Disadari atau tidak, nama pesepakbola Korea Selatan yang memperkuat Tottenham Hotspur, Son Heung-min, begitu sering menjadi perbincangan akhir-akhir ini.
Penampilan fantastis Son sepanjang musim ini jadi alasan utama kenapa ia jadi buah bibir, melebihi musim-musim sebelumnya. Terlebih, pada 18 Desember 2020 kemarin, ia resmi dianugerahi gelar FIFA Puskas Award karena gol solo run-nya ke gawang Burnley dinilai sebagai yang terbaik sepanjang tahun.
Sebagai pesepakbola, Son dikenal punya kecepatan lari yang luar biasa, pergerakan yang lincah, dua kaki yang sama-sama hidup plus serbabisa. Bahkan dari 12 golnya musim ini, 7 buah dihasilkan dari kaki kanan, 4 berasal dari kaki kiri serta 1 dari sundulan kepala.
Pemain kelahiran Chuncheon pada 8 Juli 1992 ini juga tidak pernah berlebihan saat menguasai bola. Jarang sekali kita melihat Son menunjukkan aksi-aksi berlebihan dan tidak diperlukan yang justru menguras energi. Sungguh, ia efektif dan efisien sekali dalam bermain.
Keterampilan yang dipunyainya saat ini jelas tak muncul begitu saja dengan mantra abrakadabra. Apa yang ditunjukkannya adalah hasil dari kerja kerasnya sejak belia. Ia dan kakaknya yang bernama Son Heung-yun sudah digembleng secara ketat oleh ayah mereka, Son Woong-jun, yang juga seorang mantan pesepakbola profesional Korea Selatan pada era 1980-an.
“Dia meminta kami latihan juggling selama 4 jam. Setelah 2 jam berlalu, saya melihat lantai seperti rollercoaster dan saya merasakan satu bola di kaki, tetapi mata saya melihat ada 3 bola,” ungkapnya dalam sebuah wawancara di pertengahan 2019 lalu seperti dilansir Detiksport.
Sang ayah memang menerapkan standar tinggi bagi putranya. Ia memberikan porsi latihan teknik dasar sepakbola tidak kurang dari 6 jam setiap hari. Selain itu, putranya juga ditekankan untuk hidup disiplin. Ketika Son berusia 12 tahun dan sang ayah datang untuk melatih tim sekolahnya yang berisikan 20 pemain, muncul sebuah pemandangan langka.
Program yang diterapkan adalah melakukan juggling bola selama 40 menit. Ayahnya tak bicara saat teman-temannya menjatuhkan bola. Hal sebaliknya terjadi bila Son yang melakukan itu. Telinga sang putra bakal dibuat memerah gara-gara juggling-nya terhenti akibat kesalahan sendiri dan wajib mengulang dari awal.
Giatnya Son berlatih sedari kecil bikin ia mulai memetik hasilnya pada usia 16 tahun. Ia terpilih menjadi salah satu dari tiga orang anak yang bergabung ke akademi Hamburger SV. Program ini sendiri merupakan bagian dari kemitraan klub asal Jerman itu dengan federasi sepakbola Korsel (KFA).
Lebih kurang dua tahun lamanya berguru di akademi Die Rothosen, ia menjadi satu-satunya pemain yang disodori kontrak profesional. Sementara dua orang kawannya yang lain dikembalikan ke Negeri Ginseng.
Debut profesional Son dengan Hamburg terjadi saat timnya bertamu ke kandang FC Koln pada 30 Oktober 2010. Son yang saat itu genap berusia 18 tahun, hanya perlu 24 menit untuk menjaringkan sebiji gol di pertandingan debutnya. Walau Hamburg akhirnya kalah dalam laga tersebut, tetapi permainan Son dinilai menjanjikan oleh para pengamat.
Akan tetapi, ia tak langsung jadi pilihan utama pada musim debutnya. Ia lebih banyak duduk di bangku cadangan guna mengamati dan mempelajari sepakbola profesional. Barulah di musim-musim selanjutnya, kiprah Son makin membaik di Stadion Imtech Arena. Bahkan pada musim ketiga sekaligus terakhirnya di sana, Son berhasil membukukan 12 gol dan 2 asis dari 34 penampilan.
Kariernya lantas berlanjut di klub Jerman lainnya, Bayer Leverkusen. Dana tak kurang dari 10 juta Euro menjadi harga tebus pria yang dikabarkan pernah dekat dengan aktris Yoo So-young tersebut. Bersama Die Werkself, Son kian berkembang sebagai pesepakbola. Baik secara individual maupun kolektif.
Dalam tempo dua musim, Son menahbiskan diri sebagai figur penting di Stadion BayArena dan semakin disegani. Secara total, ia mengukir 29 gol dari 87 partai lintas ajang. Namun sayang, perjalanannya di Leverkusen tak bertabur dengan gelar.
Ingin merasakan tantangan baru, Son akhirnya hengkang ke Inggris buat bergabung dengan Spurs usai mahar senilai 30 juta Euro disepakati kedua belah pihak. Kendati begitu, proses adaptasi yang dilakoninya tak selalu mulus. Musim pertama di London Utara terasa berliku. Son bahkan mengutarakan keinginannya buat kembali ke Jerman.
Akan tetapi, pelatih The Lilywhites kala itu, Mauricio Pochettino, menahannya karena yakin dengan kemampuan lelaki berpostur 183 sentimeter ini. Etos kerja yang ditunjukkan Son ketika berlaga maupun berlatih jadi alasan utamanya. Benar saja, ketika dipercaya merumput, Son membuktikan kapasitas apiknya. 8 gol dan 5 asis yang ia bukukan dari 40 pertandingan jadi buktinya.
Selanjutnya, kita sama-sama tahu bahwa dirinya kian moncer dan menjadi idola baru suporter Spurs. Penampilan eloknya sepanjang musim 2018/2019 bahkan mengantar The Lilywhites ke final Liga Champions. Nahasnya, mimpi memeluk trofi perdana sepanjang karier patah di tangan rival senegara, Liverpool.
Kepergian Pochettino yang kemudian disubstitusi oleh Jose Mourinho malah memunculkan dampak positif. Presensinya sungguh krusial bagi permainan tim. Duetnya bersama Harry Kane di sektor penyerangan begitu produktif mendulang gol demi gol. Son sendiri diberi kebebasan oleh Mourinho kala tampil.
Selama enam musim memperkuat sisi putih ke London Utara, total ada 100 gol yang sudah digelontorkan Son dari 253 penampilan. Catatan itu dilengkapinya dengan 55 buah asis sehingga performanya makin impresif (jumlah gol dan asisnya masih bisa bertambah). Satu-satunya hal yang masih kurang dari Pemain Terbaik Asia selama lima kali ini adalah gelar juara.
Kinerja Son yang luar biasa dan atraksi menawan serta konsisten yang diperlihatkan The Lilywhites bersama Mourinho, bikin trofi, entah dari ajang Liga Primer Inggris, Piala FA, Piala Liga atau malah Liga Europa (Spurs masih berkiprah di empat kejuaraan tersebut sejauh ini), bukan sesuatu yang kelewat mustahil untuk digapai.
Daebak, Son!