One Mane Team: Mengungkap Apa yang Salah dengan Liverpool di 2017

One Mane Team, Liverpool mendapat gelar ini dari berbagai media dan pencinta sepakbola setelah kemenangannya atas Tottenham Hotspurs (12/2). Pertanyaannya, apa iya demikian?

Memang betul bahwa Liverpool tak bernasib baik setelah ditinggal Sadio Mane selama Piala Afrika. Hanya berhasil memetik satu kemenangan dari 10 laga di semua kompetisi dan terhempas dari Piala FA serta Piala Liga adalah kejadian yang terjadi setelah The Reds ditinggal Mane.

Namun mengatakan Sadio Mane dapat menyelesaikan masalah Liverpool kini adalah hal yang tak benar juga. Jika kita melihat dari kontribusi Mane adalah mencetak gol, Liverpool tampak tak bermasalah dengan itu.

Tanpa Mane, selain di leg pertama dan kedua semifinal Piala Liga melawan Southampton ataupun saat melawan Plymouth di ajang Piala FA, Liverpool selalu mampu mencetak gol.

Hanya saja, Liverpool selalu tampak kacau ketika diserang. Ataupun bermasalah dengan tim lawan yang memanfaatkan deep defensive line yang hingga hari ini tak dapat diuraikan solusinya dengan high-pressing ala Juergen Klopp.

Bahkan kehadiran Sadio Mane tak begitu berguna kala Liverpool dikalahkan 0-2 oleh Hull City. Saat laga melawan Tottenham, mereka juga tak diperkuat bek terkuatnya, Danny Rose dan Jan Vertonghen yang sedang dilanda cedera.

Jadi, Mane bukanlah faktor penentu buruknya performa Liverpool awal tahun ini.

Persoalan di lini belakang

© independent.ie

Anda mungkin tertawa geli saat Philippe Coutinho memilih jongkok di balik pagar betis yang menghadang tendangan jarak jauh Christian Eriksen. Namun ini adalah gambaran paling jelas betapa buruknya kualitas kiper di Liverpool. Kehadiran Loris Karius untuk mengganti Simon Mignolet, pada akhirnya, berbuah bencana.

Loris Karius tampak grogi kala menjaga gawang Liverpool. Ia tidak siap. Sehingga pada akhirnya, Simon Mignolet, dengan segala inkonsistensi dan kesalahan yang terus dimaklumi, kembali menjaga gawang Liverpool.

Tidak hanya itu, Simon Mignolet mendapat perpanjangan kontrak hingga 2021. Saya sampai ngeri untuk membayangkannya!

Namun menyalahkan Simon Mignolet sepenuhnya juga merupakan hal yang tak adil. Lini pertahanan Liverpool, secara umum, memang payah.

BACA JUGA:  Modifikasi Tiki-Taka Luis Enrique Memberikan Kemenangan Penting Bagi Barcelona atas Real Madrid di La Liga

Liverpool mungkin tim yang dapat dikatakan rajin mencetak gol. Namun, mereka juga adalah tim yang rajin kebobolan.

Pada 2017, Liverpool telah mencetak 9 gol dan kebobolan 11 gol. Atau kalau hendak menyaksikan keseluruhan musim, Liverpool telah kebobolan 30 gol dan total mencetak 50 gol.

Jurgen Klopp memanfaatkan James Milner yang notabene gelandang menjadi bek kiri atau Lucas Leiva menjadi bek tengah. Pilihan itu menjadi gambaran betapa lini pertahanan menjadi masalah.

Hingga kini, Joel Matip adalah satu-satunya pemain yang berkualitas yang dimiliki Liverpool di lini pertahanan. Dejan Lovren, sama seperti Mignolet, juga bek yang error prone dan seringkali tak disiplin saat pressing.

Joe Gomez terlampau muda. Inkonsistensi Lucas. Natanael Clyne yang tak begitu solid, serta diperparah tidak mendapat pengganti sepadan dalam Trent Alexandre-Arnold yang masih terlampau muda di posisi bek kanan. Dan bek kiri yang hingga saat ini, seorang Alberto Moreno-pun tak dapat menggantikan James Milner.

