Red Square: Ketika Politik dan Propaganda Menetas di Lapangan Sepakbola

Udara suam berembus di sekitaran Red Square, Moskow. Musim panas tahun itu terasa lebih hangat dari biasanya, bahkan di negara yang berada dekat dengan kutub utara. Kala itu, Juli 1936, iklim dunia memang sedang tidak wajar. Ini ditandai dengan naiknya temperatur di beberapa wilayah tak terkecuali Moskow, Uni Soviet.

Tepat di awal bulan itu, rakyat Uni Soviet disuguhi hiburan berupa parade atlet-atlet kebanggaan negara yang berjuluk Beruang Merah itu. Di Moskow, ribuan orang berkerumun di Red Square untuk menyaksikan parade.

Di tengah iring-iringan atlet yang memasuki Red Square terdapat kereta kuda yang ditumpangi Vladimir Lenin bersama pemimpin Uni Soviet waktu itu, Joseph Stalin. Setelah iring-iringan itu selesai, Stalin akan menyaksikan sebuah laga sepakbola yang bersejarah.

Lima tahun sebelumnya, pemerintah Uni Soviet memperkenalkan Physical Culture Parade. Acara ini menyuguhkan atlet-atlet dari berbagi cabang olahraga yang akan menunjukkan kemampuannya di depan rakyat Uni Soviet. Parade ini berlangsung setiap tahun termasuk pada tahun 1936.

Alih-alih berupa hari olahraga, parade ini justru digunakan sebagai propaganda politik. Susan Grant dalam bukunya Physical Culture and Sports in Soviet Society: Propaganda, Acculturation, and Transformation in the 1920s and 1930 menjelaskan bahwa parade ini bukan seutuhnya acara olahraga, tetapi juga sebagi cara pemerintah untuk menarik simpati rakyat.

Acara tersebut melibatkan isu-isu politik yang berkembang di masyarakat seperti kesehatan, pertahanan dan keamanan, pendidikan, dan kesejahteraan buruh. Semuanya telah disusun sedemikian rupa agar propaganda bekerja dan juga diawasi secara ketat oleh rezim Stalin.

Begitu juga laga sepakbola yang dipertandingkan tidak lepas dari politik. Pertandingan antara Spartak dan Dinamo pada parade itu mempresentasikan persaingan antara dua kelas sosial yang berbeda. Di satu sisi, Spartak mewakili masyarakat umum yang tidak terkait dengan pemerintahan. Sementara Dinamo melambangkan rezim itu sendiri karena tim ini dibiayai oleh polisi rahasia Uni Soviet, NKVD.

BACA JUGA:  Koin yang Memberi Kejayaan Bagi Italia di Piala Eropa 1968

Pertandingan sepakbola ini diinisiasi oleh Aleksandr Kosarev, seorang pemimpin Komsomsol, sebuah organisasi pemuda di bawah Partai Komunis Soviet. Ia merupakan teman dari pendiri Spartak, Nikolai Starostin.

Starostin, yang juga menjabat sebagai presiden klub menyadari bahwa tanpa dukungan orang penting di negara itu, klubnya tidak akan dapat bertahan. Karena mayoritas orang-orang Spartak merupakan warga biasa, sang presiden harus terus mendekati pejabat negara termasuk Kosarev.

Untuk tempat pertandingan, Starostin menyiapkan karpet raksasa sebagai lapangan buatan yang akan menutupi Red Square. Karpet hijau raksasa seukuran lapangan sepakbola sungguhan ini terdiri dari karpet-karpet kecil yang dijahit. Sebanyak 300 atlet Spartak dipekerjakan untuk menggarap lapangan buatan ini.

Lapangan buatan ini harus diuji coba terlebih dahulu sehari sebelumnya untuk meyakinkan pihak polisi rahasia bahwa lapangan ini dapat digunakan. Starostin memanggil seluruh pemain cadangan Spartak untuk mencoba lapangan. Tak hanya sekadar berlari atau menggiring, para pemain cadangan itu diminta untuk jatuh di atas lapangan.

Menurut biografi Starostin, seorang pemain bernama Aleksei Sidorov melaksanakan perintah untuk melompat dan jatuh di atas lapangan. Ketika ia ditanya apakah sakit atau tidak setelah jatuh, Sidorov menimpali bahwa ia baik-baik saja dan menawarkan untuk jatuh sekali lagi guna menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

Esoknya, sesaat sebelum pertandingan dimulai, Starostin melihat paha Sidorov penuh memar. Namun dengan bantuan Kosarev, polisi rahasia akhirnya sepakat bahwa pertandingan antara Dinamo dan Spartak layak untuk dilaksanakan.

Starostin dan Kosarev tidak ingin mengecewakan Stalin dan para pejabat Partai Komunis Soviet. Mereka merencanakan pertandingan itu akan diwarnai tujuh gol. Pemain-pemain Spartak diberikan instruksi untuk tidak melayangkan tekel dan tidak boleh menunjukkan rasa sakit meskipun memang si pemain merasa sakit karena lapangan yang tidak standar.

BACA JUGA:  Mengenal W Series, Arena Balapnya Kaum Hawa

Sementara itu, Kosarev berdiri di samping Stalin sambil melambaikan sapu tangan ketika sang pemimpin Uni Soviet tersebut terlihat bosan.

Benar saja, sesuai seknario, tujuh gol mewarnai pertandingan tersebut dengan skor akhir 4-3 untuk kemenangan Spartak. Ada yang tidak beres ketika pertandingan yang rencananya hanya akan berlangsung 30 menit malah berjalan selama 43 menit.

Namun beruntung bagi Kosarev dan Starostin karena secara keseluruhan, pertandingan tersebut berjalan dengan baik sehingga mereka tidak harus berurusan dengan pemimpin Uni Soviet yang terkenal bertangan besi itu.

Sayangnya, keberuntungan Spartak habis pada tahun 1938. Aleksander Kosarev yang melindungi klub itu dieksekusi karena dekat dengan kepala NKVD, Nikolai Yezhov. Yezhov sendiri disalahkan atas perbuatannya mengeksekusi ribuan tentara Soviet padahal Perang Dunia Kedua sudah di depan mata.

Selanjutnya, posisi Yezhov sebagai kepala NKVD diganti oleh Levernty Beria yang akan melanjutkan mimpi buruk Spartak. Beria sangat membenci Spartak yang mewakili rakyat jelata Uni Soviet. Ia memaksa beberapa atlet Spartak untuk mengakui bahwa Nikolai Starostin dan ketiga saudaranya merencanakan pembunuhan kepada Stalin saat pertandingan di Red Square berlangsung.

Starostin bersaudara akhirnya diasingkan atas tuduhan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Namun mereka direhabilitasi kembali setelah Stalin meninggal pada 1953.

Begitulah secuil kisah tentang sebuah pertandingan aneh sarat dengan unsur politik dan propaganda yang mewarnai sejarah sepakbola Uni Soviet.

Komentar
Pendukung Persiba Bantul dengan akun twitter @AndhikaGila_ng