Usai dihancurkan Arsenal tiga gol tanpa balas (24/9), banyak pihak meragukan kualitas Chelsea musim ini di bawah asuhan Antonio Conte. Hari itu di Emirates, Chelsea hampir tidak memberi perlawanan di hadapan superioritas The Gunners.
Blunder Gary Cahill yang berujung gol pertama Alexis Sanchez, tidak berkutiknya Diego Costa di hadapan Laurent Koscielny dan Shkodran Mustafi, buntunya kreatifitas Eden Hazard, serta dikunci matinya pergerakan Pedro Rodriguez menjadi catatan penting hari itu.
Tapi publik lupa, Antonio Conte adalah orang Italia, alumnus Coverciano, yang salah satu syarat untuk lulus adalah menulis karya ilmiah tentang taktik sepak bola. Dan kalian tahu, Italia adalah surganya para manajer handal yang piawai taktik.
Salah satu catatan penting dari studi Conte di Coverciano adalah pemikirannya yang menemukan satu evolusi menarik tentang permutasi formasi 3-5-2 khas Italia, yang kemudian ia formulasikan sedemikian rupa dari formasi baku favoritnya, 4-2-4.
Tak seperti manajer Italia kebanyakan yang begitu konvensional dengan catenaccio, Conte, juga Max Allegri atau Vincenzo Montella adalah sedikit dari alumnus Coverciano yang menerapkan sepak bola yang “sedikit lebih modern”.
Coverciano mengajarkan Conte sesuatu yang diyakini banyak orang saat ini bahwa sejatinya, tidak ada pemain sepak bola yang bodoh. Intelligence Quotient (IQ) sepak bola yang diyakini hanya milik football genius macam Lionel Messi atau Juan Roman Riquelme adalah mitos belaka.
Karena sejatinya, hanya masalah kesediaan pelatih menyampaikan aspirasinya ke pemain dan keterbukaan pemain untuk bertanya ke pelatih tentang makna menu latihan dan instruksi di atas lapangan.
Dalam salah satu sesi wawancara di tengah persiapan Italia menghadapi pergelaran Piala Eropa 2016, Conte secara terbuka menyatakan opininya tentang gaya melatih. Saya kutipkan utuh sebagai berikut:
“Saya dulu bukan pemain seperti Zinedine Zidane atau Roberto Baggio yang bisa melakukan hal luar biasa ketika dikelilingi oleh lawan. Ketika bermain, satu hal yang selalu saya pikirkan adalah kerja keras dan kedisiplinan yang mampu membuat saya mengantarkan bola ke kawan di lapangan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, “Itulah kenapa pemain saya adalah sekumpulan pemain yang harus paham luar kepala tentang taktik dan instruksi yang saya berikan ketika latihan dan ketika pertandingan. Saya ingin pemain paham alasan taktik itu penting untuk dilakukan dan kenapa mereka harus mampu melakukannya dengan baik.”
Bukan alasan aneh jika kemudian Conte begitu menggemari Emmanuel Giaccherini untuk bermain di pos gelandang ketika banyak pelatih saat itu tidak mampu memaksimalkan potensi pemain kelahiran Bibbiena, Italia.
Dan, kalau banyak orang jeli, catatan manis yang Conte tunjukkan saat ini adalah taktik yang sebenarnya sudah ia terapkan bersama Italia di Piala Eropa 2016 dengan berbagai macam inovasi dan penyesuaian.
Similaritas 3-4-3 Chelsea dengan 3-5-2 Italia era Conte
Sudah saya jelaskan di awal bahwa 3-5-2 ala Conte adalah evolusi dari formasi favoritnya, 4-2-4. Ketika masa-masa awal menangani Juventus, pria kelahiran Lecce ini sudah menerapkan formasi empat penyerang dalam pakem taktik 4-2-4 walau di perjalanannya kemudian, taktik itu berubah menjadi 3-5-2 seiring masuknya Arturo Vidal, Paul Pogba, dan Andrea Pirlo mengisi lini tengah Si Nyonya Tua.
Formasi ini tampak seperti yang Conte tampilkan bersama Italia pada bulan Juni-Juli lalu ketika Italia berlaga di Piala Eropa 2016. Formasi 3-5-2 di atas kertas ala Conte sebenarnya adalah kamuflase belaka karena kunci penting pergerakan pemain adalah mobilitas bek sayap yang pada waktu itu diisi Antonio Candreva di kanan dan Alessandro Florenzi atau Matteo Darmian di kiri.
