Tidak ada manusia yang suka dengan perselisihan. Tidak ada manusia yang suka hidup dan berkembang di tengah masyarakat yang penuh kecurigaan. Kecuali mungkin Anda provokator yang hidup dari uang darah, atau mempunyai kelainan jiwa.
Sepak bola Indonesia tak lepas dari masalah tersebut. Mulai dari jajaran pemangku jabatan, masalah kekerasan suporter, hingga kisruh dalam tubuh manajemen klub. Memelihara masalah sudah seperti kebiasaan. Seperti masokis, yang menikmati rasa sakit.
Kanker di dalam tubuh pemangku jabatan
Jika merunut ke belakang, masalah tersebut sudah ada sejak masa-masa Perserikatan dan Galatama. Fajar Junaedi menyebutnya sebagai kegagalan swastanisasi sepak bola Indonesia, yang jejak-jejak masalahnya masih bisa ditelisik hingga saat ini.
Perserikatan adalah sebuah kompetisi amatir yang diikuti entitas perserikatan dari berbagai kota di Indonesia. Setiap entitas ini memproduksi para pemainnya dari klub-klub yang berada dalam naungannya. Fasilitas daerah banyak digunakan untuk jenis kompetisi ini.
Sementara itu, Galatama merupakan kompetisi semiprofesional. Klub-klub yang berpartisipasi dalam kompetisi ini didirikan menggunakan modal dari para pengusaha, atau boleh dibilang sebagai pemilik.
Seiring jalannya waktu, klub-klub dari Perserikatan lebih bisa bertahan hidup lantaran mendapatkan kucuran dana dari keran APBD. Sebaliknya, para klub Galatama harus bernapas dengan susah payah hanya untuk bertahan hidup. Modal yang besar dibutuhkan untuk bertahan, namun tak semua pengusaha mampu menanggungnya.
Melihat situasi tersebut, maka dileburlah para klub-klub tersebut dalam satu kompetisi bersama (unifikasi). Penggabungan tersebut justru tak berbuah baik, ketika pada tahun 2011, pemerintah menetapkan bahwa klub tak boleh lagi menikmati kucuran dana dari “uang rakjat” tersebut.
Alasannya, dana besar dari APBD justru tak terserap oleh klub dengan baik. Maraknya aksi korupsi menjadi salah satu sentimen yang memaksa pemerintah menghentikan suntikan dana segar tersebut. Akibat negatif masalah ini masih terasa hingga saat ini.
Selain masalah klasik soal Perserikatan dan Galatama, kita juga disuguhi drama memuakkan di tampuk pimpinan PSSI. Mulai dari masa Nurdin Halid, hingga La Nyalla Mattalitti. Politik, merupakan salah satu bumbu biadab yang membuat bau bangkai kejahatan di puncak Olympus PSSI tak kunjung hilang.
Jangan lupa, pembekuan dari FIFA tentu salah satu bab sumir yang harus terus diceritakan sebagai pengingat. Seperti kanker, jika sumber penyakitnya tak diangkat tuntas, tubuh akan digerogoti, lalu mati.
Masalah klub, masalah kita
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Apa yang Perlu Dilakukan Jika Pembekuan PSSI Dicabut?”, Sirajudin Hasbi berbicara bahwa:
“Klub bisa menjadi pusat dari segala kegiatan sepak bola Indonesia. Klub yang secara reguler berkompetisi di liga maupun turnamen yang dirancang oleh federasi dan operator liga.”
Artinya, pembenahan klub merupakan oli roda kompetisi. Tanpa ada klub dengan manajemen yang sehat dan baik, tidak akan ada kompetisi yang langgeng. Klub yang sehat akan menjadi magnet suporter untuk datang ke stadion. Ekonomi bergerak dan bertumbuh.
Pembenahan bukan hanya dari sisi “kamar manajemen”, klub juga harus membenahi kehidupan akademi. Menjadi kelangsungan dan ketersediaan pemain muda yang berkompetisi dalam liga yang profesional akan menjadi keuntungan tersendiri. Mulai dari U-15, hingga U-19 perlu diperkuat.
Nah, selain masalah dalam tubuh internal, klub juga bermasalah dengan pemangku kepentingan. Tengok sejarah perlawanan Bonek dan Persebaya Surabaya terhadap brengseknya para pemangku jabatan. Masalah ini masih terjadi dan akan terus membara.
Situasi negatif seperti di atas tak akan membuat roda kompetisi berputar sempurna. Selalu ada ganjalan yang membuat roda tersebut rusak di tengah jalan. Padahal, pemangku jabatan dan klub harus saling mengisi. Saling menumbuhkan, karena keduanya saling membutuhkan.
Klub membutuhkan PSSI untuk menggelar kompetisi yang profesional dan berkelanjutan. Sedangkan PSSI membutuhkan klub untuk menjalankan kompetisi tersebut. Mungkin kompetisi akan tetap berjalan meski ada satu atau beberapa klub yang dinyatakan “ilegal”.
Namun percayalah, masalah itu seperti api dalam sekam. Suatu saat akan terbakar dan menghanguskan “para pendosa”. Kompetisi akan dicederai dan tak berjalan dengan profesional, sekadar mana suka saja.
