Sejarah Klub, Sejarah Kota dan Muatan Lokal Pendidikan

“Berapa kali Persebaya berhasil menjadi juara dalam sejarah kompetisi sepak bola di Indonesia?” tanya Mas Kaji kepada audien sebagai ketika membuka Seminar Suporter Fanatik Berkode Etik. Tiga orang remaja serempak mengacungkan tangan. Moderator dengan sigap mendatangi masing–masing remaja tersebut untuk memberikan mikrofon pada mereka. Semua menjawab dengan seragam: dua kali.

“Yang saya maksudkan adalah keberhasilan Persebaya meraih juara, baik dalam kompetisi Perserikatan maupun Liga Indonesia sejak berdiri tahun 1927. Jadi, jawabannya belum ada yang benar,” papar Mas Kaji. Para peserta seminar yang diadakan Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) pada Sabtu 11 April 2015 di Kampus Unair, Surabaya terdiam sesaat. Mereka yang kebanyakan merupakan siswa sekolah menengah atas di Kota Pahlawan terlihat berpikir keras. Panitia seminar menyediakan beberapa eksemplar buku Merayakan Sepak Bola: Fans, Identitas dan Media sebagai tanda mata dalam sesi kuis yang dilangsungkan di awal, tengah dan akhir seminar.

Selang sekitar dua menit, Mas Kaji akhirnya memberikan kunci jawaban yang pasti. “Persebaya berhasil menjadi juara sebanyak enam kali, dengan perincian empat kali pada masa Perserikatan dan dua kali pada era Ligina,” begitu jelas Mas Kaji, mahasiswa tingkat akhir Ilmu Sejarah Universitas Airlangga yang menggeluti kajian tentang sejarah sepak bola di Kota Surabaya. Mas Kaji sendiri, bersama saya, merupakan pembicara pada seminar tersebut.

Generasi Z, demikianlah anak–anak muda yang datang dalam seminar tersebut biasa disebut. Mereka adalah generasi 2.0, generasi yang ditautkan melalui dunia digital yang interaktif. Mereka juga merupakan remaja-remaja yang antusias menjadikan klub sebagai identitas diri dan identitas kota yang membedakan generasi mereka dengan generasi sebelumnya. Sayangnya, mereka tidak mampu menjawab pertanyaan Mas Kaji. Apakah mereka salah karena tidak mampu menjawab?

BACA JUGA:  Apakah Pemain Argentina Mudah Homesick?

Menurut saya, tidak ada yang salah dengan ketidakmampuan mereka menjawab pertanyaan Mas Kaji. Alasannya sederhana, mereka adalah generasi yang dilahirkan pasca unifikasi Perserikatan dan Galatama yang tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang sejarah klub sepak bola di kota mereka dalam pendidikan sejarah dan/atau olahraga di bangku sekolah. Di sisi lain, justru mereka belajar tentang fanatisme terhadap klub dari pergaulan dengan sesama remaja yang sama–sama berasal dari generasi Z. Setelah tidak mampu menjawab pertanyaan pertama, para peserta seminar dengan antusias mengikuti semua paparan dalam seminar. Jelas, mereka haus akan sejarah Persebaya.

Kota, Sepak Bola dan Muatan Lokal Sejarah

Dalam beberapa tahun belakangan, di beberapa kota, muncul antusiasme yang besar dari generasi muda untuk meneliti sejarah sepak bola masing–masing kota. Di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Pasoepati Kampus secara aktif melakukan pengkajian tentang sepak bola di Kota Solo, terutama sejarah Persis Solo, klub raksasa pada dekade 1930-an. Beberapa kali sudah mereka melakukan diskusi di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS dengan difasilitasi Akhmad Ramdhon, dosen Sosiologi UNS.

Di Yogyakarta, Dimaz Maulana secara aktif menggerakkan pengarsipan sejarah PSIM Yogyakarta melalui Bawah Skor Mandala. Lewat media sosial dan situs internet, Bawah Skor Mandala menarasikan tentang romantisme PSIM sebagai “warisane simbah” (warisan nenek moyang) bagi penggemar PSIM. Tidak sekedar di dunia maya, Bawah Skor Mandala kini sedang berjuang mewujudkan mimpi membangun museum mini tentang PSIM di kawasan Warung Boto, Yogyakarta.

Dari pertengahan tahun 2014 sampai dengan awal 2015, dua kali Dimaz Maulana saya undang untuk masuk ruang perkuliahan yang saya ampu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan satu kali di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di UMY, melalui sebuah studium generale, antusiasme mahasiswa menyimak presentasi tentang aktivitas Bawah Skor Mandala dan sejarah PSIM sangat besar. Bahkan, karena melebihi kapasitas ruang sehingga terpaksa kursi dikeluarkan dari ruang dan para mahasiswa yang hadir duduk lesehan menyimak paparan. Di UIN Sunan Kalijaga, beberapa mahasiswa di luar kelas perkuliahan sengaja datang sehingga kursi di ruang kelas tidak mencukupi. Solusinya, kursi–kursi dari ruang kuliah lain yang sedang tidak dipakai diangkat oleh mahasiswa tersebut hanya untuk duduk menyimak paparan tentang sejarah sepak bola di Yogyakarta.

BACA JUGA:  Antara DBL dan LPI: Membandingkan yang Tidak Sebanding

Apa yang terjadi di Surabaya, Solo, dan Yogyakarta menjadi penanda antusiasme anak muda yang peduli terhadap sejarah klub sepak bola dan sekaligus sejarah kota mereka. Di Bandung, Jakarta, dan kota–kota lain, antusiasme anak muda tentang sejarah sepak bola lokal juga bergelora. Penerbitan buku Persib Undercover : Kisah – kisah yang Terlupakan (2014) oleh Aqwam Fiazmi Hanifan dan Novan Hefriyana menjadi salah satu bukti terbaik kecintaan anak muda pada sejarah klub dan sekaligus sejarah kota.

Klub–klub sepak bola di masing–masing kota telah menjadi bagian penting dalam membangun identitas kota. Saya membayangkan jika pemerintah kota melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menginsersi sejarah klub sepak bola di kota mereka dalam pelajaran sejarah atau olahraga sebagai bagian dari muatan lokal. Dengan demikian, fanatisme pada klub benar–benar menjadi fanatisme yang berideologis, bukan sekadar fanatisme banal yang berujung pada kebutaan pada sejarah. Memang tidak ada teori yang menyebutkan bahwa fanatisme banal menyebabkan kekerasan antar suporter sepak bola semakin merajalela, namun setidaknya, dengan memasukkan sejarah klub sepak bola sebagai muatan lokal, anak-anak muda generasi Z akan semakin paham akan kronik sejarah kota mereka.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.