New York Cosmos dan Mimpi Amerika

Amerika Serikat memang akan selalu menciptakan standar mereka sendiri. Mereka menyebut bermain bola dengan tangan itu football. Mereka juga menyebut juara Major League Baseball dengan sebutan World Champions. Seakan-akan, apa yang terjadi di Amerika Serikat adalah puncak dari semua yang terjadi di dunia. Segala sesuatu yang mereka lakukan mereka anggap sebagai yang terbaik di dunia.

Tetapi itu semua tidak berlaku di sepak bola, atau soccer kata mereka. Amerika Serikat bukanlah kekuatan utama sepak bola dunia, meskipun sebetulnya permainan sepak bola mereka tidak buruk-buruk amat. Tim sepak bola pria mereka sudah tampil sebanyak sembilan kali di Piala Dunia. Di Piala Emas (Gold Cup), kejuaraan sepak bola konfederasi CONCACAF, mereka berhasl menjadi kampiun sebanyak empat kali. Terakhir, di tahun 2009, mereka berhasil menjadi runner-up Piala Konfederasi.

Catatan tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat bukannya sama sekali tidak bisa bermain sepak bola. Tim sepak bola wanita mereka bahkan merupakan salah satu yang terbaik di dunia dengan catatan dua kali juara dunia, empat medali emas Olimpiade, dan enam kali juara Piala Emas. Amerika Serikat memiliki potensi untuk menjadi salah satu kekuatan besar sepak bola. Apalagi, liga sepak bola mereka, Major League Soccer (MLS), mulai menjadi bahan pembicaraan hangat belakangan ini.

MLS sebetulnya merupakan nama baru. Liga sepak bola ini baru diresmikan pada tahun 1996 setelah sejak 1984, Amerika Serikat tidak memiliki kompetisi sepak bola. Antara 1984-1996, Amerika Serikat hanya memiliki kompetisi sepak bola indoor, Major Indoor League Soccer (MISL). Sementara itu, North American Soccer League (NASL) yang sudah berjalan sejak 1968 harus dihentikan penyelenggaraannya akibat kesalahan manajemen. Meski hanya berlangsung singkat, NASL memiliki cerita yang tidak akan pernah dilupakan dunia.

Cerita hebat milik NASL tersebut adalah New York Cosmos. Meski singkat, masa kejayaan New York Cosmos di NASL adalah salah satu masa-masa terindah sepak bola. Skuat yang mereka miliki juga bisa dikatakan sebagai salah satu skuat termewah yang pernah ada di muka bumi. Sebut saja nama Pele, Giorgio Chinaglia, Franz Beckenbauer, Carlos Alberto, sampai Johan Neeskens, semuanya pernah bermain di bawah panji klub East Rutherford ini.

Semua berawal dari Piala Dunia 1966 ketika Amerika Serikat untuk pertama kalinya menerima siaran langsung pertandingan Piala Dunia. Pada era ini, sama sekali tidak ada kegiatan sepak bola di Amerika Serikat. Menilik antusiasme penonton Amerika Serikat terhadap tayangan Piala Dunia, mereka yang menginginkan adanya sepak bola di Amerika Serikat kemudian melobi para investor dan meyakinkan bahwa sepak bola akan berhasil di Amerika Serikat. Akhirnya, pada 1968, bergulirlah NASL untuk pertama kalinya dengan diikuti lima klub peserta: Atlanta Chiefs, Kansas City Spurs, Dallas Tornado, St. Louis Stars, dan Baltimore Bays.

Peran Krusial Industrialis Hiburan

Pada 1967, Atlantic Records diakuisisi oleh Warner Communications. Hal ini berarti Ertegun Bersaudara, Ahmet dan Nesuhi, pendiri dan co-CEO Atlantic Records kemudian bekerja di bawah Steve Ross, CEO Warner Communications. Ahmet dan Nesuhi Ertegun ingin agar kota mereka, New York, memiliki sebuah klub sepak bola yang bisa dibanggakan. Berdasarkan wawancara dengan Ahmet Ertegun, ia bercerita bahwa Nesuhi bahkan sempat ‘mengancam’ Ross jika ia akan keluar dari Warner kalau Steve Ross tidak ‘memberinya’ sebuah klub sepak bola.

