Mungkin saja, sewaktu kita masih anak-anak dan sedang asyik menggocek bola dengan lihai di atas lapangan kampung, kita tak pernah sedikit pun menyadari bahwa kelak lapangan sepakbola tersebut akan berubah wujud menjadi deretan gedung-gedung tinggi.
Kemeriahan yang dahulu ada di dalamnya tak pernah kita bayangkan akan hilang begitu saja digantikan oleh hiruk-pikuk kota dengan segala modernitasnya. Adapun yang tersisa dan yang kita miliki saat ini hanyalah setumpuk ingatan.
Sebab, boleh jadi keseluruhan sudut lapangan telah berubah menjadi ruang tunggu sebuah mall, apartemen, atau lahan parkir sebuah hotel.
Perubahan itu terjadi seiring dengan pertumbuhan kota yang semakin pesat lantaran beraneka rancangan sekaligus program yang disusun, dan ekspansi kapital yang hadir dengan hasrat mengubah wajah kota. Semuanya dibalut dalam satu kata yakni pembangunan.
Kini, di tengah kepadatan kota dengan deretan gedung-gedung yang berdiri kokoh, bisa menemukan sebuah tanah lapang yang di atasnya terdapat anak-anak sedang bermain sepakbola tak ubahnya seperti menemukan harta karun.
Ia begitu mewah. Sebab, selain tak tersedianya lahan untuk bermain sepakbola, anak-anak saat ini cenderung beralih ke game online yang sifatnya digital.
Dengan kata lain, pergeseran kultur itu juga ditengarai oleh ketersediaan lahan yang kian sempit sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pola hidup bagi anak-anak. Singkatnya, kedua faktor tersebut saling terkait.
Pembangunan dalam hal ini merupakan representasi dari beragam rancangan dan program yang dikonsepsikan dengan tujuan menata ruang-ruang kota.
Perubahan struktur kota yang terjadi secara terus menerus berakibat kepada perubahan objek sekaligus pergeseran makna dari simbol-simbol yang ada di dalamnya.
Sebagai contoh, keberadaan lapangan semula diidentifikasikan sebagai sarana untuk melakukan beragam hal, salah satunya bermain sepakbola.
Namun karena adanya reproduksi pengetahuan yang bersifat ideologis dan beranggapan bahwa ruang-ruang kota adalah alat untuk mendapatkan keuntungan, maka makna lapangan perlahan berubah menjadi sebuah tempat yang dapat dijadikan lahan komersil.
Hal ini erat kaitannya dengan pengaruh industrialisasi kota. Implikasinya bukan hanya kepada dinamika kota itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan perubahan cara pandang yang lebih mengedepankan logika untung-rugi.
Hal itu dibentuk oleh anggapan bahwa suatu benda, dalam hal ini lapangan atau tanah, dinilai sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar.
Alhasil, tak sedikit ruang dalam perkotaan yang diincar untuk kepentingan ekonomi, alih-alih digunakan secara bersama untuk kepentingan kolektif.
Seperti Anda juga, saya pernah beberapa kali berada dalam momen di mana saya melintasi sebuah kawasan yang dahulu merupakan tempat saya bermain sepakbola bersama teman-teman. Namun saya merasa asing ketika berada di sekitarnya.
Hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Tanah lapang yang dahulu menjadi arena pertandingan sepakbola kini berubah wujud menjadi deretan beton yang berdiri kokoh.
Ada dua hal yang terjadi ketika berada dalam situasi tersebut karena ingatan saya seolah membawa saya berselancar ke kehidupan yang pernah terbentang jauh di belakang.
Pertama, kembali menyusun memori tentang masa bermain sepakbola di pinggir jalan bersama teman-teman. Tentang keberhasilan mencetak gol dengan tendangan pisang. Tentang beragam gocekan yang kita tiru dari pemain idola hingga kejadian memilukan yang pernah terjadi. Misalnya ibu jari kaki yang sering luka karena tergores aspal ketika menendang bola. Ingatan itu tersusun rapi di sudut kepala.
