Semburat senja yang harusnya menyapa gang-gang sempit, padam sebelum waktunya. Tertutup oleh bayangan gedung-gedung tinggi menjulang nan angkuh. Rumah-rumah kumuh beratapkan seng yang terletak di atas rawa-rawa pinggir sungai pun tampak lesu. Bau ikan, pemulung, teriakan para pekerja pelabuhan dan stigma lingkungan kriminal pun diterima dengan anggukan kepala yang khusyuk.
Ketika matahari terbenam seutuhnya, lampu-lampu kota tampil dengan cantik dan tepian dermaga usang di pinggiran Bangkok itu kian gemuruh. Sorak-sorai yang siang terjadi di dek-dek kapal itu berpindah haluan. Menuju sebuah tempat di mana utopia yang selama ini dicari terlihat jelas.
Semua sama dengan balutan jersi berwarna biru yang melebur dengan jingga. Riuh rendah teriakan yang senada dan keringat yang mengucur takkan pernah dianggap sia-sia karena di sana, mereka bisa mendukung tim kebanggaan, Port FC.
Pelabuhan, Khlong Toei dan Port FC
Sejarah panjang pelabuhan di Thailand bisa ditelusuri ke era sebelum berjayanya Kerajaan Ayutthaya. Sungai Chao Praya yang membelah kota merupakan nadi perekonomian. Secara berurutan, di bawah Kerajaan Ayutthaya, Dinasti Tounggoo hingga Raja Rama I, area ini menjadi sentral.
Pada 1951, Port Authority of Thailand atau biasa disebut PAT didirikan sebagai badan otonom di bawah pengawasan umum Kementerian Transportasi dan Komunikasi. Menggarap banyak proyek, mulai dari pembangunan Laem Chabang di Chonburi hingga pengembangan Khlong Toei di Bangkok.
Khlong Toei adalah dataran yang rendah, hampir menyerupai rawa dan dipenuhi genangan sampah. Daerah yang memiliki sanitasi buruk ini dihuni oleh kurang lebih 100.000 jiwa. Pemandangan bak dua mata uang yang kontras di salah satu distrik ibu kota.
Khlong Toei adalah magnet mata pencaharian pada tahun 1950. Ribuan orang berbondong-bondong mencari pekerjaan di sekitaran Sungai Chao Praya. Selain faktor tersebut, tempat ini menetapkan sistem sewa tanah dengan biaya yang sangat rendah.
Bangkok mengalami peningkatan pesat mulai dekade 1970-an. Hal ini berbarengan dengan kemajuan PAT dalam pembangunan di Khlong Toei. Upaya ini dilakukan agar kapal besar bisa langsung mampir ke pusat ibu kota. Salah satunya lewat pelabuhan Bangkok di distrik Khlong Toei. Hal ini membuat para pejuang Bath (mata uang Thailand) semakin tergoda. Pembangunan illegal di kawasan Khlong Toei pun meningkat sehingga stigma kumuh hadir sesudahnya.
Di balik keriuhan Khlong Toei yang kumuh, sepakbola tetap pada jati dirinya sebagai hiburan dan pelepas penat. PAT seakan mendengar dan menampung semua itu sampai akhirnya pada 1967 mereka mendirikan klub sepakbola dengan nama serupa.
Di tahun-tahun awal kiprahnya, ada segudang prestasi yang sanggup dibungkus. Mereka menjuarai Kor Royal Cup, yang merupakan level tertinggi dalam sepakbola Thailand pada tahun 1916-1995 sebelum Thai League 1 diperkenalkan pada 1996. Hebatnya, Port FC mampu menahbiskan sebagai tim terbaik dengan membawa pulang gelar ini sebanyak delapan kali.
Kor Royal Cup sendiri diubah oleh federasi sepakbola Thailand (FAT) sebagai ajang yang mempertemukan kampiun Thai League 1 dan Piala FA Thailand per musim 2017 silam (semacam Community Shield di Inggris).
Budaya Kemiskinan
Sudah menjadi rahasia publik kalau sepakbola Thailand sangat terbuka kepada investor. Para pengusaha yang gila sepakbola atau sekadar ingin mencari profit dari cabang olahraga satu ini pun tak ragu untuk menanamkan modalnya.
Ambil contoh Chiangrai United yang disusui oleh perusahaan minuman keras, Singha Beer, dan menjelma menjadi salah satu klub kaya di Negeri Gajah Putih.
Relokasi pun menjadi hal yang wajar di kancah sepakbola Thailand. Pada 2018 lalu, Pattaya United berubah nama menjadi Samut Prakan City sekaligus berpindah markas. Praktik semacam ini dilakukan karena di markas lama, sebuah klub tak beroleh dukungan masif atau terkendala masalah finansial sehingga relokasi menjadi satu-satunya opsi yang tersedia guna lepas dari masalah tersebut.
