Sepak Bola dan Krisis Identitas di Trenggalek

Di Jawa Timur klub sepak bola jumlahnya banyak sekali. Seperti tak terhitungnya jumlah Kota atau Kabupaten yang ada di Jawa Timur. Karena setiap Kota atau Kabupaten memiliki klub kebanggan daerah.

Di belahan Jawa bagian Timur, kita hafal luar kepala, nama-nama klub, misal, Arema Cronus di Malang, Persebaya di Surabaya, Persegres Gresik United, dan lain-lain. Lalu timbul pertanyaan, “Kalau Trenggalek nama klub sepak bolanya apa?” Hal yang wajar kiranya jika orang tidak (belum) tahu klub yang ada di Trenggalek.

Saya sendiri terakhir kali menginjakan kaki di Stadion Menak Sopal, Kelutan, Trenggalek, saat mengikuti pelatihan wasit C3 (regional) Kabupaten. Tepatnya tanggal 12-18 November 2012.

Saat itu persepakbolaan Indonesia sedang mengalami krisis. Terjadi  dualisme organisasi, PSSI dan KPSI. Artinya, saya telah lama sekali tak mencium bau keringat yang bercucuran para pemain berlarian di tengah lapangan. Sama lamanya menunggu nasib kompetisi nasional yang saat ini mati suri di semua jenjang.

Sebelum terlalu masuk ke dalam, tak ada salahnya jika mencari tahu, apa sih nama klub kota tanah (air) kelahiran saya, yang dikenal sebagai Kota Gaplek ini? Lalu apa sih prestasi yang pernah diraih di pentas nasional?

Sepak bola di kota Trenggalek, dengan klub Persiga prestasinya kalah moncer tinimbang tetangga serumpun, Perseta Tulungagung. Klub Perseta Tulungagung pernah menjadi kontestan di ajang Divisi Utama, juga memiliki ikon kebanggaan Yongki Ari Wibowo yang bermain di Indonesia Super League (ISL) dan pernah membela timnas.

Lalu, Trenggalek dengan klub Persiga-nya “hanya” menjuarai Divisi III, saat diketuai Akbar Abbas (PSSI Trenggalek). Selebihnya  merangkak di level kompetisi kelompok umur atau Piala Soeratin.

Tentu prestasi dan nama klub Persiga Trenggalek ini kalah telak dengan nama Bupati muda yang sekarang memimpin di Kota Trenggalek ini, yaitu Dr. Emil Elistianto Dardak, Msc., juga dengan istrinya.

Siapa yang tidak kenal dengan artis cantik Arumi Bachsin. Dia merupakan istri dari Bupati terpilih dalam Pilkada serentak 2015 lalu. Dan wakil Bupati termuda, bapak Muhammad Nur Arifin, yang dianugerahi Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pasangan Bupati dan Wakil Bupati Termuda se-Indonesia.

BACA JUGA:  Meraba Kans Juventus Musim Depan

Jika berbicara Pilkada Trenggalek lalu, ada satu “sektor” yang terlupakan dari serentetan janji kampanye dari pasangan muda tersebut. Yakni, tak mengoda untuk membantu persepakbolaan Trenggalek menjadi sebuah klub yang dibanggakan masyarakatnya.

Masyarakat Trenggalek yang memiliki lanskap dua dunia; latar maritim dan panggung agrarisnya sangat representatif dengan model masyarakat yang haus akan hiburan. Jika ada pertandingan besar di Stadion Menak Sopal, sudah bisa dipastikan, masyarakatnya berduyun-duyun pergi ke stadion.

Antusiasme warga Trenggalek akan hiburan yang bernama sepak bola sangatlah luar biasa. Galak Mania –Suporter Persiga– datang berbondong-bondong meramaikan stadion yang baru direnovasi tahun 2009. Saat Persiga mendapat lawatan tahun 2012 melawan timnas U-17 yang digawangi oleh Evan Dhimas, Putu Gede, Hargianto dkk, selepas menjuarai turnamen di Hongkong, stadion penuh sesak dipadati penonton.