Steve Ross pun mengiyakan permintaan Nesuhi Ertegun dan menjanjikan bahwa ia akan melakukan apapun agar Ertegun Bersaudara tetap berada di dalam Warner Communications. Butuh waktu hingga Piala Dunia 1970 di Meksiko berakhir sampai Steve Ross betul-betul memenuhi janjinya. Pada 1971, Warner Communications akhirnya mendirikan New York Cosmos. Manajer Umum pertama Cosmos, Clive Toye, mengatakan bahwa nama ‘Cosmos’ dipilih karena kata ‘Cosmopolitan’ dianggap lebih besar daripada ‘Metropolitan’ yang dipilih menjadi nama klub bisbol kota New York, New York Mets.

Pemain pertama yang dikontrak oleh manajemen New York Cosmos adalah seorang pria Inggris bernama Gordon Bradley. Saat itu, usia Bradley sudah menginjak 37 tahun dan iapun diposisikan sebagai seorang player-manager. Sebelum dipinang New York Cosmos, Gordon Bradley sudah memiliki banyak pengalaman serta mengenal sepak bola Amerika Serikat dengan baik. Klub terakhir Bradley sebelum New York Cosmos adalah Baltimore Bays.

Kedatangan Gordon Bradley menjadi tonggak penting sejarah New York Cosmos karena mulai dari sinilah kemudian para pemain lain kemudian berdatangan. Awalnya, tim New York Cosmos bisa dikatakan sebagai sebuah tim semi-profesional karena para pemain mereka hampir semuanya juga memiliki pekerjaan lain untuk menyambung hidup. Shep Messing, penjaga gawang legendaris Cosmos adalah seorang guru SMA, sementara kapten mereka, Werner Roth adalah seorang arsitek.

Shep Messing menceritakan dalam film dokumenter ‘Once In A Lifetime: The Extraordinary Story of New York Cosmos’ bagaimana kondisi New York Cosmos pada masa awal berdirinya. Messing menuturkan bahwa para penonton yang datang menonton Cosmos hanya beberapa gelintir orang saja. Para penonton tersebut bahkan tidak mengetahui siapa yang bermain untuk Cosmos. Mereka hanya datang karena mereka menyukai sepak bola dan para pemain Cosmos yang bermain pun hanya bermain karena mereka mencintai sepak bola.

Awalnya memang sangat sulit bagi Cosmos untuk mendapatkan perhatian pers. Tidak ada media olahraga yang memberi porsi besar untuk aktivitas Cosmos kala itu. Satu hal yang unik adalah, majalah pertama yang memberi porsi pemberitaan besar untuk Cosmos bahkan bukan majalah olahraga. Adalah majalah VIVA, sebuah majalah gaya hidup yang menjadikan Shep Messing sebagai headline. Di majalah tersebut, Shep Messing difoto bugil dan diwawancarai mengenai apa yang ia lakukan di Cosmos.

Pada musim 1974, setelah tiga tahun bermain di Yankee Stadium dan Hofstra Stadium, Steve Ross membawa Cosmos lebih ke tengah kota untuk mendapatkan massa yang lebih banyak. Satu-satunya tempat yang tersedia ketika itu adalah Downing Stadium yang terletak di bawah jembatan Randall’s Island. Jembatan ini sendiri menghubungkan distrik Manhattan dengan distrik Bronx di New York. Meskipun merupakan stadion bersejarah, pada era 1970-an, stadion ini mangkrak dan tidak terurus, sehingga oleh orang-orang New York, stadion ini disebut sebagai Vandals Island Stadium.

Akhirnya, meski penuh keterbatasan, Downing Stadium tetap digunakan sebagai kandang baru Cosmos. Namun ternyata, meskipun sudah terletak di tengah kota, tetap saja sulit bagi Cosmos untuk mendapatkan perhatian dari warga New York. Akhirnya, Raphael De La Sierra, Wakil Presiden New York Cosmos menyatakan bahwa yang diperlukan oleh Cosmos adalah nama besar. Dengan keberadaan satu nama besar, secara otomatis perhatian akan mereka raih.