Perlu menjadi catatan juga, para pemangku jabatan juga punya andil dalam dualisme klub yang terjadi. Pelik.
Suporter haus darah
Ini masalah klasik. Sejak saya masih harus digendong oleh bapak ketika memasuki stadion, hingga bisa mendobrak pintuk stadion untuk momen “jebolan”, masalah kekerasan suporter sepak bola sudah begitu akrab.
Biang masalah cukup beragam. Menurut pengalaman yang saya rasakan, setidaknya ada tiga biang utama, yaitu gengsi daerah, solidaritas, dan para pemburu adrenalin. Biang terakhir ini masih berkorelasi dengan paragraf pertama kalimat ketiga tulisan ini, yaitu antara provokator dan kelainan jiwa. Kekerasan seperti menjadi candu. Bukan lagi ditunggu untuk pecah, melainkan dicari.
Gengsi daerah berbicara soal batas-batas geografis suatu daerah yang berdekatan, di mana suatu klub berdomisili. Persib Bandung dan Persija Jakarta, PSIM Yogyakarta dengan PSS Sleman atau dengan Persis Solo, dan lain sebagainya. Masalah ini mungkin akan sulit diatasi tanpa ada keyakinan dan keiklasan yang luas.
Solidaritas. Meski terdengar keren, solidaritas ini lebih berhubungan dengan sikap “ikut-ikutan”, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. “Kawan saja akan berproses bersama suporter lawan, maka saya harus membantu.” Kira-kira seperti itu. Bodoh sekali bukan. Saya bilang bodoh karena saya pernah dan berhasil melewati masa-masa suram tersebut.
Masalah ekonomi dan pengangguran boleh Anda masukkan di sini. Atau bahkan Anda boleh menambah daftar biang keladi ini di kolom komentar supaya bisa kita pikirkan bersama dan redam sampai ke akarnya.
Seperti manajemen klub yang mempunyai masalah eksternal, maka suporter juga begitu. Suporter jelas tak mungkin dilepaskan dari entitas sebuah klub. Maka, ketika klub disakiti oleh pemangku jabatan, suporter juga merasa terluka. Membela dengan segala cara.
Bahkan, banyak suporter di belahan dunia mana saja juga selalu bermasalah dengan otoritas keamanan. Jadi, masalah kekerasan suporter sepak bola terjadi dalam babagan yang luas dan kompleks. Mungkin diperlukan usaha seumur hidup untuk memedaakan bara dendam dan permusuhan tersebut.
Kalau sudah begitu, bagaimana cara mengatasi berbagai masalah di atas?
Satu tungku tiga batu
Beberapa hari yang lalu, salah satu media investigatif di Indonesia memaparkan salah satu “permusuhan suporter” paling panas di Indonesia, yaitu Bobotoh dan The Jak. Media tersebut menyajikannya dengan sangat baik, dramatis, dan sukses membuat dada saya berdesir.
Digambarkan masalah tersebut begitu susah untuk dipecahkan. Padahal, untuk menyelesaikan berbagai masalah di atas hanya dibutuhkan dua syarat, yaitu keluasan hati dan lingkar otak. Bahkan, contoh meredam konflik ada di depan mata, di tengah learifan lokal Indonesia yang berpadu, begitu harmonis dengan agama.
Cara menyelesaikan masalah di atas disajikan dengan begitu apik dalam buku Melawat ke Timur karya Kardono Setyorakhmadi, seorang jurnalis jempolan.
Di dalam bukunya, Kardono menyajikan fakta-fakta menyenangkan bahwa di daerah yang selama ini dianggap “penuh kekerasan” justru mempunyai penawar mujarab untuk, mungkin, hampir semua konflik horizontal di Indonesia.
Penawar yang mujarab tersebut bernama “satu tungku, tiga batu” yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Fakfak.
Konsep “tiga batu” merujuk pada pemeluk agama (Islam, Kristen, dan Katolik) yang sama-sama menunjukkan niat menjaga kerukukan beragama dan kehidupan sehari-hari. Konsep ini sifatnya harga mati dan begitu dihayati.
Sebagai gambaran, selama bulan Ramadan, angka kejahatan di Fakfak hampir nol. Semua menghormati bulan penuh berkah ini. Jika Anda tak percaya, silakan berkunjung ketika bulan Ramadan tiba. Anda akan mendapati budaya sungkan yang begitu dalam.
Ketika bulan Ramadan, orang Kristen tidak akan pernah makan, minum, atau merokok di depan orang Islam. Mereka akan menyingkir, misalnya masuk ke dalam rumah apabila ingin minum atau makan. Warung-warung akan tutup dengan iklas dan sendirinya tanpa ada paksaan dan razia yang kekanan-kananakan.
Ketika Lebaran tiba, orang-orang Kristen akan datang ke tempat salat Ied dilaksanakan. Mereka akan mengenakan peci dan sarung, jadi Anda akan susah membedakan mana yang Muslim, mana yang Kristiani. Mereka akan duduk mendengarkan khotbah, lalu memberi salam, bersalam-salaman selepas salat Ied usai.
