Sesaat usai laga Jerman melawan Polandia berakhir, webmaster kesayangan kami, Aditya Rizki, meluncurkan cuitan di akun twitternya yang berbunyi, “bal-balan opo kok ora ono gol.” Saya pribadi cukup terhibur membaca cuitan pakar telematika cum penikmat sepak bola paruh waktu yang santun dan rendah hati itu.
Karena satu dan lain hal, sepak bola tidak pernah berhenti menghasilkan perdebatan dan beragam opini. Karena sifatnya yang terbuka dan universal, sepak bola disukai dengan beragam cara dan model, tergantung bagaimana tiap orang melihatnya sebagai sebuah tontonan yang menghibur.
Menghibur pun, tentunya, sesuai dengan kadar penilaian masing-masing orang. Ada orang yang betah menyaksikan sepak bola kick and rush ala negara-negara Britania di Piala Eropa tahun ini.
Pun tidak sedikit yang memuja sepak bola taktis ala Italia atau superioritas Spanyol kala menghantam Turki tiga gol tanpa balas. Semua dibebaskan dan sesuai dengan minat masing-masing orang.
Tapi ada satu hal yang selalu orang nantikan ketika mereka menonton sepak bola. Satu hal yang menjadi tujuan utama kenapa pertandingan olahraga paling populer di kolong langit ini begitu digandrungi banyak orang dari segala penjuru dunia. Sederhananya saja, orang menantikan sebuah gol.
Satu saja cukup, karena nyatanya, Spanyol dan Jerman pun menjadi juara di dua final Piala Dunia terakhir hanya dengan kemenangan satu gol. Tapi memainkan sepak bola dengan tujuan mencetak banyak gol dan memenangkan pertandingan dengan menyakinkan tentu opsi yang tak kalah menarik, bukan?
Dalam sejarahya, saya tidak yakin ada pertandingan sepak bola yang berakhir imbang tanpa gol menjadi hiburan yang menarik bagi penonton. Terkadang, di satu sisi, saya berimajinasi dan membayangkan perasaan masing-masing pemain dari kedua kesebelasan di sebuah pertandingan yang berakhir 0-0 tersebut.
Membayangkan perasaan Robert Lewandowski yang gagal mempecundangi kawan-kawannya di Bayern Munchen. Lalu membayangkan Thomas Muller yang penasaran karena tak kunjung mencetak gol di Euro tahun ini.
Lalu, apakah para pemain dan pelatih benar-benar puas dengan hasil imbang tanpa gol? Apakah ini bagian dari taktik?
Atau kata puas di konferensi pers oleh para pelatih tersebut hanya pledoi kosong belaka untuk lari dari kenyataan di lapangan bahwa kedua tim memang tak mampu mencetak gol?
Penonton butuh gol. Pemain butuh mencetak gol. Dan pelatih butuh taktik yang ciamik untuk mengakomodasi peluang mencetak gol yang besar bagi timnya. Semua elemen dari sepak bola butuh gol.
Sebuah gol, bagaimanapun prosesnya, dan apa pun caranya, adalah harga mati. Mau pakai cara culas ala Diego Maradona dan tangan usilnya, silakan, asal wasit cukup tolol untuk dikelabui. Mau pakai cara surealis seperti Zlatan Ibrahimovic dengan tendangan overhead kick-nya juga silakan, kalau memang mampu.
Perihal gol ini pula yang kemudian membuat pagelaran Copa America Centenario yang digelar di negara Paman Sam itu menjadi kompetisi yang lebih semarak dan menarik dibandingkan dengan Piala Eropa.
Dengan jumlah grup dan peserta yang lebih sedikit dibandingkan Piala Eropa, 24 pertandingan yang diselenggarakan dari Grup A sampai Grup D di Copa America tahun ini dengan komposisi 16 negara, sukses menghasilkan 69 gol.
Dan tentu patut diingat salah satunya adalah kemenangan 7-1 timnas Brasil atas Haiti. Yang ironisnya, kemenangan itu gagal membuat tim Samba lolos ke babak perempat final. Paradoks yang asyik.