Jika Gus Avin —sapaan akrab Wakil Bupati— pernah mengatakan “Kami disebut orang besar dan masyarakat menyebut mereka orang kecil. Padahal masyarakat berjumlah sangat besar dibanding kami. Bisakah kami yang berjumlah sangat sedikit, bisa mewujudkan impian Trenggalek tanpa didukung dari masyarakat? Oleh karena itu, mari kita wujudkan Trenggalek bersama.”

Saya kira, efek euforia Pilkada serentak, tak menyentuh “hati” suporter Galak Mania yang memiliki basis massa yang cukup besar. Kita mahfum, suporter sepak bola merupakan suatu kelompok masyarakat yang memiliki basis massa banyak.

Secara eksplisit suporter ini merupakan masyarakat besar. Seperti mata memandang kala Bobotoh atau Viking di Bandung dan Aremania di Malang maupun Bonek sedang berada di Surabaya di stadion. Jumlahnya dengan masaa kala peserta kampanye sebelas dua belas alias sama banyaknya.

Puguh Windrawan dalam buku Sepak Bola 2.0 (2016: 219) mengatakan suporter adalah salah satu stakeholders dalam sepak bola nasional yang selama ini terlupakan. Tanpa suporter, sebuah klub sepak bola bisa jadi kehilangan daya tawarnya di hadapan sponsor.

BACA JUGA:  Aksi Politik di Lapangan Hijau

Jika masyarakat —dalam hal ini suporter sepak bola Galak Mania— tersentuh dengan baik, maka tak mustahil persepakbolaan Trenggalek akan menarik perhatian para sponsor maupun investor untuk datang mengelola klub sekaligus mengelola sumber daya alam yang masih perawan, seperti klub kebanggaan Kalimantan, Pusamania Borneo FC (PBFC).

Jika Ahmad Dhani, cagub DKI berani sesumbar ingin mendatang Sir Alex Ferguson untuk melatih Persija Jakarta. Tak ada salahnya di Trenggalek diadakan turnamen pembinaan usia muda merebutkan Piala Bupati. Kalau bisa rutin setiap tahunnya. Minimal menjaring bakat-bakat alam di kota pinggiran ini. Seperti Sutiyoso masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dengan piala bergilirnya, Piala Emas Bang Yos.

Kala mendapat pemain lokal yang bagus, dan menjadi ikon kebanggaan daerah. Karena eksistensi seorang pemain sepak bola juga ikut mendongkrak identitas sebuah daerah. Eksistensi sebuah klub juga dapat mengangkat nilai budaya setempat. Sosok pemain lokal yang menjadi simbol tim juga merupakan representasi daerah.

Siapa yang tidak kenal dengan Boaz Salossa? Persipura tak sekadar tim yang dibelanya, tetapi juga rumah dan keluarga. Boaz juga menjadi ikon bagi masyarakat Papua. Jika ada sosok pemain muda potensial yang bisa menjadi ikon kebanggaan daerah, khususnya Trenggalek, bukan tidak mungkin, tak ada lagi istilah “Trenggalek (Persiga) Itu Di mana?”

Trenggalek itu ada dalam Peta, seperti yang ditunjukkan oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo selepas pelantikkan Bupati di Surabaya beberapa waktu lalu. Manakala ada ikon potensial dari Trenggalek, seperti Boaz, bukan tidak mungkin, “krisis identitas” tak tersematkan lagi di pundak masyarakat Trenggalek.

Karena sepak bola juga membawa kebanggaan daerah, juga simbol masyarakat setempat. Sudah saatnya Galak Mania kembali bersorak sorai dan nyanyikan yel-yel dan Persiga (di)galak(kan) kembali untuk menyalakan warna merah di tribun stadion.

 

Komentar
Seseorang yang lupa jalan pulang. Dulu pernah jadi wasit tarkam dan hampir dikeroyok penonton.