Begitu pula ketika Natal menjelang. Saudara-saudara Muslim akan menjadi panitia gelaran Natal, mulai dari mengurus keamanan hingga berpartisipasi ketika misa atau kebaktian berlangsung. Mereka akan duduk di dalam gereja dan mengikuti ibadah dengan iklas, tanpa mempermasalahkan soal iman.
Bahkan tak jarang pula, saudara Kristiani akan menjadi panitia pembangunan masjid. Pada intinya, kesadaran akan perbedaan begitu tinggi, namun semuanya itu adalah bagian dari kehidupan sosial masyarakat yang perlu dirayakan. Saling menghormati adalah perkara mudah.
Tiga agama merupakan “tiga batu” yang menopang “satu tungku”. Sebuah analogi manis bahwa semua manusia yang hidup beranak-pinak di tengah masyarakat memerlukan suasana damai dan kondusif.
Supaya tungku tersebut mengasilkan masakan yang lezat, dibutuhkan bumbu yang tepat, dan terutama penyangga yang kokoh. Masalah iman adalah masalah sepele. Kekerasan dengan latar belakang agama dan dinamika sosial di Pulau Jawa menjadi terlihat seperti masalah anak kecil saja.
Masyarakat di Fakfak juga dengan sadar harus meredam potensi konflik yang disebabkan oleh biang eksternal. Misalnya ketika pecah kerusuhan Ambon, ada beberapa usaha provokasi untuk membuat Fakfak menjadi medan perang selanjutnya.
Namun, para tokoh agama dan adat bersatu padu, saling meneguhkan dan menjaga. Hasilnya, provokasi brengsek tersebut berhasil ditepis. Fakfak tetap aman, dan “tungku” tersebut terus mengepulkan aroma masakan yang tak hanya lezat, namun juga bergizi.
Salam damai untuk Indonesia
Lalu, bagaimana cara menerapkan konsep indah tersebut ke dalam dinamika sepak bola Indonesia?
Seperti yang saya singgung di atas, syarat dasarnya hanya ada dua, yaitu keluasan hati dan lingkar otak. Saya memaklumi, memaafkan sesama, apalagi konflik yang sudah terperam menjadi dendam sangat sukar untuk dilupakan. Manusiawi, lantaran manusia memang penuh kelemahan.
Untuk para pemangku jabatan, satu pertanyaan sederhana, “Apa tujuan menggelar kompetisi yang profesional dan sehat?”
Apakah hanya untuk melanggengkan kekuasaan demi mesin uang? Atau untuk hanya sekadar memuaskan hasrat pribadi, untuk berkuasa dan, kembali lagi, menjadi pohon uang?
Jika tujuan menggelar kompetisi adalah tujuan yang mulia dan dengan proyeksi masa depan, mengurangi dampak risiko pasti akan menjadi perhatian utama. Salah satunya dengan menyelesaikan masalah lama dan membuka lembaran baru untuk kebaikan sepak bola Indonesia.
Segala dosa tetap harus ditebus, baik secara hukum maupun sosial. Proses tersebut dibutuhkan supaya “kompetisi sebenarnya” bisa kita nikmati bersama. “Satu tungku, tiga batu” memuat proses musyawarah dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Selama ini, keputusan-keputusan bijak dan positif selalu berhasil dicapai.
Sederhana, bukan?
Untuk manajemen klub, prosesnya tak terlalu berbeda, yaitu kesadaran untuk duduk bersama untuk merangkum tujuan klub sebenarnya. Apakah hanya untuk kepentingan kantong-kantong tertentu? Atau akan dijadikan mesin politik yang berbau bangkai?
Jika tujuannya mulia, duduk bersama dan maju bareng-bareng bukan perkara yang susah. Niat untuk maju pasti akan menemukan jalan. Lantaran kembali ke manusianya, maka, betul, dibutuhkan keluasan hati dan lingkar otak. Untuk kali ini saya tambahkan: kejernihan niat!
Sederhana, bukan?
Untuk para suporter haus darah: Lupakan dendam, perkuat akar rumput di mana sumber kekuatan klub berasal, konsolidasi jernih dengan manajemen, dan bayarlah tiket pertandingan.
Konsep “satu tungku, tiga batu” mengajarkan kebersihan hati untuk menerima saudara kita yang berbeda agama untuk terlibat dalam prosesi ibadah. Ini bukan masalah iman lagi, melainkan lingkar otak untuk berlogika bahwa berproses bersama saudara beda agama tak akan mencoreng iman dan tabungan amalmu.
Maka, memaafkan dan memaklumi tragedi masalah lalu adalah langkah kecil. Langkah besar adalah iklas menggandeng tangan “mantan musuh” untuk bersama-sama memajukan sepak bola lokal. Dari lokal, menuju nasional, menjadi contoh di kancah internasional.
Sederhana, bukan? Menggandeng tangan tentu bukan perkara sulit.
Inti tulisan panjang ini sebenarnya sangat sederhana: ketika kamu mempunyai masalah, lihatlah sekelilingmu. Terkadang, penawar paling mujarab adalah sesama.