Luciano dan Hati yang Tertambat di Makassar

Bagi penggemar sepak bola Indonesia di dekade 1990-an dan 2000-an, nama Luciano Leandro adalah legenda. Pria asal Brasil ini terbilang sukses berkarier di Indonesia, dengan puncak karier sebagai juara Liga Indonesia 2001 bersama Persija Jakarta. Prestasi lainnya meliputi tampil di final bersama PSM Makassar pada tahun 1996 dan 1997. Atas semua prestasinya itu, sebuah situsweb sepak bola baru-baru ini memasukkan namanya sebagai satu dari lima pemain asing terbaik yang pernah merumput di Indonesia.

Dua dasawarsa kemudian, Luci kembali ke Makassar untuk menangani PSM, klub yang membesarkan namanya. Di berbagai media, termasuk di laman Facebook pribadinya, ia selalu menyebut kembalinya ia ke Indonesia sebagai “panggilan hati”.

Yap, sudah menjadi rahasia umum bahwa ibukota Sulawesi Selatan ini punya tempat tersendiri di dalam hati Luci. Putri pertamanya yang diberi nama Yasmin, konon terinspirasi dari hotel di Makassar bernama sama tempat ia dan istrinya sering menginap dulu.

Lebih jauh lagi, Luci dan istrinya, Denise, membuka sebuah hotel di Brasil yang diberi nama “Hotel Makassar”.

Sebenarnya sekitar tiga tahun lalu, saya pernah menulis tentang “Luciano dan Hotelnya” untuk Football Fandom (saat itu footballfandom.net). Namun, karena situsweb Fandom mengalami peremajaan atau reborn, tulisan saya itu hilang karena tidak terekam.

Mumpung para fans PSM Makassar sedang mengalami euforia kedatangan Luciano Leandro sebagai pelatih baru, tulisan berikut ini sengaja saya tampilkan lagi dengan sedikit perubahan.

Luciano dan Hotelnya

Ada yang pernah membaca novel sejarah-romantis karangan penulis terkenal asal Turki bernama Orhan Pamuk? Judulnya adalah The Museum of Innocence. Novel ini merupakan salah satu cerita fiksi favorit saya.

Berlatar belakang Turki pada pertengahan abad ke-20, alkisah seorang lelaki bernama Kemal terlibat cinta terlarang dengan seorang gadis remaja bernama Fusun. Berbagai konflik sosial di Turki kala itu membuat cinta mereka akhirnya kandas, terutama karena Kemal harus menikah dengan wanita lain. Pada akhirnya, Kemal tidak pernah bisa melepaskan semua kenangan tentang Fusun dari hidupnya.

Maka, semua obsesi terhadap Fusun dituangkan Kemal ke sebuah bangunan yang dibuatnya khusus untuk mengenang wanita itu. Bangunan tersebut diisinya dengan segala pernak-pernik yang berhubungan dengan diri perempuan yang sangat dicintainya itu.

Dari pakaian Fusun, hingga detil-detil kecil seperti puntung-puntung rokok yang pernah diisap gadis itu dikumpulkan dan diawetkannya. Semua diarsipkan secara rapi dalam bangunan yang disebutnya “Museum of Innocence”.

BACA JUGA:  Andrew Robertson dan Perjuangan Panjangnya

Menariknya, bangunan “Museum of Innocence” sendiri ternyata benar-benar ada di kehidupan nyata. Seperti halnya cerita di novelnya, bangunan ini benar-benar berlokasi di sebuah sudut kota Istanbul yang kumuh.

Rakyat Turki sendiri menganggap bahwa Masumiyet Muzesi alias “Museum of Innocence” sebenarnya merupakan pengejawantahan obsesi sebenarnya dari sang penulis, Orhan Pamuk, terhadap seorang wanita yang menjadi cinta terlarangnya. Apakah sosok Fusun benar ada atau tidak, hanya Tuhan dan penulis peraih Nobel Prize di bidang sastra itu yang tahu.

Nah, siapa yang menyangka bahwa suatu cerita dari dunia sepak bola ternyata benar-benar terjadi, dan mirip dengan Museum of Innocence. Cerita yang satu ini sebenarnya cerita lama, dan bukan lagi berita aneh bagi para penggila sepak bola nasional. Terutama para suporter fanatik PSM Makassar.

Ini tentang Luciano Leandro. Pemain asing asal Brasil yang sangat populer di akhir 1990-an dan awal 2000-an. Playmaker jenius ini menjadi kesayangan publik Makassar ketika menjadi runner-up Liga Indonesia ke-2  tahun 1996. Saat itu ia bahu-membahu dengan rekan senegaranya yang sekarang jadi pelatih legendaris, Jacksen F. Tiago.

