Tatkala Leicester City menjuarai Liga Primer Inggris 2015/2016 silam di bawah arahan Claudio Ranieri, ada sejumlah pemain yang ikut angkat nama. Antara lain N’Golo Kante, Riyad Mahrez, Kasper Schmeichel, sampai Jamie Vardy.
Namun kesuksesan tersebut tak bikin semua nama di atas ingin bertahan lebih lama di Stadion King Power.
Praktis cuma Schmeichel dan Vardy yang sampai sekarang masih membela The Foxes.
Kante dibajak Chelsea, Mahrez dipinang Manchester City, dan yang paling tragis, Ranieri dipecat Leicester sampai akhirnya kini melatih Sampdoria.
Khusus Mahrez, kepindahannya ke kota Manchester diliputi rasa geram fans.
Sedari pengujung musim 2016/2017, ia mengutarakan kemauan hengkang. Namun manajemen Leicester terus berupaya mempertahankannya.
Pada bursa transfer musim panas 2017/2018, Mahrez mendapat sejumlah tawaran. Namun semuanya gagal terwujud.
Alhasil, pemain tim nasional Aljazair ini bertahan semusim lagi bersama Leicester.
Meski tetap bersikap profesional dengan mengeluarkan segenap kemampuannya saat dimainkan, tetapi gestur tak nyaman Mahrez mustahil untuk disembunyikan.
Ia bahkan beberapa kali mangkir latihan dan menciptakan friksi di ruang ganti Leicester.
Ketika bursa transfer musim dingin datang, Mahrez kembali menekan pihak klub untuk melegonya.
Leicester sendiri menetapkan banderol selangit sehingga menyulitkan klub lain buat merekrutnya. Tak ayal, situasi ini bikin suporter The Foxes naik darah.
Mereka merasa bahwa lelaki kelahiran Sarcelles itu telah menodai kepercayaan klub yang melambungkan namanya.
Ada egoisme yang terlihat darinya. Namun Mahrez bergeming, tekadnya untuk hijrah sudah bulat.
“Aku memiliki penghormatan yang besar kepada Leicester City. Namun aku ingin bersikap jujur dan apa adanya kepada mereka bahwa aku ingin hengkang karena inilah waktu yang tepat untuk merasakan tantangan baru. Aku adalah sosok yang ambisius”, ucap Mahrez seperti dilansir dari The Guardian.
Anggapan kacang yang lupa kulitnya pun menempel pada diri Mahrez. Bicara tentang moralitas, apa yang dilakukan Mahrez memang kurang pas.
Akan tetapi, Mahrez seperti menyadari bahwa bertahan lebih lama bareng Leicester justru membuat kariernya jalan di tempat.
Menjadi pesepakbola yang ambisius, terutama soal prestasi, memang sebuah keharusan.
Minggat dari Leicester adalah caranya untuk mewujudkan itu. Usai proses tarik ulur yang makan waktu cukup lama, Manchester City meresmikan kepindahannya ke Stadion Etihad jelang bergulirnya musim 2018/2019.
Ada kalanya, seorang pemain harus mengetahui kapan waktu yang tepat baginya untuk mencicipi sebuah tantangan baru.
Tanpa mengecilkan mereka yang setia pada satu tim, tetapi hal seperti ini juga membuat para pemain merasakan gairah baru dalam bermain sepakbola.
Sifat ambisius Mahrez juga sejalan dengan karakter Manchester City semenjak diakuisisi Abu Dhabi United Group.
Mereka tak ingin berkalung sejarah saja dengan prestasi masa lampau, tetapi juga rajin menorehkan sejarah-sejarah baru berupa prestasi di lapangan hijau.
Tak main-main, biaya untuk memboyong Mahrez mencapai 60 juta Poundsterling. Nominal itu sendiri bikin ia jadi pesepakbola termahal asal Afrika sebelum dipecahkan Nicolas Pepe yang dibeli Arsenal dari Lille sebesar 72 juta Poundsterling medio 2019 silam.
Bergabung dengan The Citizens rupanya jadi jawaban atas ambisi Mahrez. Perlahan-lahan, ia memanen trofi bareng kesebelasan yang jadi rival sekota Manchester United itu.
Sampai saat ini, ia sudah mengoleksi lima trofi yang berasal dari kompetisi domestik. Antara lain sebiji trofi Liga Primer Inggris, Piala FA, dan Community Shield, serta tiga gelar Piala Liga.
Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan Leicester, tetapi apa yang diperolehnya di Manchester City jelas lebih paripurna, bukan?
Tak sekadar meraih gelar, permainan dari pemain bernomor punggung 26 ini juga kian matang sebagai winger.
Meski pada awalnya ia tak selalu jadi pilihan utama dan dianggap masih di bawah level Kevin De Bruyne dan David Silva sebagai bintang utama The Citizens, tetapi kapabilitasnya selalu melesat tiap kali diberi kesempatan.
Salah satu ciri khas yang menonjol dari bekas penggawa Le Havre adalah first touch dan kontrol bolanya yang halus. Bahkan lebih halus daripada deburan pasir yang ada di Gurun Sahara.
Ditambah dengan kepiawaiannya dalam melakukan giringan, dua hal di atas memudahkan pria setinggi 179 sentimeter ini buat melakukan tusukan dari area sayap dan mengelabui lawan.
Entah kemudian memberi servis kepada rekannya atau justru mengeksekusinya sendiri.
Presensi Mahrez membuat lini pertahanan lawan merenggang dan mudah dieksploitasi Manchester City.
Sekilas, aksi-aksi yang diperlihatkannya seperti pertunjukan yang biasa dipertontonkan winger kidal asal Belanda, Arjen Robben.
Hal itu sendiri membuat Pep Guardiola semakin menyukainya dan memberikan posisi inti di sektor sayap kanan kepada pria berzodiak Pisces tersebut.
Gambar via breakingthelines.com
Di Stadion Etihad, Mahrez tampil lebih memukau. Ini sesuai dengan harapannya saat meninggalkan Stadion King Power beberapa tahun silam.
Saat bergabung dengan The Citizens, Mahrez sempat mengutarakan ambisinya buat merebut trofi kejuaraan antarklub Eropa nomor wahid, Liga Champions.
Dengan prestasi yang cukup fenomenal di kancah domestik sejauh ini, hasrat berprestasi di ajang kontinental memang suatu keharusan dan ini sangat cocok dengan kepribadian sang pemain. Tak peduli bahwa Manchester City tak memiliki tradisi kuat di Benua Biru.
Kebetulan, Mahrez jadi aktor penting saat klubnya menghabisi Paris Saint-Germain dalam dua leg semifinal Liga Champions musim 2020/2021.
Ia mencetak gol pembalik keadaan di semifinal pertama dan memborong seluruh gol Manchester City di semifinal kedua.
Kesebelasan yang disokong fulus dari Uni Emirat Arab itu pun berhak melaju ke final Liga Champions untuk pertama kalinya sepanjang sejarah setelah unggul agregat 4-1 dari klub asal Prancis tersebut.
Akan sangat menarik untuk menanti bagaimana Mahrez dan Manchester City coba mewujudkan ambisinya terkait Si Kuping Besar. Jawabannya sendiri bisa kita dapati di pengujung Mei 2021 nanti.