkat tambahan gelar Piala FA dan Piala Liga.

Bagaimana dengan Manchester United? Hanya empat piala domestik dan satu trofi Liga Europa yang didapat dalam rentang waktu serupa. The Red Devils bahkan harus puas berada di bawah Chelsea perihal urusan mengumpulkan silverwares.

Meminjam judul buku kumpulan esai gubahan Fawaz Al Batawy, sisi merah tengah menyublim di kota Manchester. Sejarah cemerlang di masa lalu telah berubah jadi uap, terbang ke angkasa meninggalkan ingatan dan setumpuk beban.

BACA JUGA:  Blessing in Disguise: Berkah dari Bencana Luke Shaw

United adalah sejarah emas Liga Primer Inggris dan Sir Alex Ferguson merupakan pengukir sejarah tiada tanding. Siapapun yang berdiri di hadapan bangku cadangan Stadion Old Trafford harus punya keberanian menanggung beban sejarah.

Musim ini, Ole Gunnar Solskjaer masih bertahan sebagai pelatih. Gagal menembus Liga Champions musim 2019/2020 akibat finis di posisi enam klasemen musim lalu tak membuat dirinya didepak.

Harapan justru diletakkan di pundak sang bekas pemain yang dilabeli julukan supersub karena sering mencetak gol-gol krusial sebagai pemain pengganti.

Kebuntuan David Moyes, kegagapan Louis van Gaal, dan ego menjulang Jose Mourinho bikin United dilanda masa sulit. Solskjaer datang sebagai pengganti dan penggemar berharap kehebatan supersub masih melekat padanya meski posisinya kini telah berubah. Sayangnya, pria Norwegia itu belum sanggup memberi jawaban paripurna.

Paruh kedua musim lalu adalah masa percobaan. Namun musim ini, semuanya tampak jadi sebuah cobaan. Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez pergi ke Internazionale Milano. Ander Herrera menyeberang ke Paris Saint-Germain (PSG) dan Chris Smalling menemukan jalan ke AS Roma. Pahit bagi The Red Devils, mereka tampak gemilang bersama klub barunya.

Pembelian Daniel James, Harry Maguire, dan Aaron Wan-Bissaka yang cukup menguras isi kantong belum cukup menyenangkan hati seisi Stadion Old Trafford serta mengurangi beban di pundak sang pelatih.

Ketiga pemain anyar The Red Devils itu memang kerap tampil baik, tapi sepak bola adalah permainan tim. Rupanya, United masih kesulitan bertransformasi sebagai satu kesatuan. Belum lagi rentetan cedera yang mendera Paul Pogba dan kolega. Hasilnya, mereka masih kepayahan di papan tengah klasemen sementara. Situasi yang jarang terjadi pada era Opa Fergie.

BACA JUGA:  Hans Christian Andersen di Old Trafford

Tak heran jika tanda pagar #OleOut seringkali menghiasi linimasa. Sebuah petunjuk bahwa fans United merasa tak puas dengan penampilan tim kesayangannya.

Kemenangan empat kosong di pekan perdana atas Chelsea ternyata cuma pemanis sementara. Hasil apik lain dari Crystal Palace dan Norwich City seakan tidak berarti karena di laga lainnya, mereka seri empat kali dan dikalahkan lawan dalam tiga kesempatan. Mujur, United tampil cukup baik di Liga Europa dengan tak pernah kalah (dua kali menang dan sekali imbang) dari tiga partai.

Performa Anthony Martial dan kawan-kawan musim ini, begitu pula musim sebelum-sebelumnya selepas era Ferguson merupakan cerminan dari beratnya beban sejarah yang ditanggung klub pemilik tiga titel Liga Champions itu.

Mau tidak mau, Solskjaer harus membuktikan bahwa dirinya masih layak disebut supersub. Sebagai pengganti, uap sejarah gemilang mesti dikristalkan kembali menjadi semangat di atas lapangan. Memburu kemenangan meski menyisakan satu menit akhir seperti semangat ala Fergie Time di masa silam.

Bukankah setiap zaman memiliki zeitgeits-nya sendiri? Tugas Solkjaer adalah membangkitkan, menularkan, dan membuktikan semangat zaman tersebut. Demi bisa memalingkan wajah Dewa Janus kembali ke sisi merah. Demi mengangkangi sang tetangga berisik, City, dan tentu saja sang rival abadi, Liverpool.

 

 

Komentar
Andi Ilham Badawi, penikmat sepak bola dari pinggiran. Sering berkicau di akun twitter @bedeweib