Bersama PSM, Luciano mempersembahkan begitu banyak bagi tim Juku Eja. Luci, panggilan akrabnya, juga pernah memperkuat PSM di ajang Piala Champions Asia. Suporter PSM tidak akan pernah lupa akan penampilan uniknya dengan kuncir yang khas. Etos kerja dan tingkah lakunya yang selalu positif pun membuatnya menjadi pujaan suporter.

Luci akhirnya pindah ke Persija Jakarta, tapi ternyata cintanya pada kota Makassar sangat membekas. Atmosfer Stadion Mattoanging tidak pernah dilupakannya. Keramahan para penduduk kota Makassar juga selalu membuatnya merasa seperti di rumah sendiri. Apalagi, Makassar adalah kota tempat cintanya dengan istrinya, Denise, tumbuh dan berkembang. Hubungan keduanya pun menghasilkan seorang putri bernama Yasmin, yang juga lahir di ibukota Sulawesi Selatan tersebut.

Setelah memutuskan untuk gantung sepatu dan pulang ke kampung halamannya di Brasil, Luci memanfaatkan hasil tabungannya dari bermain sepak bola dengan membuka bisnis berupa sebuah hotel. Uniknya, hotel yang terletak di bilangan Araujo Macae, Rio de Janeiro tersebut diberinya nama “Hotel Makassar”.

Dari hasil wawancaranya dengan beberapa media ketika datang kembali ke Indonesia beberapa tahun lalu, Luci mengaku bahwa hotel yang dibangunnya pada tahun 2004 itu memang merupakan semacam memento untuk mengingatkannya pada kehidupan menyenangkan yang dialaminya semasa bermain di Indonesia.

BACA JUGA:  Munir, Omen, Fahreza, dan Potret Buram Penegakan HAM di Indonesia

Menurut penuturan pria itu, Hotel tersebut didesainnya lengkap dengan segala sesuatu berbau Makassar. Tidak hanya nama hotel, nama-nama ruangan dan kamar pun memakai istilah-istilah khas Sulawesi.

Di restorannya juga tersedia beberapa hidangan khas Makassar. Tidak lupa sebuah peta Makassar terpajang di pintu masuk agar tamu langsung mengetahui asal-usul nama hotel yang sama sekali tidak berbau Brasil.

Lalu, seperti halnya Orhan Pamuk dan karakter Kemal di cerita Museum of Innocence, Luciano Leandro memajang kenangan-kenangan masa lalunya di hotel tersebut. Berbagai foto lama dari masa kejayaannya di Liga Indonesia terpajang rapi di dalam ruangan-ruangan hotel.

Luci pastinya selalu ingin mengenang bahwa meskipun terpisah jauh oleh samudera, namun negara yang awalnya sama sekali asing baginya itu akhirnya menjadi rumah kedua yang berkesan baginya.

Di negara itu juga, ia pernah dicintai oleh masyarakat berkat sepak bola. Sebagai balasan untuk menunjukkan rasa cinta, Hotel Makassar akhirnya menjadi “Museum of Innocence”-nya terhadap negara bernama Indonesia tersebut.

Kisah Luciano Leandro ini sebagai pengingat bahwa sepak bola negara kita pernah menjadi surga bagi para pemain asing. Saatnya kita bersatu untuk mengembalikan kejayaan itu.

***

Artikel di atas pernah dimuat di http://www.footballfandom.net pada tahun 2013. Sekitar satu tahun kemudian, saya menemukan Luciano Leandro di Facebook. Saya sempat ragu apakah pemilik akun merupakan Luciano asli. Tapi setelah melihat foto-foto di laman FB itu kebanyakan foto-foto di Brasil termasuk situasi Hotel Makassar,

saya akhirnya memberanikan diri mengirimkannya link artikel di atas.

Saya mencoba mempergunakan bahasa Portugis yang saya peroleh dari Google Translate, isinya begini:

“Luciano, silakan baca artikel saya tentang hotel kamu di salah satu website di Indonesia. Semoga sukses selalu!”

Beberapa jam kemudian, Luciano membalas dengan bahasa Indonesia:

“Mahir, saya sudah membacanya. Beberapa rekan di Indonesia memberi linknya kepada saya. Terima kasih telah menulis tentang hotel saya. Sukses juga buat kamu.”

Membaca pesan itu membuat hati saya hangat. Tujuh belas tahun lalu, saya hanyalah seorang anak kecil yang menyaksikan aksi Luciano dengan mata berbinar-binar. Sekarang, saya dan para penggemar PSM lain berdoa yang terbaik demi Luciano, agar dia bisa mengembalikan kejayaan tim Juku Eja.

Komentar
Selalu percaya sepak bola bukan hanya 2 x 45 menit di lapangan hijau, melainkan juga filosofi sederhana yang bisa mengubah hidup manusia. Cintanya terhadap sepak bola tumbuh di stadion bersejarah yang dulu bernama Mattoanging, dan sampai sekarang tetap menjadi pendukung setia PSM. Pernah menerbitkan buku memoar perjalanan sepak bola berjudul Home & Away (2014).