Antonio Conte dan Neraka Britania

Antonio Conte, nama yang merupakan jaminan mutu di Italia. Saat menukangi Juventus, tiga gelar juara Serie A diangkatnya secara berturut-turut. Yaitu pada musim 2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014. Hattrick.

Kariernya sebagai pelatih dimulai sebagai asisten pelatih di Arezzo, hingga kemudian ia menjadi pelatih kepala pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, ia pindah ke AS Bari yang hampir terdegradasi dari Serie B.

Ditangannya, Bari lolos dari lubang jarum, dan menempati papan tengah. Bahkan di musim selanjutnya, ia berhasil membawa Bari ke Serie A dengan menjadi juara Serie B.

Atalanta dan Siena menjadi klub berikutnya. klub pertama yang disebut, tak cemerlang prestasinya, namun di klub berikutnya, ia sukses membawa Siena ke Serie A. Hingga akhirnya diambil Juventus, klub yang pernah ia pimpin di lapangan sebagai kapten.

Pada gelaran Piala Eropa 2016, prestasinya sebagai pelatih timnas Italia juga tak bisa dibilang buruk. Perempat final Euro 2016, Italia dikalahkan oleh Jerman melalui adu penalti. Dan di tiap pertandingan Italia, ia memberikan tontonan yang menarik bagi para penggila bola.

Deretan prestasi itu yang membuat Roman Abramovich terpikat, lalu memboyongnya ke Chelsea dengan gaji 6,7 juta euro per musim. Nilai gaji tersebut meningkat 67% dibandingkan gaji Conte bersama timnas Italia, yakni 4 juta euro. Dan menempati posisi pelatih termahal ke-8 di dunia.

Uang besar yang dikeluarkan oleh bos besar Chelsea itu, tentu diharapkan sebanding dengan prestasi yang didapat Chelsea. Uang sebesar 145 juta euro dibelanjakan oleh Conte untuk membentuk skuat The Blues. Ketiga terbesar setelah duo Manchester, City dan United.

Target paling sederhana dari Chelsea adalah mengembalikan klub tersebut ke papan atas Liga Primer Inggris, mengingat pada musim sebelumnya Jose Mourinho telah membenamkan Chelsea di urutan ke-10. Terdampar dari Liga Eropa, kehilangan potensi pendapatan yang sangat besar dari hak siar.

Neraka Liga Primer Inggris

Enam pertandingan awal, Antonio Conte berhasil mengerek Chelsea ke posisi 8 klasemen dengan catatan 3 kali kemenangan, 1 kali seri, dan 2 kali kalah. Chelsea memasukan 10 gol, dan kemasukan 9. Posisi klasemen mereka di bawah Crystal Palace.

Walau masih sementara dan terlalu dini untuk menyingkirkan Chelsea dari perebutan gelar juara, namun posisi tersebut bukan tempat yang menyenangkan bagi sang pemilik klub. Seperti diketahui, taipan minyak asal Rusia itu memang bukan tipe pemilik klub yang mau bersabar. Sejak membeli Chelsea pada tahun 2003, ia telah mengganti pelatih sebanyak 11 kali.

BACA JUGA:  Sesal yang Abadi Bagi Frank Lampard

Situasi seperti ini mungkin tak pernah dirasakan Conte ketika melatih Juventus. Kesulitan membawa Chelsea di papan atas, bayang-bayang pemecatan langsung terbayang. Mengingat setelah kalah dari Liverpool 1-2 di kandang dan seri 2-2 melawan Swansea, Abramovich langsung menggelar rapat dadakan dengan manajemen.

Entah apa pula responsnya setelah dalam derby London, Chelsea dikalahkan 3-0 oleh Arsenal.

Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan Chelsea, mengingat mereka hanya berkompetisi di domestik. Logika formalnya, konsentrasi dan tenaga tak terpecah, fokus di liga, dan berada di papan atas.

Namun memang sayangnya, logika tersebut tak berlaku di liga yang digadang-gadang sebagai liga terbaik di dunia. Conte sepertinya mengalami kesulitan beradaptasi. Nampak bagaimana The Blues begitu kesulitan ketika berhadapan dengan tim-tim besar di Inggris.

Bersama Juventus, ia selalu memimpin klasemen sejak awal liga dimulai. Internazionale Milano dan AC Milan, dua klub pesaing Juventus dalam jumlah juara liga sedang dalam kondisi tak baik selama bertahun-tahun. Hanya AS Roma yang mampu bersaing, walau akhirnya tetap tertinggal jauh di klasemen akhir. Sementara Napoli hanya menjadi sedikit kerikil.