Bandingkan dengan Piala Eropa yang dimainkan dalam 6 grup oleh 24 negara. Dari 24 pertandingan awal mereka saja, hanya menghasilkan 47 gol.
Dan dari 24 pertandingan tersebut, hanya dua kali ada dua negara yang sanggup mencetak tiga gol, yakni Belgia kala menaklukkan Republik Irlandia. Dan juara bertahan Spanyol yang mengalahkan Turki.
Selebihnya, kemenangan banyak ditentukan oleh selisih yang tipis, entah 1-0 atau 2-1. Dan tidak sedikit yang berakhir imbang 1-1.
Adapun kemenangan dengan selisih dua gol juga hanya terjadi lima kali sampai saat ini. Bahkan sejauh ini, sudah ada tiga hasil imbang 0-0 yang tercipta dari pertandingan antara Prancis melawan Swiss, Jerman melawan Polandia, dan Portugal melawan Austria.
Ini mengurangi keasyikan, walau tak menghilangkan konteks hiburan dalam menonton sepak bola. Sepak bola tetap sebuah tamasya sekaligus eskapisme terbaik dalam mengatasi problematika hidup. Tapi menonton pertandingan sepak bola yang berakhir 0-0 itu sungguh menjengkelkan.
Piala Eropa tahun ini, menurut hemat saya, dan mungkin saja saya salah, sangat dimainkan dengan hati-hati, namun cukup taktis. Beberapa negara, selain tidak mampu menemukan sentuhan tajam di depan gawang lawan, juga tidak memiliki goal getter yang ciamik.
Jerman misalnya, pensiunnya Miroslav Klose jelas mengurangi daya gedor mereka. Dua gol yang mereka buat kala menaklukkan Ukraina justru datang dari bek dan gelandang. Kecuali satu gol ke gawang Irlandia Utara yang dicetak Mario Gomez dan itu juga berakhir 1-0 untuk Jerman.
Catatan itu dibarengi dengan masih mandulnya penyerang kelas wahid atas nama Zlatan Ibrahimovic. Melihat Swedia bermain di turnamen ini, saya beranggapan bahwa sebaiknya memang Zlatan segera pastikan masa depannya bersama Manchester United. Kekalahan 0-1 dari timnas Belgia tadi malam (23/6), sukses memberi Zlatan jalan lapang untuk pensiun dari timnas Swedia tanpa mencetak satu pun gol dan hanya membuat satu tendangan ke gawang dalam tiga lawa Swedia di Piala Eropa 2016.
Dia hampir tidak menunjukkan performa apik dalam tiga laga Swedia, karena mungkin, jiwanya sudah tamasya di Manchester sementara raganya tertinggal di Prancis. Satu-satunya gol Swedia di turnamen ini, berasal dari bunuh diri lawan.
Perihal ini, agaknya Eropa perlu berkaca dari bagaimana timnas Cile bermain. Utamanya, saat mereka menghancurkan Javier Hernandez dkk dengan tujuh gol tanpa balas di perempat final lalu.
Usai unggul dua gol, Cile masih bermain menekan dan terbuka. Tidak ada pertahanan rapat pun juga tidak menurunkan tempo pertandingan. Dalam proses gol ketiga mereka yang dicetak Alexis Sanchez misalnya, ada lima sampai enam pemain Cile yang menekan penguasaan bola Meksiko bahkan di depan kotak penalti Meksiko sendiri.
Itu terjadi bahkan saat mereka sudah unggul dua gol, dan di pertandingan yang terjadi di fase gugur.
Seharusnya, bermain di fase gugur nanti membuat negara-negara Eropa tampil tanpa beban dan berani bermain terbuka. Lagipula, melihat kapasitas skuat masing-masing negara, sangat disayangkan apabila negara-negara seperti Inggris, Jerman dan Portugal tidak mampu mencetak banyak gol.
Tentu menjadi ironi tersendiri apabila nama-nama seperti Harry Kane, Thomas Muller hingga Robert Lewandowski tak kunjung membuka rekening golnya di turnamen ini.
Atau, jangan-jangan, secara taktikal, kualitas Eropa ternyata masih di bawah negara-negara Amerika Latin?