Mendengar usulan De La Sierra, Steve Ross kemudian bertanya kepada Nesuhi Ertegun, “Siapakah pemain terhebat saat ini?”

Tanpa pikir panjang, Nesuhi Ertegun menjawab, “Pele.”

Di saat yang bersamaan, pada bulan Oktober 1974, Pele menyatakan pensiun dari Santos, klub yang ia bela sepanjang kariernya. Begitu Steve Ross melihat sendiri bagaimana Pele dielu-elukan, otak bisnisnya langsung bekerja. Ross, seperti yang diceritakan Ahmet Ertegun, tidak hanya melihat Pele sebagai seorang pesepakbola hebat. Ross juga melihat sebuah merek global dalam diri Pele. Ia langsung membayangkan kaos Pele, bola Pele, sepatu Pele, bahkan parfum Pele.

Pele dan Intervensi Gedung Putih

Akan tetapi, tidak mudah bagi New York Cosmos untuk mendatangkan Pele ke New York. Selain karena mereka adalah tim yang baru terbentuk dan tidak memiliki sejarah atau prestasi mengilat, mereka juga harus berhadapan dengan dua klub besar Eropa dengan sejarah berkilauan, Real Madrid dan Juventus. Untuk itu, Norman Samnick, pengacara Warner Communications, yang biasa berurusan dengan artis-artis papan atas macam Dustin Hoffman, diterbangkan ke Brasil oleh Steve Ross untuk menemui Pele.

BACA JUGA:  Kepiluan Ronaldo di Olimpico

Negosiasi berjalan alot. Pertama, karena Pele meminta bayaran super besar. Kedua, karena pemerintah dan rakyat Brasil menganggap Pele adalah aset nasional berharga yang tidak boleh pergi dari Brasil. New York Cosmos awalnya memberi tawaran sebesar 2 juta dolar untuk dua tahun, tetapi Pele meminta 5 juta dolar untuk durasi yang sama. Negosiasi personal akhirnya berhenti di angka 4,5 juta dolar per dua tahun untuk Pele. Kemudian, setelah masalah pertama selesai, datanglah masalah kedua dari pemerintah Brasil. Untuk menyelesaikan urusan dengan pemerintah Brasil ini, sebuah aktivitas diplomatik tingkat tinggi harus dilakukan oleh Amerika Serikat dn Brasil.

Ceritanya, ketika pemerintah Brasil menolak kepergian Pele, Rockefeller langsung menghubungi Presiden Richard Nixon agar Nixon bergerak menghubungi pemerintah Brasil. Akan tetapi, Presiden Nixon menolak usulan Rockefeller ini karena Nixon merasa tidak tahu menahu soal Pele. Akhirnya, Henry Kissinger, Secretary of State Amerika Serikat yang juga seorang maniak sepak bola turun tangan. Kissinger langsung mengontak pemerintah Brasil dan menyatakan bahwa kedatangan Pele ke Amerika Serikat akan berdampak positif bagi hubungan bilateral Amerika Serikat dengan Brasil.

Keesokan harinya, Pele mendapat telepon dari Menteri Luar Negeri Brasil. Menlu Brasil berkata kepada Pele agar segera menandatangani kontrak dengan Cosmos dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh Kissinger. Pele yang luar biasa senang kemudian berkata kepada De La Sierra, “Ya Tuhan! Kalian betul-betul bisa melakukan apa saja, ya? Aku ikut dengan kalian, apapun yang terjadi!”

Proses pengenalan dan penandatanganan kontrak Pele dilakukan di salah satu kelab eksklusif di New York, 21 Club. Di tempat ini banyak tersimpan koleksi anggur pribadi orang-orang terkenal di Amerika Serikat, mulai dari Richard Nixon sampai Zsa Zsa Gabor, dan dari Ernest Hemingway sampai John Fitzgerald Kennedy. Semua presiden Amerika Serikat, kecuali Franklin Delano Roosevelt dan George Walker Bush pernah bersantap di sini.

