Pada 9 Desember 2015, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilakukan serentak di Indonesia. Berbagai cara dilakukan pasangan calon dan pendukungnya agar dipilih publik.
Cara apa pun tentu sah dilakukan untuk meraih kemenangan. Tentu dengan catatan, cara yang ditempuh tidak melanggar aturan.
Tidak hanya itu, upaya meraih kemenangan akan lebih baik apabila dilakukan dengan cara-cara yang sportif. Dengan demikian, publik akan semakin respek dengan kemenangan yang diperoleh pasangan calon pemimpin.
Peristiwa dari lapangan sepak bola dapat menjadi refleksi mengenai hal tersebut. Pada Piala Dunia 1990, seorang pemain Jerman Barat bernama Jurgen Klinsmann membuat sejarah.
Ia membuat kartu merah keluar untuk pertama kali di partai final Piala Dunia. Pemain yang harus meninggalkan lapangan adalah Pedro Monzon. Sebabnya, ia dianggap menekel Klinsmann hingga terjatuh. Jerman Barat akhirnya menang 1-0 melawan Argentina dan meraih Piala Dunia ketiganya.
Sejarah lain juga diciptakan Klinsmann di pertandingan tersebut. Mantan pemain Tottenhan Hotspur itu dianggap menjadi pemain pertama yang membuat aksi diving populer di lapangan hijau.
Lewat tayangan ulang, Klinsmann terlihat bereaksi berlebihan kala terjatuh oleh tekel Monzon. Reaksi tersebut yang dianggap memicu wasit mengeluarkan kartu merah. Padahal, kaki Monzon hanya sedikit menyentuh Klinsmann.
Diving pada dasarnya adalah usaha pemain untuk mendapatkan keuntungan berlebih lewat tindakan mengelabui wasit. Usaha ini paling populer dilakukan lewat tindakan pura-pura terjatuh di area penalti lawan.
Dengan demikian, penalti didapat dan berpeluang dikonversi menjadi gol. Meski dikecam, diving terus menerus dilakukan oleh berbagai pemain. Tujuannya jelas, untuk meraih kemenangan. Namun, kemenangan yang dinodai aksi diving tidak akan mendapat respek penonton.
Hal ini sekali lagi dapat terlihat pada ajang Piala Dunia. Pada partai perdelapan final Piala Dunia 2014, Belanda bertemu Meksiko. Belanda menang dalam pertandingan tersebut.
Meski kalah, Meksiko justru menjadi kesebelasan yang mendapat simpati publik. Hal ini karena aksi Arjen Robben, kapten Belanda di pertandingan tersebut.
Ia dianggap melakukan aksi diving yang menyebabkan Meksiko mendapat hukuman penalti. Publik mengecam aksi tersebut. Di situs media sosial Twitter, Robben bahkan menjadi pemain paling kerap di-mention pada pertandingan tersebut.
Seusai pertandingan, Robben memang mengakui bahwa ia melakukan aksi diving di pertandingan melawan Meksiko. Ia juga meminta maaf. Meski mengakuinya, aksi Robben dianggap menodai semangat fair play yang digaungkan FIFA.
Wajar jika publik kecewa terhadap Belanda dan Robben. Sepak bola, sebagai olahraga yang berpeluang menjadi media kampanye nilai-nilai sportivitas, justru dinodai aksi diving di ajang sebesar Piala Dunia. Dan hal itu dilakukan seorang kapten, yang harusnya menjadi panutan pemain-pemain lain di atas lapangan.
Peristiwa tersebut menunjukkan, apa pun hasilnya, publik selalu berharap pertandingan sepak bola berlangsung dalam situasi adil.
Pertandingan sepak bola ibarat kampanye Pilkada. Meskipun hasil akhir menjadi target utama, akan lebih baik bila kampanye dilakukan dengan cara yang memantik simpati publik. Strategi, analisis, dan taktik harus dikedepankan sebagai usaha meraih kemenangan. Bukan cara-cara yang kotor dipertunjukkan.
Dengan kata lain, siapa pun pemenangnya, publik akan bersimpati bila kemenangan diraih lewat “pertandingan” yang adil. Dengan cara demikian, Pilkada berpeluang membawa kegembiraan bagi rakyat Indonesia. Persis seperti Piala Dunia membawa kegembiraan bagi jutaan umat manusia.
Bagaimana bila tidak? Sepak bola sudah memperlihatkan. Jika kemenangan diraih dengan cara yang tidak sportif, reaksi publik akan sama persis dengan reaksi penggemar sepak bola pada pertandingan Belanda melawan Meksiko.