Formasi yang ketika bermain di lapangan bertransformasi menjadi 3-3-4 dengan Darmian atau Florenzi serta Candreva naik menjadi penyerang sayap adalah kejutan. Dan tentu saja, hasil imajinasi taktik liar ala Conte membuat Italia secara digdaya mampu menghancurkan Belgia dan juara bertahan, Spanyol.
Similaritas di Chelsea musim ini dengan taktik Italia di Piala Eropa 2016 tampak dengan berubahnya taktik. Di awal musim, ketika masih meraba komposisi yang ideal, Conte cukup rutin menggunakan empat bek sejajar, dengan dua gelandang pivot dan tiga gelandang serang. Usai kalah dari Arsenal, ia ubah menjadi 3-4-3.
Terhitung sejak melawan Hull City, Chelsea sudah meraih delapan kemenangan dengan enam laga tanpa kebobolan dan mencetak 22 gol. Termasuk hasil minggu lalu kala mempermalukan tuan rumah Manchester City di kandang dengan skor 1-3.
Rentetan tren positif Conte bukan hasil sembarangan. Streak delapan kemenangan yang ia raih didapat dari tim mapan. Ada Manchester United, Leicester City, Tottenham Hotspurs, Everton yang diasuh Ronald Koeman, hingga City-nya Pep Guardiola. Hasil ini adalah sinyal penting, Chelsea dan Conte adalah kandidat kuat juara.
Memaksimalkan kemampuan Marcos Alonso di kiri dan Victor Moses di kanan, pergerakan Chelsea terlihat sangat dinamis dengan jalur umpan yang sangat rapi dan terlihat sistematis. Dua bek sayap itu juga memiliki kapasitas untuk naik dan turun secara disiplin sehingga Chelsea sangat seimbang dan kokoh.
Kelebihan lainnya, dalam fase membangun serangan, dua gelandang tengah Chelsea, Nemanja Matic (atau Cesc Fabregas) dan N’Golo Kante tak jarang berani melebar untuk membuat superioritas jumlah yang memungkinkan progres serangan bisa berlanjut.
Contoh nyatanya tampak dari gol kedua Eden Hazard ke gawang Everton. Dari prosesnya, Kante sempat berlari kecil mendekat ke arah Victor Moses, Pedro, dan Hazard yang berada di sisi kanan untuk membuat superioritas jumlah melawan tiga pemain bertahan Everton.
Umpan satu dua yang kemudian dilakukan Moses, Hazard, dan Pedro yang lantas berujung gol menggambarkan kehebatan Chelsea memaksimalkan kualitas Hazard dan menunjangnya dengan taktik yang pas.
Dan bukan hanya itu, dua bek sayap dalam diri Alonso dan Moses adalah replikasi taktik Conte bersama Florenzi dan Candreva di timnas Italia.
Secara pakem di atas kertas, mereka adalah seorang bek sayap murni. Namun dalam praktiknya, secara paten, mereka membantu lini serang dalam menciptakan superioritas jumlah di lini depan. Bahkan dalam eksekusi sebuah proses serangan yang berujung terciptanya peluang.
Bila di Italia Conte terlihat memakai 3-3-4 ketika fase menyerang, di Chelsea, ia akan tampak menjadi 3-2-5 ketika menyerang karena Moses dan Alonso menarik lawan hingga ke tepi lapangan dan menbuat tiga penyerang Chelsea (Hazard, Diego Costa, dan Pedro) leluasa mengobrak-abrik pertahanan lawan.
Dengan skema taktik seperti itu, bukan kebetulan bukan bahwa Hazard kini sudah mengoleksi delapan gol dan Costa, bahkan memimpin daftar top skor sementara dengan sebelas gol?
Satu lagi kehebatan Conte, membuat Victor Moses yang tersia-siakan semasa era Jose Mourinho, seketika berubah menjadi pemain dengan kemampuan menawan yang berperan penting dalam delapan kemenangan beruntun di liga.
Kalau sudah begini, kini saatnya gelar The Special One yang diklaim pria Setubal kala pertama datang ke London Barat berganti ke Antonio Conte.