Acara pengenalan Pele di Club 21 ini akhirnya berhasil menarik perhatian media. Sekitar 300 jurnalis hadir di Club 21 ketika itu. Kedatangan Pele ke Amerika Serikat untuk bermain sepak bola menunjukkan bahwa sepak bola punya masa depan di sana. Kedatangan Pele ini juga menjadi pelopor kedatangan bintang-bintang sepak bola lain ke NASL. Selain Chinaglia, Beckenbauer, Carlos Alberto, dan Neeskens, di Cosmos, nama-nama seperti Gordon Banks, Rodney Marsh, Geoff Hurst, hingga George Best kemudian menyusul Pele. Waralaba NASL lain berpikir bahwa jika New York Cosmos bisa, tentu mereka juga bisa.

Musim pertama Pele bermain di NASL adalah musim terakhir New York Cosmos bermain di Downing Stadium. Ada satu cerita unik ketika Pele pertama kali bermain di sini. Ketika itu, seusai pertandingan, Pele mengeluh kepada De La Sierra bahwa ia tidak akan mau bermain untuk New York Cosmos lagi karena ia mendapati bercak-bercak hijau di kakinya. Pele mengira, bercak hijau tersebut adalah jamur yang akan menganggu kakinya, padahal, bercak hijau tersebut adalah cat yang ditorehkan ke permukaan lapangan Downing Stadium!

Cerita menarik lagi soal kedatangan Pele datang dari para pemain New York Cosmos lain. Para pemain bercerita bahwa satu hal yang menyulitkan dari keberadaan Pele di pihak mereka adalah menahan keinginan untuk tidak berhenti bermain dan menyaksikan Pele beraksi. Sulit mereka percayai bahwa Pele, seorang bintang besar dunia akan bermain dengan mereka yang notabene hanya pemain-pemain strata ke-entah-berapa di dunia.

Gordon Bradley yang wafat pada 2008 silam ingat betul bagaimana aksi Pele di sesi latihan perdananya. Pele yang ketika merangsek ke depan untuk menerima umpan silang dari sisi kanan ternyata harus mendapati bahwa bola yang dikirim rekan setimnya tidak sesuai perkiraannya. Perkiraan Pele adalah, bola tersebut akan tepat sampai di kepalanya untuk kemudian ia sundul dengan mudah ke gawang. Kenyataannya, bola justru sampai di belakang kepala Pele. Pele tidak hilang akal. Sejurus kemudian, ia langsung melompat, membuat gerakan salto, dan kemudian menendang bola secara akrobatik ke gawang. Usai gol tersebut, Bradley langsung menyudahi sesi latihan.

Pele langsung menjadi selebriti dan harta nasional Amerika Serikat yang berharga. Ia bahkan langsung diundang ke Gedung Putih untuk bertemu Presiden Nixon yang tentunya kemudian tahu siapa Pele sebenarnya. Melihat antusiasme rakyat Amerika Serikat, khususnya New York, atas keberadaan Pele, para petinggi New York Cosmos kemudian mempertimbangkan untuk memindah home base New York Cosmos ke tempat baru. Pada 1976, Cosmos kembali ke Yankee Stadium.

Era Gemerlap

Setelah kedatangan Pele ke New York, Steve Ross memutuskan bahwa Pele harus memiliki pendamping sekelas di lini depan. Pilihan Ross kemudian jatuh kepada Giorgio Chinaglia, penyerang tampan nan kontroversial asal Italia. Steve Ross sendiri seperti jatuh cinta pada pertama kepada Chinaglia. Ada kemiripan yang sulit dijelaskan antara Ross dan Chinaglia. Kesamaan karakter dan cara pandang dua orang ini membuat Chinaglia dengan cepat menjadi figur spesial di New York Cosmos. Steve Ross sendiri, dalam beberapa kesempatan, kerap mengenakan kaos replika Chinaglia bernomor punggung sembilan.