Apa masalah di lini tengah?

Lini tengah adalah kunci dan inti permasalahan Liverpool. Selama 2017, Klopp memainkan tiga gelandang.

Dengan Jordan Henderson di gelandang bertahan (DM), Emre Can dan Adam Lallana sebagai gelandang tengah (CM). Akan tetapi, formasi tiga gelandang ini menjadi masalah. Adam Lallana adalah gelandang dengan naluri menyerang yang tak begitu baik dalam positioning. Sementara Emre Can nasibnya tak jauh beda.

Serta hal ini diperparah dengan Jordan Henderson yang tak begitu baik memberikan komando di lini tengah. Saat kalah melawan Hull, Anda bisa melihat ada kekosongan luar biasa di lini tengah.

Saat menggunakan komposisi pemain macam ini, Liverpool akan dengan mudahnya dibuat panik sehingga cenderung akan lebih sering membuat kesalahan. Sehingga pada akhirnya, inilah menjadi sebab mengapa Liverpool dapat kalah 2-0 saat bertandang ke kandang Hull City.

Twitter: @bishop_yayo

Selain masalah positioning, hal ini juga menjadi buruk karena trio lini tengah ini kerapkali buntu. Ketiganya, saat dimainkan bersama, tampak tak padu dan kehilangan kreativitasnya.

BACA JUGA:  Nostalgia Winning Eleven dan Menjadi Penggemar Liverpool

Hanya terus mengoper di tengah tanpa adanya kreativitas. Jordan Henderson hanya bergantung pada dua gelandang di depannya.

Sayangnya, hanya Lallana yang memiliki kreativitas di lini tengah. Saat Lallana tertutup, akan sangat terlihat bahwa Emre tak cukup baik untuk menggedor pertahanan lawan.

Pada akhirnya, kalau sudah begini, satu-satunya kemenangan yang bisa dimiliki Liverpool adalah kemenangan statistik – passing accuracy atau possession.

Masalah ini sedikit tertolong dengan kehadiran Georginio Wijnaldum. Dalam kemenangan atas Tottenham Hotspurs, selain menyorot performa Sadio Mane, permainan Gini patut diapresiasi.

Ia dapat menyerang. Memberikan umpan kepada Sadio Mane untuk gol pertamanya. Membuat beban Lallana menjadi ringan. Serta membantu menekan saat tim diserang – yang selama ini menjadi tugas Henderson seorang. Singkatnya, ia mampu membaca pertandingan dengan baik.

 

Apakah lini depan bermasalah?

Liverpool bisa mencetak banyak gol, namun bukan berarti bahwa lini depan Liverpool tak bermasalah. Hingga kini, hanya Roberto Firmino yang tampak nyetel dalam skema Jurgen Klopp.

Daniel Sturridge, tanpa melupakan jasa-jasanya di masa lampau, tak dapat melakukan peran komplit Firmino untuk membantu menekan saat tim diserang. Sementara Divock Origi masih tampak belum siap. Serta Danny Ings yang masih dirundung cedera. Dan hal ini yang akan membuat sulit: saat Firmino cedera, tak ada yang dapat menggantikannya.

Dan hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa mematikan Philippe Coutinho rupanya sangat mudah. Paksa sang pesulap untuk bermain melebar, tanpa memiliki kesempatan sedikitpun untuk cut-inside, dan Liverpool akan kekurangan (atau bahkan kehilangan) daya serangnya. Terutama apabila lini tengah telah buntu.

Hal ini yang kemudian membuat Liverpool seakan bergantung dengan Sadio Mane agar bisa menguasai permainan. Sadio Mane memiliki pace dan daya kejut.

Kelebihannya ini akan membuat tim lawan gagal mengantisipasinya. Pertanyaannya tentu saja sampai kapan formula ini akan berhasil. Mengingat pola ini terus-terus digunakan secara monoton. Bukan tidak mungkin apabila pada akhirnya pola ini berhasil dipatahkan oleh tim lawan.

 

Komentar