Kedua, ada perasaan campur aduk karena dihadapkan oleh kenyataan bahwa tak ada lagi ruang bagi sebagian orang untuk bermain sepakbola. Mengingat keberadaan lapangan telah berganti menjadi deretan gedung-gedung. Seluruh kebahagiaan sepakbola pinggir jalanan telah terkubur bersama beton-beton.
Kendati bagi sebagian orang, kegiatan bermain sepakbola masih bisa dilakukan di lapangan-lapangan yang disewakan. Namun siapa yang bisa dan berapa harga yang bisa dibayar untuk menggantikan kebahagiaan itu?
Dalam konteks yang lebih luas, apa yang terjadi dapat dikatakan sebagai perebutan ruang dalam perkotaan. Merujuk kepada Hans-Dieter Evers, perebutan ruang adalah perebutan tanah untuk keperluan-keperluan tertentu oleh individu atau kelompok masyarakat (Hans-Dieter Evers, 1995: 58).
Proses perebutan ruang kota juga diistilahkan oleh McKenzie sebagai invasi atas ruang. Maka, menjadi alasan yang logis apabila keberadaan lapangan tempat kita bermain sepakbola antarkampung yang berubah wujud menjadi deretan gedung-gedung dapat dikatakan sebagai perebutan ruang dalam perkotaan.
Dalam hal perebutan inilah, sosiolog Marxis Prancis, Henri Lefebvre, dalam teorinya The Production of Space secara tidak langsung mengatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis, ruang merupakan arena yang tidak pernah selesai untuk diperebutkan.
Hal itulah yang membuat adanya pertarungan ruang oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan tujuan mendominasi pemanfaatan atas suatu ruang. Dan menghilangnya lapangan sepakbola yang digantikan gedung-gedung merupakan salah satu bentuknya.
Sayangnya, perubahan struktur kota atas dasar perebutan ruang hanya dilihat oleh banyak orang sebagai upaya pembangunan yang dapat mempercantik wajah kota dengan gedung-gedung tinggi dan infrastrukturnya sebagai kata kunci.
Padahal, masifnya pembangunan merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut Karl Marx sebagai akumulasi kapital. Hal itu berangkat dari adanya komodifikasi barang, dalam hal ini tanah sebagai lapangan yang digunakan untuk bermain sepakbola menjadi bangunan komersil.
Membaca fenomena tersebut sama halnya dengan melihat bagaimana kapitalisme sedang bekerja. Sebab, sebagai sistem ekonomi yang dinamis, ia harus terus berakumulasi dengan tujuan mengumpulkan keuntungan-keuntungan.
Upaya yang dilakukan untuk melanggengkan hal tersebut adalah dengan menciptakan perluasan ruang agar sistem ekonomi yang bercorak kapitalis dapat meluas secara geografis.
Dalam konteks ini, berubahnya wujud lapangan sepakbola menjadi gedung-gedung merupakan salah satu cara kapitalisme memperluas ruangnya untuk kepentingan akumulasi.
Menyadari hal itu, saya jadi berpikir ulang tentang keberadaan tanah lapang yang luas dan seringkali digunakan sebagai arena pertandingan sepakbola jalanan bagi sebagian orang. Mungkin masih ada di beberapa sudut kampung-kampung perkotaan, namun keberadaannya sangat rentan.
Pasalnya, usia lapangan itu hanya tinggal menunggu rancangan dan program apa yang hendak mengubah wujudnya menjadi seperti yang dikonsepkan.
Atas dasar itu, bukan suatu hal yang berlebihan jika kita mengatakan bahwa keberadaan lapangan yang di atasnya terdapat anak-anak bermain sepakbola sebagai suatu hal yang mewah dan langka.
Saat ini, yang bisa saya, dan mungkin kita semua lakukan hanyalah mengunduh kebahagiaan masa-masa lampau sambil sesekali mengumpat karena nyatanya, kita sudah kehilangan salah satu sumber kebahagiaan dalam hidup.
Hal-hal demikian adalah noktah kecil dari persoalan besar tentang apa yang selama ini disebut sebagai pembangunan. Maka, berbahagialah bagi mereka yang sampai hari ini masih bisa bermain sepakbola jalanan di tengah padatnya perkotaan.