Pada masa-masa awal kolaborasinya, Pele dan Chinaglia benar-benar menjadi tandem yang luar biasa. Pele bermain sedikit di belakang Chinaglia untuk memberi asis kepada Chinaglia yang menjadi juru gedor utama. Namun, perlahan-lahan, karakter keras Chianglia mulai muncul. Ia tidak terima berada di bawah bayang-bayang kebesaran Pele. Dalam suatu kesempatan, Chinaglia pernah menyemprot Pele di ruang ganti pemain.

“Kau tidak memberiku asis yang kubutuhkan!” sentak Chinaglia.

Pele, yang tidak biasa dimarahi di ruang ganti sontak membalas, “Kaulah yang tidak bisa menendang bola! Kau menendang bola dari sudut di mana tendanganmu tidak mungkin menjadi gol!”

Chinaglia kemudian melompat dan berteriak di depan muka Pele, “Aku adalah Chinaglia, dan jika Chinaglia menembak dari suatu tempat, itu artinya Chinaglia bisa mencetak gol dari tempat itu!”

Keributan tersebut, meskipun terlihat seperti masalah besar, rupanya tidak memengaruhi penampilan Pele dan Chinaglia di lapangan. Mereka memang tidak saling bicara, seperti yang diceritakan Chinaglia sendiri, namun, kombinasi mereka tetap mengerikan. Meski tetap tampil brilian, kontribusi Pele-Chinaglia sebetulnya tidak optimal. Bukan perseteruan dua individu tersebut, melainkan kebiasaan dua individu tersebut untuk menikmati kehidupan jetset ala Hollywood yang menyebabkan fokus mereka teralihkan.

Di musim tersebut, New York Cosmos disingkirkan di babak play-off oleh Tampa Bay Rowdies yang diperkuat Rodney Marsh. Desas-desus yang berkembang adalah bahwa hal ini memang disebabkan oleh aktivitas luar lapangan Pele-Chinaglia yang menyita fokus mereka. New York Cosmos memang tak ubahnya sirkus rock and roll yang akan selalu menyita perhatian orang. Pele dan Giorgio Chianglia, sebagai frontmen, rasanya memang sulit untuk menghindari situasi tersebut.

Usai kegagalan di musim 1976, Steve Ross membawa New York Cosmos melakukan tur ke Eropa untuk memperkenalkan brand New York Cosmos ke khalayak yang lebih luas. Tur ini juga dimaksudkan untuk membangun skuat kosmopolitan di New York Cosmos. Manajemen New York Cosmos ingin menjaring langsung pemain-pemain Eropa untuk mendampingi Pele dan Chianglia.

New York Cosmos tahun 1976.
New York Cosmos tahun 1976.

Pada musim 1977, New York Cosmos akhirnya pindah ke Giants Stadium di East Rutherford, New Jersey. Stadion inilah yang akhirnya identik dengan kebesaran New York Cosmos. Musim 1977 ini adalah musim terakhir Pele. Selepas ini, Pele akan pensiun bermain sepak bola untuk selamanya. Musim ini benar-benar dipersiapkan oleh Steve Ross dengan seksama. Setelah membangun skuat kosmopolitan, ia juga ingin menciptakan sebuah pertunjukan hiburan tersendiri di Giants Stadium.

BACA JUGA:  Kisah Transfer yang Menautkan Maradona dan Sabella

Clive Toye diminta Steve Ross untuk menyiapkan pemandu sorak, marching band, sampai ikon klub yakni Bugs Bunny yang juga merupakan salah satu karakter kartun Looney Tunes. Looney Tunes sendiri diproduksi oleh Warner Communications. Hiburan-hiburan ini dipersiapkan sebagai pertunjukan di jeda antara babak pertama dan babak kedua.

Namun, awal musim tidak berjalan menyenangkan bagi New York Cosmos. Tiga kekalahan dari lima pertandingan pertama tentu bukan hasil yang diharapkan oleh para petinggi Cosmos usai persiapan matang tersebut. Sesuatu harus dilakukan dan akhirnya, Norman Samnick kembali ditugaskan oleh Steve Ross untuk mengontrak satu megabintang lain. Kali ini, Samnick terbang ke Munich untuk menemui Franz Beckenbauer, kapten tim Jerman juara dunia 1974.