Dalam peta sepakbola Thailand, investor sangat dipersilakan. Hal ini sejalan dengan peraturan baru FAT pada 2009 yang menyatakan bahwa semua tim profesional di Negeri Gajah Putih harus terdaftar sebagai perseoran terbatas.
Akibat kebijakan tersebut, banyak tim yang melakukan rebranding atau pindah markas. Misalnya The Provincial Electricity Authority (PEA), kesebelasan yang kemudian jadi raksasa sepakbola Thailand dengan nama Buriram United. Ada juga Bangkok University FC yang lantas bertransformasi jadi Bangkok United.
Hal ini juga berimbas kepada Port FC yang kala itu masih bernama PAT dan berganti nama sebagai Thai Port FC. Sempat mengalami masa-masa gelap karena perselisihan antara PAT dan Thai Port FC Company (PAT menyatakan bahwa mereka tidak pernah menyerahkan tim secara resmi kepada Port FC Company) sedangkan pihak satunya mengklaim bahwa perusahaan negara dilarang mengoperasikan sebuah klub sepakbola.
Sedikit berbeda dengan sepakbola Indonesia, pengelolaan sepakbola di Thailand betul-betul didasarkan pada sisi industri. Sepakbola bukan semata hiburan tapi sebuah hal yang jika dikelola dengan baik, malah dapat mendatangkan profit (di banyak aspek).
Kendati demikian, seperti di Indonesia, sepakbola Thailand juga tetap lekat dengan infiltrasi politik. Nualphan Lamsam adalah seorang politisi, pengusaha sekaligus presiden klub Port FC. Dirinya merupakan eks Asisten Sekretaris Jenderal Partai Demokrat medio 2006-2016 dan kini masih tercatat sebagai anggota dari partai tersebut.
Bedanya dengan politisi yang ada di Indonesia, perempuan berusia 53 tahun yang sering dipanggil Madam Pang ini sangat serius menangani Port FC. Ia tak menjadikan klub miliknya sebagai kendaraan politik belaka.
Pada 2015, Madam Pang hadir layaknya katarsis baru untuk Port FC. Satu-satunya yang membedakan adalah klub berjuluk The Port Lions ini sangat anti dengan relokasi. Mereka masih mempertahankan Stadion PAT sebagai tempat menjamu lawan dan penduduk Khlong Toei sebagai basis pendukung yang amat militan.
Rumah-rumah padat penduduk yang diisi oleh pekerja berketerampilan rendah, distrik berbahaya dengan tingkat kekerasan yang tinggi dan juga pengedaran narkoba di dalamnya adalah hal utama jika disuguhi kata Khlong Toei.
Akan tetapi, sebagaimana kelas pekerja dalam linimasa sejarah panjang sepakbola, mereka mencari arti hidupnya melalui sepakbola. Khlong Toei dan Port FC adalah keterkaitan yang tak bisa dilepas.
Musuh abadi Khlong Toei Army, sebutan bagi fans Port FC, adalah Ultra Muangthong, faksi pendukung Muangthong United. Entah latar belakang yang keras atau karena perselisihan stigma miskin dan kaya, rivalitas di antara mereka menyeruak dengan aroma kebencian yang kental.
Sempat pada edisi 2017, pertandingan mereka dimainkan secara tertutup. Hal ini menjadi unik lantaran sangat jarang terjadi rivalitas yang mengakar di antara klub-klub Thailand lantaran relokasi demi relokasi yang kerap kali terjadi.
Dilansir dari FBTG, Ultra Muangthong melihat Khlong Toei Army bak Dockside Hooligans dengan stigma yang selalu melekat kala membicarakan tempat tersebut. Di sisi lain, Khlong Toei Army melihat fans Muangthong secara keseluruhan seperti si kaya yang hanya ada ketika klubnya berjaya.
Mau bagaimana pun lingkungan Khlong Toei, kini mereka jadi klub mapan sejak Madam Pang datang. Semuanya begitu bertolak belakang dengan apa yang disajikan Khlong Toei dalam keseharian. Uniknya, pendukung The Port Lions tak mendaku diri sebagai representasi kelas pekerja. Kenyataan ini tentu berkebalikan dengan kultur di Eropa.
Port FC menjadi sebuah anomali di sepakbola Thailand yang mulai gemerlap oleh kedatangan para investor. Mereka tetap bermain di Stadion PAT yang berkapasitas kecil dan ogah melakukan relokasi karena merasa bahwa distrik Khlong Toei, segelap apapun realita di sana, adalah rumah sejati bagi The Port Lions. Segala suka dan duka, akan mereka nikmati di sana.