Di awal artikel ini perkenankan saya untuk terlebih dahulu mengutarakan alasan mengapa saya begitu mencintai PSM yang notabene bukan tim dari kota saya lahir maupun berdomisili. PSM berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan, sedangkan saya lahir, tumbuh dan berdomisili di kota Rembang serta Semarang (tempat saya menimba ilmu di perguruan tinggi), keduanya berlokasi di Jawa Tengah.
Bagi sebagian orang, hal semacam ini mungkin terasa unik. Pasalnya, kondisi yang membuat kita menyukai kesebelasan sepakbola tertentu acap didasari oleh faktor kedaerahan maupun lingkungan sosial. Misalnya saja, seseorang yang tumbuh dan besar di kota Bandung, maka 99% pasti menjadikan Persib sebagai klub kebanggaannya.
Fenomena di atas tentu jauh berbeda dengan saya yang bocah asli Jawa Tengah, tapi justru memfavoritkan sebuah klub yang jauh dari tempat lahir dan domisili saya.
Ada dua alasan mengapa saya menjadikan PSM sebagai klub favorit di kancah sepakbola nasional. Pertama, terkait dengan kostum Juku Eja yang berwarna merah, kelir tersebut adalah kesukaan saya. Konon, menjadi perlambang keberanian dan kejantanan.
Kedua, berhubungan dengan idealisme. Pada titik ini saya menilai PSM merupakan klub yang memiliki nilai dan prinsip lantaran punya relasi kental dengan budaya dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat setempat. Hubungan itu diejawantahkan dalam wujud karakter bermain di lapangan sampai gaya dukungan suporternya yang kental dengan budaya dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Makassar. Berani, lugas, pantang menyerah, dan menjunjung tinggi siri’.
Secara historis, PSM merupakan klub tertua di Indonesia karena berdiri sejak tahun 1915. Dalam perjalanannya, Juku Eja beberapa kali menorehkan tinta manis dalam buku sejarah sepakbola nasional.
PSM pernah menahbiskan diri sebagai yang terbaik di era perserikatan sebanyak 5 kali (1956/1957, 1958/1959, 1964/1965, 1965/1966, 1991/1992), 1 kali jadi kampiun Liga Indonesia (1999/2000), serta 1 kali menjuarai Piala Indonesia (2018/2019). Selain itu, PSM juga tercatat sebagai klub yang meraih gelar runner-up Liga Indonesia terbanyak yakni 5 kali.
Dengan segala prestasi dan pergumulan sejarah, pantas jika menyebut PSM sebagai salah satu klub besar di Indonesia sebab lekat dengan cerita manis, kejayaan dan trofi juara. Namun apesnya, sudah dua dekade klub yang bermarkas di Stadion Mattoanging ini lupa rasa nikmat mengecup trofi kampiun liga.
Bagi klub sebesar PSM, 20 tahun puasa gelar liga adalah problem yang mesti dituntaskan. Mengingat PSM disokong oleh manajemen yang profesional, ditunjang materi pemain yang berkualitas, dilatih oleh juru strategi berpengalaman, dan senantiasa didukung jutaan suporter fanatiknya, dahaga itu bisa dibereskan musim ini.
Saat meraih gelar Liga Indonesia musim 1999/2000, PSM adalah klub bertabur bintang, perpaduan bintang lokal dengan label andalan tim nasional Indonesia, dan sejumlah penggawa asing berkualitas. Aji Santoso, Bima Sakti, Hendro Kartiko, Kurniawan Dwi Yulianto, Ortizan Solossa, Rony Ririn, Carlos De Mello hingga Josep Lewono jadi tulang punggung Juku Eja.
Keberadaan mereka memudahkan Henk Wullems untuk meracik strategi dan membuat PSM menjelma sebagai tim yang mengerikan. Sepanjang musim 1999/2000, PSM Makassar mencatat total 21 kemenangan, 8 seri, dan hanya 2 kali merasakan kekalahan. Mencetak 53 gol dan hanya kebobolan 19 gol!
Musim ini, komposisi tim yang dimiliki oleh PSM tergolong mengilap dan tak kalah garang dengan era 1999/2000. Asnawi Mangkualam, Bayu Gatra, Ezra Walian, Ferdinand Sinaga, Hilmansyah, Miswar Saputra, Rasyid Bakri sebagai pemain lokal akan ditopang sejumlah penggawa asing layaknya Giancarlo Lopers, Husein El Dor, Marc Klok, dan tentu saja sang protagonis, Wiljan Pluim. Di bangku pelatih, duduk sosok pelatih berpaspor Kroasia, Bojan Hodak.
Dengan segala modal di atas, tak berlebihan jika PSM mematok target juara sekaligus mengulang prestasi dua dekade silam. Secara teknis, bisa dikatakan bahwa mereka cukup mumpuni untuk bersaing memperebutkan juara. Tidak ada masalah.
Hemat saya, salah satu problem akut yang masih mendera PSM adalah mentalitas. Berkaca pada rapor musim lalu, Asnawi dan kawan-kawan sangat lemah kala bermain tandang. Dari 17 kali laga tandang, PSM hanya mampu mengoleksi 3 poin, tanpa sekalipun meraih kemenangan. Capaian yang tentunya berbanding terbalik ketika PSM beraksi di Stadion Mattoanging. Rekor kandang Juku Eja musim lalu adalah 13 kemenangan, 2 kali imbang, dan hanya 2 kali menelan kekalahan.
Oleh karenanya, Hodak mesti menemukan solusi untuk problem ini. Senantiasa menang di kandang takkan berarti apa-apa jika PSM selalu terkulai lemas setiap kali melawat ke markas lawan. Tak lupa pula, seluruh elemen yang ada di tubuh PSM harus menyemai kembali semangat buat mengulang kejayaan dua dekade silam.