Franz Beckenbauer yang mengaku jenuh dengan kehidupannya di Jerman, di mana ia tidak dapat berjalan tenang tanpa dikenali dan dimintai tanda tangan atau foto, tanpa pikir panjang mengiyakan tawaran Samnick. Sang Kaisar mengatakan bahwa kepindahannya ke Cosmos adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidupnya.

Selain mendatangkan Beckenbauer, Steve Ross juga mendatangkan selebriti-selebriti dari luar lapangan untuk hadir di Giants Stadium. New York Cosmos menjelma menjadi tim sepak bola paling glamor saat itu, dan mungkin sepanjang masa. Henry Kissinger, Muhammad Ali, dan Mick Jagger menjadi pengunjung tetap pertandingan-pertandingan kandang New York Cosmos. Para pesohor ini memiliki akses langsung ke ruang ganti New York Cosmos dan sering hadir untuk memberi semangat pada para pemain New York Cosmos secara langsung.

Perubahan tidak sampai di situ. Pelatih Gordon Bradley pun akhirnya dipecat karena hasil buruk di awal musim. Eddie Firmani, seorang Italia kelahiran Afrika Selatan ditunjuk untuk menggantikan Bradley. Firmani adalah mantan penyerang yang cukup disegani pada dasawarsa 1950-an dan penunjukkan Firmani ini didasarkan atas permintaan Giorgio Chinaglia. Seperti sudah disebut sebelumnya, Giorgio Chinaglia dan Steve Ross punya hubungan yang memungkinkan Chinaglia untuk memengaruhi keputusan Steve Ross. Meski begitu, nepotisme yang ini rupanya tidak merugikan tim.

New York Cosmos benar-benar menjelma menjadi kekuatan extravaganza yang mengerikan di NASL, baik sebagai tim sepak bola maupun sebagai sebuah atraksi hiburan. Di musim itu, mereka bahkan mencatatkan rekor penonton terbanyak dengan catatan 77.691 penonton hadir di Giants Stadium. Di atas lapangan, New York Cosmos betul-betul tak terhentikan, apalagi setelah Carlos Alberto datang menggenapi skuat gemerlap New York Cosmos. Carlos Alberto sendiri, menurut Raphael De La Sierra adalah potongan terakhir yang akan membawa New York Cosmos menjuarai NASL.

Benar saja, di babak grand final NASL yang kemudian dinamai Soccerbowl tahun 1977, New York Cosmos berhasil mengalahkan Seattle Sounders dengan skor 2-1. Giorgio Chinaglia dan Steve Hunt menjadi pahlawan kemenangan Cosmos kala itu. Kesuksesan New York Cosmos menjuarai NASL musim 1977 itu juga sekaligus menjadi kado perpisahan yang indah untuk Pele. Gelar juara di tanah yang ingin ia taklukkan tentunya merupakan sebuah bingkisan spesial yang akan terus ia kenang sampai ia wafat kelak.

Titik Puncak dan Lereng Menuju Kehancuran

Musim 1977 menjadi puncak kejayaan sekaligus awal kejatuhan New York Cosmos dan NASL secara keseluruhan. Usai musim 1977 yang sukses besar secara komersial tersebut, ABC akhirnya menawarkan kontrak untuk menyiarkan kompetisi NASL secara penuh. Sampai musim 1977, memang hanya pertandingan-pertandingan yang melibatkan figur-figur besar saja yang ditayangkan di televisi. Musim 1978, televisi, sebagai sarana media paling krusial di sepak bola modern akhirnya benar-benar mengakui potensi sukses NASL.

