Ketika seorang pemain, terlebih kapten tim, berkonfrontasi dengan salah satu pentolan basis suporter sebuah tim sepak bola, lantas siapa pantas dibela?
Benar, bahwa pemain adalah mereka yang berlarian di lapangan, bahkan acap kali mempertaruhkan kariernya, bersiap dan waspada terhadap bahaya cedera yang mengintai, dan masih banyak lagi.
Benar juga, bahwa keringat pemain yang diperas di lapangan, bukan suporter. Benar juga bahwa tenaga pemain yang menyumbang tiga angka bagi kemenangan tim, bukan keringat suporter.
Tapi perlu diingat bahwa suporter, mau brengsek atau bebal model apa pun, mereka adalah penjamin keberlangsungan sebuah tim sepak bola menjadi roda bisnis yang besar. Anda bisa mempunyai Lionel Messi, Neymar Jr., dan Luis Suarez dalam satu tim, tapi bayangkan, apa jadinya Barcelona tanpa para suporter setia mereka?
Yuli Sumpil, salah satu pentolan Aremania di Malang, suatu kali, dengan nada bicaranya yang mendayu tapi terkesan serampangan itu, pernah berujar bahwa manajemen bisa salah, pemain bisa salah, dan di situlah tugas suporter untuk mengkritisi, memarahi, memaki, mencaci dan bahkan bila perlu, melakukan boikot yang merugikan tim. Tapi, apakah suporter bisa salah?
Tentu saja suporter bisa salah, karena mereka adalah garda depan dari penjamin citra sebuah tim sepak bola. Dan dengan menjadi garda depan, Anda akan rentan melakukan kesalahan.
Misalnya begini, ketika sekumpulan suporter Paris-Saint Germain melakukan pelecehan rasial pada suporter Chelsea di sebuah stasiun bawah tanah di Paris beberapa waktu silam, siapa yang menanggung malu? Suporter itu sendiri atau klub?
Suporter adalah penjaga citra sebuah klub karena jumlah mereka yang banyak. Cara mereka berkumpul yang biasanya bersifat komunal dan mampu melakukan image branding bagi klub sepak bola yang mereka cintai.
Mudahnya begini, Anda bisa pakai atribut Persib Bandung. Ketika atribut itu menempel di badan, secara tidak langsung, Anda menjadi agen penjaga citra sebuah klub. Orang akan menilai Anda dari apa yang Anda pakai, dan apa yang Anda pakai, mencerminkan identitas Anda.
Di titik itulah kenapa seharusnya kita berkata dengan lantang dan jelas bahwa sikap Mauro Icardi di biografinya tentang konfrontasi dengan Curva Nord 1969 adalah sikap yang kurang tepat.
Alih-alih merasa bahwa dirinya adalah pahlawan di ruang ganti karena berkonfrontasi dengan ultras yang keras kepala, Icardi, pemuda 23 tahun itu, justru perlu merasa bahwa apa yang ia berikan selama ini untuk Internazionale Milano sama sekali tak sebanding dengan sikapnya yang berani terhadap ultras.
Benar bahwa ultras, terutama di Italia dan Amerika Latin, acap kali dihuni beberapa manusia bebal yang brengsek dan menyebalkan. Tapi kembali ke makna di atas, suporter brengsek itulah yang menjamin bahwa klub masih berjalan dan bisa membayar gaji pemainnya.
Bayangkan saja, Anda mencetak dan menjual ratusan, bahkan ribuan jersey pemain dan tidak ada satu pun suporter yang membeli, mau bagaimana manajemen memutar uang untuk menjaga neraca keuangan tim?
Bayangkan lagi, untuk sebuah laga kandang, Anda menyiapkan sekian puluh ribu tiket untuk suporter tuan rumah dan tidak ada satu pun yang membeli dan dating. Mau jadi apa rasanya atmosfer stadion nantinya ketika laga berjalan?
Brengsek dan bebal adalah sifat mutlak suporter. Belum lagi kalau mereka adalah sekumpulan hooligans dari Britania yang gemar berteriak lantang, menenteng bir di jalanan sembari mengumpat “fuck off you bollock!” ke siapa saja yang mereka temui di jalan.
Tak perlu pledoi untuk Icardi
Bagi saya pribadi, masalah Icardi dan ultras Internazionale adalah hal sepele yang sebenarnya, agak berlebihan. Yang menjadi soal, Icardi adalah kapten tim dan yang ia tuding dengan lantang sebagai pihak yang dikonfrontasi adalah ultras.
Dari beberapa tim besar di Italia, saya ambil contoh dua, yaitu AS Roma dengan Francesco Totti dan Juventus dengan Gianluigi Buffon. Ada di titik mana pengaruh jabatan kapten Icardi dengan dua nama di atas? Benar bahwa ia baru berusia 23 tahun, tapi usia tidak pernah menjadi penanda kedewasaan seseorang.
Menjadi kapten adalah simbol mutlak bahwa secara taktis, Anda wakil dari pelatih di lapangan. Secara esensi, Anda adalah citra sebuah klub itu sendiri. Seperti Totti untuk Roma, Steven Gerrard untuk Liverpool, Carles Puyol untuk Barcelona, dan masih banyak lagi.
Sikap Icardi, yang mengungkit konfrontasinya dengan Curva Nord pada tahun 2015 lalu adalah pernyataan yang kurang tepat karena satu hal. Alumnus La Masia ini belum memberikan satu pun hal berharga untuk Internazionale, kalau standar yang kita ukur adalah trofi.
Mencopot jabatan Icardi sebagai kaptn adalah opsi yang bagus, walau tak sepenuhnya bijak karena akan memengaruhi mentalitas tim yang sudah kepalang bobrok.
Pihak klub sendiri sudah merilis permintaan maaf Icardi dan menyatakan akan memberi sanksi denda bagi sang kapten untuk meredakan kasus ini. Tapi pertanyaannya, apakah ini cukup untuk menenangkan para ultras keras kepala yang bebal dan banal itu?
Menjual Icardi adalah opsi yang paling tepat, sebenarnya, walau mungkin tak akan dilakukan oleh manajemen dalam waktu dekat. Icardi bukan pemain yang tidak akan tergantikan.
Klub kota Milan ini pernah memiliki Ronaldo Nazario, Hernan Crespo, Christian Vieri, Zlatan Ibrahimovic hingga Samuel Eto’o dan Diego Milito. Mencari satu pengganti Mauro Icardi yang bahkan tidak dilirik timnas senior Argentina adalah hal yang tidak sulit betul.
Awal musim panas yang lalu, Icardi dan sang agen, yang tak lain adalah istrinya, Wanda Nara, sudah membuat pusing kepala manajemen dengan rumor kepindahannya yang berhembus kencang dan sikap sang istri yang piawai menarik ulur saga transfer ini untuk menaikkan nilai kontrak Icardi di Internazionale.
Satu hal yang perlu Icardi tahu betul sebelum menulis dengan berani di bukunya sebagai “acclaimed as a hero” adalah menengok sebentar ke kota Roma, menilik capaian Francesco Totti selama menjadi Il Re di Roma, mengambil cermin, lalu merutuki dirinya sendiri karena terlalu tolol.