Karakter permainan klub-klub Inggris yang cepat dan keras, sepertinya tak ia rasakan di Italia. Bahkan mungkin sangat jauh berbeda, karena tim-tim Italia lebih senang bermain bola dengan tempo yang lambat (terjaga), seperti tayangan slow motion.

Tak heran jika pemain berusia 35 tahun ke atas, masih bisa bermain di Italia. Ini adalah pekerjaan rumah pertama baginya untuk mengangkat Chelsea.

Dalam beberapa kesempatan, Conte sempat mengutarakan di depan pers tentang berbagai alasan kenapa ia belum berhasil membuat klub yang pernah dilatih Ruud Gullit itu menunjukan taringnya. Mulai dari alasan klise dengan menyalahkan wasit ketika ditahan imbang Swansea, sampai merasa timnya gagal fokus ketika dijungkalkan Liverpool di Stamford Bridge.

Namun secara keseluruhan, pada setiap kekalahannya, ia merasa bahwa hal itu dikarenakan kesalahan tim secara keseluruhan. Kesalahan tim, yang artinya ada peran dia sebagai pelatih di dalamnya saat menghadapi kekalahan.

“Sekarang kami hanyalah tim hebat di atas kertas. Saya rasa ini merupakan masalah tim, bukan pemain secara individu. Saat rencana tak berjalan, sangat sulit bagi pemain untuk bermain bagus,” ujarnya seperti dikutip BT Sport, usai kekalahan telak dari Arsenal.

BACA JUGA:  Memaknai Kesuksesan Verstappen sebagai Klimaks Evolusi F1

Conte sendiri sepertinya cukup rendah hati, dengan pengakuannya bahwa Liga Primer adalah liga yang sulit. “Ini adalah liga yang sulit. Kami kebobolan dua gol. Tapi saya sangat senang dengan performa Diego Costa. Setiap pertandingan, saya ditanya tentang kesabarannya, tapi dia bermain sangat baik hari ini,” ujar Conte seperti dilansir Squawka, usai melawan Swansea.

Ya, Liga Primer Inggris memang tak sama dengan Serie A, terlalu banyak perbedaannya, sehingga seorang Antonio Conte pun harus bekerja lebih keras untuk dapat beradaptasi.

Tak bisa ia menggunakan strategi-strategi ketika menangani Juventus. Ia harus bertarung terus, menyerang terus, selama 90 menit. Karena sebenarnya, ia memiliki kualitas pemain yang mumpuni untuk melakukan hal itu.

Mungkin alasan-alasan itu terlalu sepele bagi pelatih yang telah menorehkan prestasi di klub-klub sebelumnya. Namun satu hal yang tak boleh dilupakan, bahwa Mourinho telah mewariskan sebuah tim yang tak lagi memiliki mental dan semangat bertanding, sebagaimana layaknya sebuah tim besar.

Bukan hanya karena melulu kalah, namun juga mental yang hancur karena konflik internal yang sering terjadi di bawah asuhan Mourinho.

Perkara mental tim bukan perkara yang mudah untuk ditanggulangi. Sebesar apa pun klub, tanpa mental bermain yang baik, mereka hanya sebuah tim yang menjalankan formalitas bertanding.

Seperti kritik publik terhadap Arsenal yang tak memiliki mental juara, sehingga selama bertahun-tahun tak memboyong mahkota Liga Primer ke London Utara. Atau contoh lain Manchester United yang babak belur, tak lagi bermental juara, usai ditinggal Sir Alex Ferguson dan “dihancurkan” David Moyes.

Membangun kembali semangat bertanding tim dan mengangkat mental para pemain, adalah pekerjaan rumah yang kedua bagi Conte di Chelsea. Perkara yang tentunya lebih rumit ketimbang mengubah strategi dan taktik tim dalam pertandingan. Karena semangat dan mental bertanding, tak dapat dibeli oleh Roman.

Dan, pekerjaan rumah ketiga untuk Conte, sepertinya adalah pekerjaan rumah yang paling sulit untuk dilakukannya. Adalah menaklukan sang “juragan”, untuk mendapatkan kepercayaan dan waktu guna membangun kembali tim. Karena sejatinya, bekerja untuk Roman Abramovich adalah neraka bagi setiap pelatih. Juara secepatnya, atau kau di-PHK.

 

Komentar