Di musim 1978 ini, New York Cosmos lagi-lagi berhasil mencatatkan prestasi komersial yang luar biasa. Secara resmi, mereka berhasil mencatatkan rekor satu juta penonton di stadion mereka sejak 1971. Ini benar-benar prestasi yang fantastis, apalagi untuk ukuran sepak bola di negara seperti Amerika Serikat. Di musim tersebut, mereka berhasil mencatatakan diri sebagai satu-satunya tim NASL yang memainkan Soccerbowl di kandang sendiri. Akan tetapi, jalan yang mereka tempuh untuk ke sana cukup berliku. Mereka sempat kalah 2-9 atas Minnesota Kicks namun akhirnya lolos lewat adu tos-tosan di leg kedua (di leg kedua, Cosmos menang 7-0).

Ada yang unik dari babak tos-tosan di NASL ini. Babak tos-tosan tidak dilakukan dengan adu penalti seperti yang biasa kita kenal di pertandingan-pertandingan sepak bola umumnya. Penendang memulai aksinya dari tengah lapangan di mana ia harus menggiring bola sampai kotak penalti. Penjaga gawang dibolehkan untuk maju dan menutup pergerakan si penendang. Meski begitu, si penendang diberikan waktu hanya delapan detik untuk memasukkan bola ke gawang. Tos-tosan yang dilakukan di NASL ini memang mengadopsi gaya tos-tosan olahraga hoki.

New York Cosmos kembali menjadi juara di musim 1978 setelah membalas dendam kepada Tampa Bay Rowdies. Mereka menang 3-1 di pertandingan tersebut. Dennis Tueart mencetak dua gol, sementara Giorgio Chinaglia menyumbang satu gol. Gelar juara tahun 1978 ini adalah sebuah pentahbisan akan kehebatan New York Cosmos di kompetisi NASL di era 1970-an. Di akhir musim, manajemen New York Cosmos lagi-lagi mendatangkan seorang bintang. Kali ini, Johan Neeskens, salah satu pilar timnas Belanda di Piala Dunia 1978 didatangkan manajemen Cosmos.

Namun, pada musim 1979, New York Cosmos harus merelakan gelar juara mereka melayang ke Vancouver. Vancouver Whitecaps berhasil mempecundangi New York Cosmos dalam babak tos-tosan di Soccerbowl. Kalau dipikir-pikir, kekalahan New York Cosmos ketika itu hanya disebabkan satu hal sederhana. Carlos Alberto, sebagai penendang terakhir New York Cosmos di babak tos-tosan, terlambat satu detik untuk memasukkan bola ke gawang Whitecaps. Gol Carlos Alberto dianulir dan akhirnya Whitecaps keluar sebagai juara. Menyesakkan.

Musim berikutnya benar-benar menjadi bencana bagi NASL secara komersial. Rating televisi turun drastis meskipun jumlah penonton di stadion tetap tinggi. Kepergian Pele tiga tahun sebelumnya rupanya membuat pamor NASL di kalangan penonton layar kaca menurun drastis. Kepergian Pele juga menyebabkan NASL banyak ditinggal bintang-bintangnya. Sementara, bintang-bintang yang bertahan juga tidak mau gajinya diturunkan. Alhasil, dengan ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran ini, NASL harus gulun tikar di tahun 1984. Antara tahun 1980 s/d 1984, New York Cosmos masih sempat menjadi jawara NASL sebanyak dua kali yakni pada musim 1980 dan 1982.

Dengan berhentinya kompetisi NASL, secara langsung, kiprah New York Cosmos pun berhenti. Tim ini mati suri sampai akhirnya dibangkitkan lagi pada 2010 silam. Pele diundang kembali menjadi presiden kehormatan, sementara Eric Cantona diangkat menjadi direktur sepak bola. Saat ini, mereka bahkan sudah berencana untuk membangun stadion baru dan menargetkan untuk berkiprah di MLS dalam waktu dekat.

New York Cosmos adalah sebuah warisan berharga bagi perkembangan sepak bola Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, New York Cosmos adalah representasi mimpi Amerika Serikat untuk memiliki nama besar di jagad persepakbolaan dunia. Mereka pernah menjadi raja sepak bola, dan kini, mimpi itu coba dihidupkan kembali.

 

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Fandomagz edisi IV

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.